Selasa, 04 Juni 2013

Pajak dan Rahasia Bank

Pajak dan Rahasia Bank
Chandra Budi ;   Bekerja di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan,
Alumnus Pascasarjana IPB
JAWA POS, 04 Juni 2013




DALAM Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR (30/5/2013), Dirjen Pajak Fuad Rahmany memproyeksikan adanya selisih kurang Rp 66,9 triliun antara kesanggupan Ditjen Pajak dan target pajak dalam RAPBN-P 2013. Perlu kerja keras untuk mengamankan capaian itu.

Strategi pengalian potensi pajak lebih difokuskan pada sektor yang ditengarai ada tambahan penerimaan pajak secara cepat (quick wins). Misalnya, sektor properti dan perbaikan administrasi pajak pertambahan nilai (PPN). Namun, untuk jangka panjang, selain pembenahan struktural institusi, diperlukan terobosan besar dalam sistem pengalian potensi pajak. Dengan menambah kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang ideal, diharapkan seluruh lini potensi pajak dapat tersentuh.

Rasio jumlah pegawai pajak dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 1 : 7.500. Angka ini jauh lebih kecil daripada rasio negara-negara lain, seperti Jepang 1 : 1.818; Australia 1 : 1.000 dan Jerman 1 : 727. Sayangnya, menambah pegawai pajak baru memerlukan proses rekrutmen yang lama. Sementara itu, tuntutan agar rasio pajak (tax ratio) Indonesia sama dengan negara lain terus bergulir.

Untuk itu, diperlukan suatu terobosan besar dalam sistem penggalian potensi pajak di Indonesia. Kalau tidak, Ditjen Pajak akan diibaratkan petani yang seharusnya memiliki cangkul tajam untuk mengolah sawah, namun yang disediakan hanya sebuah belati kecil yang tumpul. Terobosan tersebut adalah membuka akses data nasabah bank untuk kepentingan pajak tanpa terkecuali.

Kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah. Data empiris mengindikasikan baru sekitar 40 persen orang pribadi yang membayar pajak, secara langsung maupun tidak langsung, dari sekitar 60 juta yang seharusnya membayar pajak. Demikian juga, baru sekitar 10,4 persen perusahaan yang membayar pajak, dari sekitar 5 juta perusahaan yang memiliki laba. Ironisnya, dalam lima tahun terakhir, SPT yang dilaporkan wajib pajak ke Ditjen Pajak selalu berada pada di kisaran 50 persen.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan masyarakat tidak patuh membayar pajak. Faktor-faktor tersebut adalah ekonomi, norma sosial, dan penegakan hukum. Proses penegakan hukum perpajakan di Indonesia selalu terkendala akses dan ketersediaan data eksternal.

Mengapa data nasabah bank sangat berarti bagi Ditjen Pajak? Data perbankan diibaratkan emas dalam toples, yang berharga namun tidak boleh disentuh. Data hasil studi LM FE UI (2012) menyebutkan, ada lebih dari dua juta jumlah rekening dengan simpanan di atas Rp 100 juta. Bahkan, pemilik rekening di atas Rp 500 juta mencapai 500 ribu lebih. Belum lagi prediksi HSBC Indonesia (2013) bahwa jumlah nasabah kelas premium mencapai 2,3 juta rekening.

Yang menarik, ada sekitar 45 juta kelas konsumen di Indonesia yang memiliki pendapatan Rp 35 juta per bulan. Data The Wealth Report 2013 sebagaimana dikutipFinancial Today menyatakan, jumlah orang kaya dengan aset bersih di atas USD 30 juta di Indonesia telah mencapai lebih dari 189 ribu orang dan diprediksi terus meningkat. Sayangnya, Ditjen Pajak mempunyai keterbatasan untuk meneliti kewajiban pemilik rekening "kakap" tersebut karena terbentur aturan rahasia bank

Rahasia bank didefinisikan sebagai kewajiban bank untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal tertentu, termasuk untuk kepentingan perpajakan. Agar dapat mengakses data nasabah bank, diperlukan instruksi tertulis pimpinan Bank Indonesia (BI) kepada bank yang bersangkutan setelah sebelumnya mendapat permintaan dari Menteri Keuangan.

Sayangnya, dalam UU perpajakan, permintaan tertulis dari Menteri Keuangan kepada pimpinan BI hanya bisa dilakukan pada tahap pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan pajak. Artinya, akses perpajakan ke nasabah bank sangat sulit karena akan menempuh perjalanan panjang dan berliku. Akibatnya, selama ini sangat minim data nasabah bank yang dimanfaatkan untuk kepentingan pajak.

Pemanfaatan pasal 35A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mewajibkan BI menyerahkan data debitor ke Ditjen Pajak tampaknya terbentur aturan perbankan. UU perbankan hanya mengamanatkan rahasia bank bagi nasabah penyimpan. Namun, dalam penjelasan undang-undang tersebut disebutkan juga bagi nasabah penyimpan sekaligus debitor tetap berlaku aturan rahasia bank dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan.

Dalam praktiknya, hampir semua nasabah debitor juga diwajibkan membuka tabungan bank agar memudahkan skema angsuran pinjaman. Hal ini mencerminkan bahwa semua nasabah debitor otomatis menjadi nasabah penyimpan. Dengan demikian, sebenarnya, aturan rahasia bank berlaku bagi nasabah penyimpan dan debitor - tanpa kecuali.

Asal mampu melepaskan ego sektoral masing-masing, ada peluang untuk Ditjen Pajak memanfaatkan data nasabah bank dengan lebih cepat dan masif. Tentu, ini semua dilakukan untuk kepentingan rakyat banyak dengan dijiwai oleh prinsip keadilan dalam pemungutan pajak. Caranya, dengan menyusun kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan pimpinan BI yang mengatur permintaan izin kumulatif Menkeu ke pimpinan BI dalam rangka penerbitan perintah tertulis ke bank untuk memberikan data nasabah ke Ditjen Pajak.

Cara ini telah dilakukan Menkeu dan ketua KPK yang menandatangani surat keputusan bersama. Isinya, mengatur pemberian wewenang Menkeu kepada Dirjen Pajak untuk memberikan data dan atau informasi perpajakan wajib pajak kepada KPK dalam rangka penyelidikan dan penyidikan. Dengan demikian, arus data dan atau informasi perpajakan dari Ditjen Pajak ke KPK berlangsung cepat dan lancar tanpa ada keragu-raguan di dalamnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar