Rabu, 12 Juni 2013

Stop Politisasi Harga BBM Bersubsidi

Stop Politisasi Harga BBM Bersubsidi
Mesker Md ;   Pendiri Lembaga Studi dan Advokasi Transportasi - LSAT
SUARA KARYA, 11 Juni 2013
 
 
 
 
Wacana kenaikan harga BBM bersubsidi kembali dikumandangkan, harga barang kebutuhan pokok pun mulai merangkak naik antara 10-20 persen. Para pakar ekonomi hanya bisa memperkirakan inflasi sekitar tujuh persen. Namun, berapa kenaikan harga barang kebutuhan pokok, tidak ada yang mau membahas, padahal sekarang sudah terjadi dan rakyat gelisah menghadapi situasi itu.

Kalau saja harga BBM bersubsidi langsung dinaikkan tanpa digembar-gemborkan terlebih dahulu dalam kurun waktu lama, dampak yang ditimbulkan kemungkinan terbatas. Kalau pun harga barang kebutuhan pokok naik, tidak berlapis-lapis. Sejak pertengahan 2012 sampai sekarang, harga kebutuhan pokok sudah berlapis-lapis naiknya. Kalaupun turun hanya 1-2 lapis, dari 4-5 lapis kenaikan.

Pemerintah lalu ber-retorika lagi dengan program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) penghalusan dari istilah masa lalu Bantuan Langsung Tunai (BLT). Fakta menunjukkan bahwa bantuan seperti itu - apa pun istilahnya -, sama sekali tidak bermanfaat. Pengalaman juga menunjukkan bahwa kebocoran, penipuan dan akal-akalan terjadi di mana-mana, ketika bantuan itu dieksekusi. Pemerintah sepertinya tidak mau belajar dari masa lalu. Retorika politik lebih dikedepankan.

Dampak dari episode kenaikan harga BBM bersubsidi kali ini kemungkinan jauh lebih parah. Karena mendekati Hari Raya Idul Fitri 1434 H atau Hari Raya Lebaran 2013 yang kemungkinan jatuh pada 8-9 Agustus 2013. Kenaikan harga barang kebutuhan pokok akan 'menggila' bila tidak diantisipasi dengan baik dan matang. Tanpa kenaikan harga BBM saja, harga bisa naik berlapis-lapis, apalagi ada kenaikan harga BBM.

Harga BBM bersubsidi memang harus naik. Semua kalangan sepakat, termasuk pengusaha. Karena, subsidi mencapai hampir Rp 275 triliun bila harga sekarang dipertahankan. Sebab, harga keenomian sudah mencapai Rp 9.600 per liter, sementara harga jual sekarang hanya Rp 4.500 per liter.

Selain itu, penggunaan BBM bersubsidi sangat boros. Tahun 2011, volumenya mencapai 41,69 juta kiloliter dari pagu 40 juta kiloliter. Tahun 2012 pagu kuota BBM bersubsidi sebanyak 44,04 juta kiloliter, dinaikkan atas pengalaman 2011. Tahun 2013, pagu dinaikkan lagi menjadi 46 juta kiloliter. Konsumer terbanyak BBM bersubsidi adalah pemilik mobil pribadi, yakni 55 persen, sepeda motor 40 persen dan kendaraan bermotor angkutan umum (publik) hanya 5 persen.

Tingginya konsumsi BBM bersubsidi tersebut akibat meningkatnya pertumbuhan kendaraan bermotor. Berdasarkan data Badan Pusat Satistik (BPS), tahun 2010 tercatat 76,907 juta unit kendaraan bermotor di seluruh Indonesia yang kemudian naik menjadi 85,601 juta unit dan tahun 2012 naik lagi menjadi 93,948 juta unit.

Pertumbuhan tertinggi adalah sepeda motor, yakni dari 61,078 juta unit tahun 2010 naik menjadi 68,839 juta unit tahun 2011 dan naik lagi menjadi 77, 755 juta unit tahun 2012 atau mengalami pertumbuhan rata-rata di atas 10 persen per tahun. Sementara mobil pribadi relatif sedikit pertumbuhan, yakni dari 8,891 juta unit tahun 2010 menjadi 9,548 juta unit tahun 2011 dan 9,524 unit tahun 2012.

Tingginya pertumbuhan kendaraan bermotor itu disebabkan, pajak kendaraan bermotor yang sangat murah. Baik pajak mobil maupun pajak sepeda motor tidak sampai 15 persen dari harga beli. Dan, harga BBM sangat murah.

Karena itulah, cara terbaik untuk mengurangi atau menekan penggunaan BBM bersubsidi adalah menaikkan harga BBM setinggi-tingginya dan mengendalikan pertumbuhan kendaraan bermotor dengan sistem pajak progresif berdasarkan umur dan CC kendaraan bermotor. Kendaraan berusia tua dengan CC besar, pajaknya bisa diberlakukan lebih tinggi atau mahal dan seterusnya.

Kalau bisa kenaikan harga BBM bersubsidi jangan hanya Rp 1.500 per liter atau Rp 2.000 per liter. Tapi, rata-rata bisa dipatok Rp 3.000 per liter. Jadi, harga premium dan solar dibuat sama, yakni Rp 7.500 per liter. Karena, dampak yang ditimbulkan akan sama. Dampak inflasi sama, kenaikan harga barang pun sama dan seterusnya.

Tarif angkutan umum tidak perlu dinaikkan. Angkutan umum diberi subsidi harga, misalnya, Rp 2.000 per liter. Setiap pemilik kendaraan angkutan umum diberi kupon setiap hari dan dibatasi jumlah pembeliannya. Misalnya, angkutan umum jenis Mikrolet dan Minibus dibatasi satu hari 40 liter, sedangkan untuk bus sedang Rp 150 liter per hari dan bus besar 200 liter per hari.

SPBU (stasiun pengisian bahan-bakar umum) khusus ditunjuk untuk melayani pengisian BBM bagi angkutan umum dan diawasi secara ketat. Apabila sopir melakukan penipuan atau pelanggaran pidana, maka perusahaan angkutan yang bersangkutan dikenai sanksi pencabutan 50 persen dari izin trayek yang dimiliki dan bila dua kali melakukan pelanggaaran, maka izin operasi, izin usaha dan izin trayek dicabut. Dengan cara itu, pengusaha akan mengawasi sopir dan sebaliknya.

Satu hal penting yang harus menjadi catatan adalah kalau harga BBM bersubsidi jadi dinaikkan, pertengahan Juni atau awal Juli nanti, sebaiknya pemerintah bersikap dewasa. Jangan mengeluh ketika subsidi membengkak, lalu rakyat dikorbankan. Tapi, begitu situasi gejolak kenaikan harga mulai stabil dan pemilihan umum mendekat, harga diturunkan. Hentikan politisisasi harga BBM! Pemerintah perlu mendidik dirinya sendiri agar tidak melakukan politisasi dan seraya mendidik masyarakat untuk menghemat BBM.

Di sisi lain, pemerintah tak sepantasnya hanya meminta masyarakat memahami keadaan, tapi harus mencanangkan program perbaikan kesejahteraan secara jelas. Hindari pemberian BLSM, tapi, misalnya, bisa dilakukan dalam bentuk program bedah rumah orang miskin, pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, jaringan irigasi, bendungan dan lain-lain. Semoga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar