Senin, 10 Juni 2013

Memperluas Jaringan Peneliti

Memperluas Jaringan Peneliti
Sakti Nasution ;    Tim Asistensi Komisi Teknis Sosial Humaniora Dewan Riset Nasional
MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2013
 
 




DALAM beberapa tahun belakangan ini, profesi peneliti di Indonesia se dang menjadi perhatian publik. Salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa besar ini adalah masih minimnya produktivitas para peneliti. Kondisi ini berimbas pada rendahnya pencapaian iptek secara nasional. Beberapa indikator dan data dari beberapa lembaga internasional di bawah ini dapat menggambarkan hal tersebut.

Pertama, produktivitas peneliti dapat diukur dari jumlah paten. Berdasarkan data World International Property Organization (WIPO) Indicators (2012), total paten yang terdaftar di kantor Ditjen HKI Indonesia hingga 2011 sebanyak 5.838.

Dari jumlah itu, hanya 541 paten dalam negeri (resident), sedangkan sebagian besar (5.292) merupakan paten milik asing (non-resident).

Ditinjau dari paten resident ini, Indonesia digambarkan masih tertinggal dari beberapa negara ASEAN lainnya. Untuk hal ini, misalnya, Malaysia hampir dua kali lipat jumlahnya (1.076), disusul Singapura (1.056) dan Thailand (927). Jumlah paten resident Indonesia ini akan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kampiun tingkat global seperti China (415.829), Jepang (287.580) ataupun Amerika (247.750).

Minimnya jumlah paten bukan berarti peneliti Indonesia tidak memiliki prestasi. Cukup banyak contoh hasil penelitian membanggakan seperti halnya penemuan fondasi cakar ayam (Soedijatmo, 1961), pemindai 4D (Warsito Purwo Taruno, 2006) atau sistem telekomunikasi 4G berbasis orthogonal frequency division multiplexing (Khoirul Anwar, 2010).

Indikator kedua, terkait dengan jumlah publikasi ilmiah (scientific publication). Menurut International Science Ranking (2012), dalam periode 1996-2010, posisi Indonesia berada di rangking 63 dari 238 negara/teritory. Di sini digambarkan dari tahun ke tahun jumlah publikasi Indonesia terus meningkat. Meski konsisten meningkat, rangking di kawasan ASEAN saat ini masih dipegang Singapura (32), disusul Thailand (42) dan Malaysia (43).

Mengubah orientasi
Dengan memperhatikan dua indikator di atas, tidak mengherankan jika tuntutan terhadap prestasi dan karya peneliti semakin bertambah besar. Pesatnya kemajuan iptek, adanya tuntutan daya saing global, serta berkembangnya era knowledge based society mengharuskan profesi peneliti untuk menyesuaikan dirinya serta memperluas jangkauan kegiatan dan hasil penelitiannya.

Masyarakat telah lama merindukan hasil-hasil penelitian menjadi produk-produk teknologi yang kompetitif. Oleh karena itu, hasil-hasil penelitian diharapkan tidak hanya sebatas prototipe, jurnal, desain, atau paten belaka, tetapi hendaknya dapat mencapai ke tahap komersialisasi dan bisnis.

Idealnya hasil penelitian masuk ke skala produk industri dan pasar, baik berupa barang maupun jasa sehingga bangsa ini tidak terusmenerus bergantung kepada produk teknologi impor. Selain itu, Indonesia juga tidak sekadar jadi pemasaran produk asing.

Mengenai hal ini, Keputusan Menristek No 246/M/Kp/IX/2011 tentang Arah Penguatan Sistem Inovasi Nasional (Sinas) untuk Meningkatkan Kontribusi Iptek Terhadap Pembangunan Nasional mengingatkan, jika teknologi yang jika teknologi yang dihasilkan para peneliti atau pengembang teknologi ingin `mengalir' sampai ke tangan pengguna (masyarakat, industri, dan pemerintah), aktivitas penelitian dan pengembangan harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Untuk memenuhi harapan itu, peneliti tentu itu, peneliti tentu harus bersedia mengubah orientasi penelitiannya terlebih dulu. Salah satu penyebab kegagalan teknologi dalam negeri selama ini adalah peneliti masih berorientasi pada programnya sendiri (supply-push) dan kurang responsif terhadap persoalan atau kebutuhan teknologi masyarakat (demand-driven). Akibatnya, kemudian banyak hasil penelitian kesulitan masuk ke skala industri karena tidak kompetitif atau out of date.

Selain mengubah orientasi, peneliti perlu menggeser prioritas penelitiannya ke arah goal-oriented research. Jika pada umumnya motivasi penelitian lahir dari rasa keingintahuan sang peneliti belaka (curiousity driven research), ke depan hal itu harus ditopang dengan sasaran dan tujuannya yang jelas dan terukur.
Peneliti harus yakin betul bahwa teknologi yang akan dihasilkannya nanti benar benar bermanfaat dan berguna, baik secara sosial maupun ekonomi.

Pentingnya orientasi dan prioritas baru bagi para peneliti ini pada intinya untuk memperkuat relevansi penelitian dan pengembangan dengan kebutuhan nyata.

Kini saatnya penelitian dan pengembangan teknologi--baik dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dan pengembangan (pemerintah dan swasta)--kembali berpijak pada bumi kebutuhan masyarakat sehingga hasil-hasil penelitian tidak mubazir.

Memperbarui kebijakan
Memang tidak mudah mewujudkan perubahan orientasi dan prioritas peneliti tanpa adanya perhatian penuh pemerintah. Apalagi, berbagai instrumen kebijakan--yang mencakup pembiayaan, infrastruktur, insentif ataupun regulasi--sudah kurang kondusif dengan tuntutan zaman.

Guna memperluas jangkauan para peneliti, beberapa kebijakan yang berkaitan dengan profesi peneliti ini perlu dievaluasi atau diperbarui.

Dari segi pembiayaan misalnya, dari keseluruhan dana riset dan teknologi rata-rata 0,08% dari PDB (Rp4 triliun) per tahun sebenarnya cukup memadai jika dapat dihindari ketumpangtindihan penelitian yang mengakibatkan pemborosan.

Di masa mendatang, tinggal bagaimana tata kelola pengalokasiannya sehingga sebagian besar dana dapat diarahkan untuk individu atau kelompok peneliti goal-oriented research, termasuk untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur penelitian.

Selain itu, ke depan perlu dirumuskan kebijakan yang dapat menjamin saluran pembagian royalti yang menjadi hak peneliti. Jaminan ini sangat berguna untuk memotivasi lahirnya berbagai karya kekayaan intelektual negara ini. Mempersulit hak royalti merupakan tindakan disinsentif dan pengingkaran terhadap hak-hak intelektualitas manusia. Jaminan hak royalti adalah sistem penghargaan yang dijamin UU Paten dan PP No 20 Tahun 2005 mengenai Alih Teknologi.

Demikian juga dengan adanya aturan larangan bagi peneliti ataupun tenaga ahli pemerintah dalam pemberian bantuan teknis (technical assistance) merupakan hambatan dalam kerja sama riset ke pihak swasta. Transfer teknologi, kemampuan perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi dari peneliti ke badan usaha menjadi tersumbat.

Untuk itu, perlu dicari titik temu agar hambatan tersebut hilang. Ini sekaligus agar rekomendasi insentif bantuan teknis berdasarkan PP No 35 Tahun 2007 dapat terlaksana. Untuk mempertimbangkan urgensi hal-hal tersebut di atas, pemerintah tampaknya harus menyusun sebuah formulasi peraturan baru tentang peneliti.

Peraturan itu disusun dalam kerangka penguatan Sinas dan antisipasi terhadap tuntutan daya saing global yang semakin tinggi. Esensi, arah, tujuan, dan materi pengaturan disusun secara komprehensif untuk mengarahkan perubahan orientasi dan prioritas peneliti. Pengaturan baru untuk menjamin profesionalitas, hak, kewajiban, tanggung jawab, jaminan royalti, dorongan kerja sama, dan pengaturan arah pembinaan pemerintah agar lebih berkeadilan, yang tercakup di dalamnya pengaturan terhadap peneliti nonpemerintah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar