Kamis, 13 Juni 2013

Balsem Merek BLSM

Balsem Merek BLSM
Khudori ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
MEDIA INDONESIA, 12 Juni 2013
 
 
 


MULAI pekan ini, pemerintah membagikan Kartu Perlindungan Sosial (KPS). KPS merupakan kartu `sakti'. Warga miskin bisa mencairkan pelbagai bantuan sosial hanya dengan KPS. Tanpa KPS, warga miskin tidak bisa mengakses bantuan beras (raskin), beasiswa untuk siswa, program keluarga harapan, dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Tiga bantuan sosial yang pertama sudah berlangsung lama. Untuk anggaran 2013, warga miskin sudah menikmatinya sejak awal tahun. Seiring rencana penaikan harga BBM bersubsidi, ketiga bantuan sosial diperluas. Bersamaan dengan itu, BLSM dikucurkan. BLSM merupakan skema bantuan yang baru diberikan saat harga BBM naik.

Di masa lalu, BLSM dinamai Bantuan Langsung Tunai (BLT). Saat harga BBM naik pada 2005 dan 2008, salah satu kompensasinya berupa BLT. Besar BLSM tahun ini mencapai Rp11,6 triliun atau 38,7% dari total kompensasi penaikan harga BBM (Rp30 triliun). Selama lima bulan berturutturut, sebanyak 15,5 juta rumah tangga miskin sasaran mendapat bagian Rp150 ribu per bulan per rumah tangga. Bagi warga miskin, pelbagai bantuan itu tentu amat berarti. Di tengah gerusan inflasi dan tekanan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, warga miskin bisa terbebas sejenak dari pusing kepala.

Akan tetapi, seperti halnya balsem atau balsam, efek bantuan sosial berupa BLSM hanya bersifat amat sementara. BLSM tidak beda dengan obat pusing yang banyak dijual di warung-warung atau toko kelontong yang hanya menghilangkan pusing sesaat. Warga miskin akan terobati, tidak akan pusing selama diberikan bantuan uang tunai Rp150 ribu per bulan. Namun, begitu bantuan dihentikan, pusing akan kembali lagi. Boleh jadi, pusing yang diderita akan lebih lama. Warga miskin akan didera pusing berkepanjangan pada bulan keenam, ketujuh, dan seterusnya.

Mereka benar-benar bakal didera pusing tujuh keliling karena efek domino penaikan harga BBM bersifat persisten dan berkepanjangan.

Barangkali bukan sebuah kebetulan bila BLSM dibaca atau diplesetkan menjadi balsam. Cara kerja BLSM mirip balsam. Minyak kental yang mengandung minyak damar dan minyak asiri itu terasa panas jika digosokkan ke kulit sebagai obat sakit kepala dan masuk angin (KBBI, 2010). Pada tahap awal, balsam terasa panas menyegarkan.

Sayangnya, khasiat balsam tidak tahan lama. Efek panas hanya sementara, kemudian terus menurun, bahkan secara gradual berubah menjadi dingin. Untuk menghangatkan lagi, balsam harus dioleskan kembali. Tentu dengan dosis yang lebih tinggi. Ada efek kecanduan. Sama halnya dengan BLSM, juga ada efek kecanduan berupa ketergantungan.

Antara balsam dan BLSM juga dipertemukan kesamaan lain: sama-sama hanya mengobati gejala atau simtom, bukan sumber, apalagi akar (radict) penyebab penyakit. Akibatnya, begitu efek pengobatan balsam habis, sakit kembali menyerang. Seperti efek balsam, untuk sementara waktu, BLSM bisa menghilangkan pusing akibat penaikan harga BBM. Namun, BLSM sama sekali tidak menyentuh akar penyebab warga miskin pusing: kemiskinan. Sepanjang akar penyebab kemiskinan tidak disentuh dan dituntaskan, sepanjang itu pula warga miskin akan tetap berkubang dalam kemiskinan.

Salah kaprah
Mengapa kemiskinan masih berjubel di negeri ini? Ini tak lain karena pelbagai program antikemiskinan yang anggarannya mencapai puluhan triliun rupiah itu salah. Pertama, upaya mengatasi kemiskinan direduksi hanya dari sisi permodalan. Seakan-akan muncul simple truth bahwa modal segalagalanya. Faktanya, ekonomi rakyat amat lemah dalam keahlian dan keterampilan usaha, akses dana/modal usaha, dan pemasaran atau informasi.

Kedua, program penanggulangan kemiskinan sering terjebak pada strategi kail dan ikan. Strategi kail dan ikan perlu didudukkan secara proporsio nal dalam penanganan kemiskin an. Program antikemiskinan sering kali memisahkan keduanya. Ini salah besar. Ketiga, program antikemiskinan tak fokus. Anggaran antikemiskinan ditebar pada 51 program yang tersebar hampir di semua departemen/lembaga. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih, bahkan repetisi program yang berujung pada penghamburan anggaran.

Keempat, program antikemiskinan belum menyentuh jantung masalah. Meskipun sudah 68 tahun merdeka, struktur ekonomi Indonesia sampai sekarang masih dualistis seperti dikenali Boeke pada 1930. Boeke mengemukakan tajamnya pembagian ekonomi ke dalam sektor tradisional dan sektor modern, yang saat ini kira-kira sama dengan sektor tradable vs non-tradable. Dua sektor ini hidup bersama tanpa memiliki kaitan satu sama lain. Tanpa menyambungkan dua sektor itu kemiskinan akan terus bercokol di negeri ini.

Di luar itu, BLSM berpotensi memicu konflik sosial di akar rumput. Pangkal masalahnya adalah rumah tangga sasaran sebesar 15,5 juta keluarga itu.

Data ini diambil dari Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2011 (PPLS 2011). Data PPLS 2011 cukup baik, tidak anonim, karena mencakup nama dan alamat calon penerima bantuan sosial.
PPLS menyediakan nama dan alamat 24 juta rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah dari sekitar 96,7 juta jiwa data yang dihimpun atau mencakup 42,5% rumah tangga di negeri ini. Karena target BLSM tahun ini hanya 15,5 juta rumah tangga, berarti tidak semua rumah tangga yang terdata dalam PPLS jadi penerima BLSM. Apa dasar penentuan 15,5 juta rumah tangga itu? Mengapa 8,5 juta lainnya tak menerima?

Perlu disadari, kemiskinan itu bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Adanya perbedaan waktu saat data PPLS dikumpulkan (tahun 2011) dengan implementasi BLSM (tahun 2013) perlu diperhitungkan dengan cermat. Dalam rentang itu, keluarga yang pindah pasti ada, dari miskin jadi tidak miskin lagi, atau sebaliknya, dari tidak miskin malah jatuh miskin. Agar tepat sasaran, pembaruan data harus dilakukan. Ini untuk mencegah munculnya inclusion dan exclusion error dalam penyaluran BLSM. Inclusion error terjadi jika orang yang seharusnya tidak menerima BLSM justru menerima. Sebaliknya, exclusion error terjadi saat orang yang harusnya menerima BLSM justru tidak menerima.

Pemerintah harus belajar dari program BLT pada 2005 dan 2008 yang kisruh di sejumlah daerah. Banyak warga yang merasa jauh lebih miskin, karena itu lebih berhak menerima dana kompensasi, tetapi justru tidak menikmatinya. Sebaliknya, warga yang menurut ukuran umum berkecukupan justru kebagian BLT. Ketidakadilan semacam ini mudah meledak menjadi konflik sosial. Jangan sampai BLSM mengulang kisah yang sama: sudah efek obatnya hanya sementara, BLSM justru memicu bibit-bibit konflik sosial? Inikah yang dikehendaki pemerintah? Atau jangan-jangan ini semua di luar perhitungan?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar