Selasa, 11 Juni 2013

Sinergi Mengatasi Terorisme

Sinergi Mengatasi Terorisme
Tom Saptaatmaja ;   Kolumnis,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul
SINAR HARAPAN, 10 Juni 2013
 
 
Para teroris memang seolah tak pernah jera. Mereka terus saja melancarkan aksi biadabnya dalam menebar teror atau ketakutan. Kali ini terjadi di daerah konflik: Poso, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Seorang bomber pada Senin (3/6) pagi menyerang Markas Polisi Resor (Mapolres) Poso.

Belum lama, tepatnya pada Rabu (8/5), tim Densus 88 juga terlibat baku tembak di Bandung, Batang, Kendal, dan Kebumen. Operasi penggerebekan secara simultan dan disiarkan berbagai televisi itu menewaskan tujuh terduga teroris dan melukai satu orang serta menangkap 12 terduga teroris.
Menurut Karopenmas Mabes Polri Boy Rafli Amar, para teroris itu melakukan “fai” atau mengumpulkan uang hingga Rp 1,8 miliar dari merampok tiga bank (BRI). Dari hasil interogasi, mereka kemungkinan berasal dari sisa-sisa jaringan Poso yang dipimpin Abu Umar.

Meski sudah banyak yang tewas, bukan berarti terorisme telah tamat. Ini karena di kalangan teroris justru berlaku pepatah, mati satu tumbuh seribu. Itu artinya perlawanan menghadapi terorisme tak pernah selesai.

Peperangan Hati dan Pikiran

Bahkan, perlawanan menghadapi terorisme sudah memasuki kawasan yang lebih substantif, tidak semata-mata konflik fisik, melainkan sudah memasuki kawasan konflik gagasan atau adu kekuatan untuk merebut hati dan pikiran, maka terorisme memang harus dijadikan musuh bersama (Tajuk Rencana SH, 5/6).


Sebenarnya memprihatinkan manakala kita merenungkan bahwa pemikiran para teroris justru kian mendapat tempat di masyarakat. Contohnya tindakan atau aksi bom bunuh diri yang dulu kita nilai sebagai tindakan biadab dan terkutuk, kini justru diyakini sebagai tindakan kepahlawan demi membela agama.

Jelas ada yang salah, jika tindakan terorisme yang kekejamannya atas para korban di luar batas kemanusiaan, justru mendapat dukungan dan pembenaran. Bahkan, para konseptor terorisme yang ada di balik layar dan sampai sekarang terus bergentayangan, mungkin akan tertawa terkekeh karena mereka mampu merebut hati dan pikiran sebagian warga kita untuk pro pada terorisme.

Karena itu, tidak cukup ketika sedang terjadi tindak terorisme, kita hanya sibuk membuat apologi bahwa terorisme tak ada kaitannya dengan agama. Pasalnya, para teroris jelas-jelas memakai dalil dan motif agama dalam aksi terornya. Tidak percaya? Tanyakan saja kepada mendiang Imam Samudra, pelaku peledakan bom Bali 12 Oktober 2005 yang menewaskan 202 orang.

Menurut Imam Samudra, peledakan itu dilakukan demi jihad membela Islam, setidaknya Islam seperti diyakini dan ditafsirkan oleh Imam Samudra. Argumentasi yang disampaikan Imam Samudra selalu berisi argumentasi teologis untuk membenarkan setiap aksi terornya.
 
 Dia atau teroris lain juga selalu menyalahkan bukan hanya agama lain, tapi juga penganut mainstream dalam agamanya (Islam) yang dianggap telah sesat karena suka berkolaborasi dengan Amerika dan Barat.
Jadi, ada kejahatan yang lebih mengerikan, ketika para teroris sudah membajak agama dan menjadikan perjuangannya seolah-olah selaras dan tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya, bahkan tindakan kekerasan lewat bom itu sebagai bentuk perjuangan yang mulia atas nama agama, bahkan Tuhan.

Para teroris seperti Imam Samudra punya konsep “cosmic war”, yakni peperangan antara yang baik dan yang jahat. Bagi para teroris, setiap aksi mereka di negeri ini merupakan tindakan yang sah, karena Indonesia saat ini sudah diletakkan dalam kondisi perang dengan kekuatan kolonialis (Amerika atau Barat) yang menindas umat Islam. Jadi, dalam konteks perang, bagi para teroris, semua cara dihalalkan. Bagi para teroris, perang semacam itu sunguh-sungguh nyata.

Simak saja guna memenangkan perang itu, para teroris membuat ratusan situs di internet yang berisi ajakan untuk masuk surga lewat jalan menjadi pengebom bunuh diri. Di sana tertulis hal-hal seperti jika tidak mau menjalankan jalan terorisme, mereka yang membaca situs-situs itu, akan dikutuk sepanjang hayatnya. Teknik membuat bom pun diajarkan dengan jelas.

Karena itu, guna mengurai benang kusut terorisme, rasanya para agamawan kita tidak bisa secara simplistis hanya memberi pernyataan terorisme tidak terkait agama. Jangan lupa, agama yang suci itu bagaimanapun dihayati manusia yang sering kali condong kepada kejahatan.

Memang para agamawan bukan pihak yang paling bertanggung jawab atas aksi para teroris. Para agamawan
hanya sebatas memberi seruan moral bahwa terorisme itu jalan yang keliru, seperti seruan MUI. Aparat keamanan, dalam hal ini Tim Densus 88, yang punya kewenangan menumpas dan menghadapi setiap aksi terorisme.

Sinergi Banyak Pihak

Jadi, mari kita terus berupaya memenangkan wacana bahwa terorisme itu jahat dan biadab, meski upaya deradikalisasi tampak gagal. Namun yang penting, kita jangan sampai menyalahkan agama (apa pun), yang sudah ada sebelum adanya terorisme.

Saling memahami dan kerja sama antarumat beragama akan sangat bermanfaat untuk membasmi akar sosial dan kultural penyebab terorisme, khususnya yang terjadi di negeri kita.

Meski demikian, masalah terorisme tidak bisa diselesaikan oleh para tokoh agama dari satu agama saja. Masalah ini juga tak bisa diatasi hanya oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau Tim Densus 88 saja.

Perlu sinergi dari banyak pihak, agar terorisme bisa dihilangkan, sehingga akhirnya semua orang dari semua agama akan paham bahwa aksi terorisme itu memang tidak ada tempatnya dalam ajaran agama manapun. Mari kita tidak bosan mempromosikan budaya cinta perdamaian seraya mengutuk setiap aksi kekerasan dan terorisme, sebagaimana baru terjadi di Boston.

Pascapenggerebekan di empat kota seperti sudah dilakukan Tim Densus 88, jelas menjadi momentum tepat untuk menyadari bahwa musuh bersama kita saat ini, bukan umat beragama lain.

Mari camkan betapa jahatnya terorisme dengan merenungkan derita para korban dan keluarganya. Banyak korban bom Kuningan atau Bali hingga kini mengalami cacat fisik yang permanen dan tentu saja trauma berkepanjangan di sisa-sisa hidup mereka.

Akhirnya jika terorisme menjadi musuh bersama maka menghadapinya juga butuh kerja sama dan sinergi berbagai komponen bangsa. Nah, untuk sinergi ini jelas membutuhkan guidance atau blue print bagaimana menghadapi terorisme itu.

Jika masing-masing pihak, seperti tim Densus 88, BNPT, DPR, dan MUI berjalan sendiri-sendiri, hasilnya kurang maksimal. Sejak serangan bom ke gereja pada malam Natal 2000 hingga sekarang, perlawanan terhadap terorisme seperti menghadapi kebakaran saja, sekadar tambal sulam, tidak ada strategi sama sekali. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait perlu segera membuat rumusan bersama bagaimana menghadapi terorisme itu.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar