Kamis, 13 Juni 2013

Solusi APBN Perubahan 2013

Solusi APBN Perubahan 2013
Anggito Abimanyu ;   Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta
KOMPAS, 13 Juni 2013




Pemerintah dan DPR tengah membahas rancangan Perubahan APBN 2013. Substansi Rancangan APBN Perubahan 2013 cukup kompleks dan kita masih belum tahu bagaimana postur APBN Perubahan 2013 nantinya. Yang sudah dapat dipastikan bahwa penyelesaian APBN-P menurut UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD memakan waktu maksimal 30 hari.

Begitu pentingnya APBN-P 2013 harus selesai tepat waktu dan realistis sebab jika tidak sesuai dengan harapan, sulit sekali mempercayai prospek ekonomi 2013.

Kenapa APBN-P 2013 sangat penting dan harus diubah? APBN merupakan jangkar kebijakan ekonomi yang berisi rencana kegiatan pembangunan nasional dan anggarannya sehingga harus dapat dipercaya. Saat ini dasar perhitungan dalam APBN 2013 sudah banyak berubah dan tidak akurat lagi. Apabila tidak dilakukan perubahan, sudah hampir pasti realisasinya akan meleset, penerimaan negara kurang, sedangkan belanjanya melonjak tinggi sehingga negara harus menomboki. Keadaan ini akan sangat memengaruhi kepercayaan para pelaku ekonomi akan keberlanjutan prospek ekonomi ke depan.

Semua asumsi meleset
Selama ini digembar-gemborkan bahwa APBN 2013 harus diubah hanya karena beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang terlalu besar. Ternyata tidak hanya subsidi harga BBM yang mendorong perlunya APBN-P, tetapi juga seluruh asumsi makro sudah meleset, pendapatan perpajakan tekor, penerimaan negara bukan pajak migas meleset, konsumsi BBM terlampaui, dan opsi kenaikan BBM tidak dipakai.
Ditambah lagi anggaran kementerian dan lembaga sudah sulit dipotong, anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) tidak bisa dihemat, dan batasan defisit maksimum 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lengkaplah sudah kesulitan keuangan negara yang sekarang dihadapi. Opsi-opsi kebijakan yang ada untuk penyehatan fiskal sangat terbatas.

Syukurlah akhirnya pemerintah mengambil langkah dengan rencana kenaikan harga BBM. Meskipun terlambat, kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter yang direncanakan bulan Juni sudah bisa menghindarkan dari krisis fiskal dan ekonomi kita. Namun, kenaikan harga BBM saja tidak memadai. Sudah tiga tahun penerimaan perpajakan tidak mencapai target dan perencanaan sektor energi masih compang-camping.

Substansi perubahan
Penghematan anggaran harus terus dilakukan. Skema kompensasi kenaikan harga BBM juga haruslah semata-mata dialokasikan untuk program jaring pengaman sosial (social safety nets), jangan sampai ada program lain yang ikut membonceng.

Beberapa substansi penting perubahan APBN-P 2013 yakni asumsi makro, penurunan target perpajakan, kenaikan harga BBM, program kompensasi melalui Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dan lainnya, serta kenaikan defisit anggaran.

Dalam pembahasan RAPBN-P di DPR telah dibahas koreksi asumsi makro, yakni pertumbuhan sebesar 6,2 persen, inflasi 7 persen, dan nilai tukar Rp 9.600 per dollar AS. Harga minyak 108 dollar AS per barrel dan lifting minyak 840 barrel per hari. Perubahan tersebut dianggap masih belum realistis, tetapi lebih baik daripada asumsi semula.

Yang masih menjadi tantangan adalah upaya mencapai nilai tukar rupiah pada tingkat kisaran rata-rata Rp 9.600 per dollar AS. Kenyataannya saat ini rupiah berada pada tingkat di atas Rp 9.800 per dollar AS. Menteri Keuangan M Chatib Basri memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan mengalami penguatan apabila ada kepastian terkait kebijakan BBM bersubsidi.

Migas dan BBM

Target-target migas dan BBM juga tidak tercapai. Kenapa? Yang kurang akurat tampaknya adalah perencanaannya. Dalam APBN 2013 ditetapkan target produksi minyak bumi yang tidak realistis, yakni 900.000 barrel per hari, tetapi setelah realisasi hingga Mei 2013, kesepakatan RAPBN-P 2013 target lifting minyak bumi diturunkan menjadi 840.000 barrel per hari.

Dalam APBN-P, pemerintah juga menurunkan target lifting gas dari 1,36 juta barrel setara minyak per hari menjadi 1,24 juta barrel setara minyak per hari. Dengan penurunan target ini, produksi migas yang diharapkan bisa 2,26 juta barrel setara minyak per hari turun menjadi 2,08 juta barrel setara minyak per hari.

DPR juga menyetujui patokan harga minyak mentah Indonesia 108 dollar AS per barrel. Angka ini naik dari 100 dollar AS per barrel dalam APBN 2013. Komisi VIII DPR juga menyetujui usulan kuota BBM bersubsidi dalam APBN-P 2013 sebesar 48 juta kiloliter. Dalam APBN 2013, kuota BBM dan bahan bakar nabati bersubsidi dipatok 46,01 juta kiloliter. Biaya distribusi dan margin penjualan (alpha) BBM bersubsidi juga ditambah sebesar Rp 50 per liter.

Perubahan ini mengarah pada penurunan pendapatan negara dari migas dan penambahan belanja subsidi BBM (dan listrik) yang akhirnya menambah defisit APBN. Kejadian ketidakkonsistenan komponen migas dan BBM dalam APBN ini bukan pertama kali terjadi di 2013. Selain kelemahan dalam membuat perencanaan yang akurat dan upaya meyakinkan DPR, juga telah terjadi inkonsistensi dalam kebijakan migas dan BBM. Hal yang paling mencolok adalah mengenai kebijakan subsidi BBM. Kesempatan menyesuaikan harga BBM sudah diberikan dalam UU APBN 2013, tetapi tidak dimanfaatkan, malah ditunda sehingga menimbulkan berbagai macam unsur spekulasi dan ketidakpastian di fiskal dan neraca pembayaran.

Kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter akan menghemat belanja negara dan mengurangi tekanan defisit anggaran. Chatib Basri dalam pernyataan di Gedung DPR, (28/5), mengungkapkan, dengan pengendalian subsidi BBM tersebut, implikasinya ada defisit yang bisa dikurangi. Artinya, subsidi BBM-nya tidak sebesar kalau pemerintah tidak melakukan pengendalian subsidi. Jumlah yang bisa dihemat sekitar Rp 42 triliun.

Koreksi perpajakan

Dana puluhan triliun itu akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk lain, seperti BLSM, pembangunan infrastruktur dasar, dan program lainnya. Kompensasi kenaikan harga BBM melalui BLSM telah menuai kritik dari kalangan DPR sebagai upaya politisasi anggaran parpol pemerintah untuk menarik simpati rakyat. Apa pun kritik tersebut, pengalaman pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebelumnya membuktikan bahwa kebijakan tersebut dapat menjadi jaring pengaman sementara bagi masyarakat kurang mampu di tengah kenaikan biaya hidup akibat kenaikan harga BBM.

Sementara itu, pemerintah menurunkan penerimaan pajak dalam APBN-P tahun 2013 sebesar Rp 43,4 triliun sebagai dampak ekonomi global, terutama di benua Eropa dan Amerika Serikat. Hal itu juga untuk menyesuaikan pertumbuhan ekonomi yang direvisi ke bawah sekitar 6,2 persen dan penerapan kebijakan kenaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak.

Target penerimaan perpajakan setelah pemerintah mengoreksi, pajak penghasilan (PPh) dari Rp 584,9 triliun menjadi Rp 530,7 triliun, atau turun Rp 54,1 triliun dari APBN 2013. Asumsi penurunan terbesar datang dari PPh nonmigas sebesar Rp 53,5 triliun, dari target semula Rp 513,5 triliun menjadi Rp 460,0 triliun.
Sektor perpajakan tahun 2013 menghadapi ujian berat. Ini bukan hanya dari sisi menurunnya target pendapatan dari perpajakan, melainkan juga kasus-kasus korupsi yang melanda Direktorat Jenderal Pajak.

Terlepas dari kasus korupsi yang baru-baru ini terus menimpa aparat perpajakan, saat ini merupakan pembuktian hasil dari buah reformasi perpajakan dan birokrasi yang dimulai lebih dari lima tahun lalu. Pendapatan pajak penghasilan dari orang pribadi harus meningkat dengan kepatuhan dan sistem yang mampu menjaring peningkatan penghasilan wajib pajak, khususnya menengah dan besar. Berbeda dengan wajib pajak badan yang relatif sudah terawasi, wajib pajak orang pribadi sulit untuk dideteksi penghasilan kena pajaknya karena tersebarnya informasi.

Dalam RAPBN-P 2013, penerimaan negara mencapai Rp 1.488,3 triliun. Belanja negara mencapai Rp 1.722 triliun sehingga defisit anggaran mencapai Rp 233,7 triliun. Belanja negara tersebut termasuk juga kenaikan subsidi energi dari Rp 274,7 triliun menjadi Rp 309,9 triliun. Sayangnya, defisit anggaran dalam RAPBN-P 2013 sudah mencapai limit 3 persen dari PDB. Jika tidak, pelonggaran defisit masih dimungkinkan dengan penerbitan surat utang. Kebijakan pengelolaan utang saat ini sudah cukup mapan. Sejumlah variasi kebijakan utang, baik dalam membiayai defisit, reorientasi instrumen pembiayaan, skema refinancing, penyediaan pinjaman siaga, maupun penerbitan obligasi sukuk berbasis proyek, merupakan berbagai kebijakan pengelolaan utang yang menjamin keberlanjutan fiskal.

Di tengah kesulitan pilihan kebijakan fiskal, kita semua berharap Kementerian Keuangan dan komisi terkait di DPR terus berupaya mencari alternatif yang masih ada. Prospek masih terbuka apabila koordinasi internal pemerintah solid dan komunikasi dengan DPR terus dijalin. Diseminasi ke publik, pelaku pasar dan pengamat juga harus terus dilakukan untuk menghindari persepsi negatif. Kepastian APBN-P 2013 adalah krusial menuju landasan kebijakan ekonomi yang dapat dipercaya. Sesulit apa pun kondisi dan tantangan fiskal serta ekonomi kita saat ini, insya Allah ada jalannya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar