Selasa, 11 Juni 2013

Pendidikan Tinggi untuk Siapa ?

Pendidikan Tinggi untuk Siapa?
Amich Alhumami ;   Antropolog-Penekun Kajian Pendidikan; Bekerja di Bappenas
MEDIA INDONESIA, 10 Juni 2013
 
 
SANGAT jelas, pendidikan merupakan hajat hidup setiap warga negara. Konstitusi memberi mandat kepada pemerintah untuk menjamin hak warga negara dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas dan terjangkau.

Karena itu, pemerintah sebagai lembaga penyedia layanan publik bertanggung jawab penuh dalam menyelenggarakan pendidikan bagi segenap masyarakat.

Pendidikan, dengan demikian, dikategorikan sebagai barang publik (public good). Namun, apakah pendidikan tinggi juga termasuk barang publik atau tidak telah menjadi tema klasik dalam debat akademik di kalangan para sarjana, terutama ahli-ahli ekonomi. Pro-kontra argumen terekam dengan jelas di dalam karya-karya kesarjanaan mereka (eg Geraint Johnes & Jill Johnes, Handbook on the Economics of Education, 2004; Walter W McMahon, The Private and Social Benefits of Higher Education, 2009).

Penerima manfaat
Pokok perdebatan mengenai tema tersebut berpangkal pada dua isu pokok yang saling terpaut. Pertama, penerima manfaat ekonomi perorangan/pribadi (private economic benefits) dari pendidikan tinggi lebih besar jika dibandingkan dengan penerima manfaat ekonomi kolektif/publik. Yang termasuk kategori manfaat ekonomi adalah semua jenis keuntungan--moneter ataupun nonmoneter--yang bernilai setara atau dapat dikonversi dengan material wealth. Karena itu, beban pembiayaan pendidikan tinggi dalam porsi lebih besar semestinya ditanggung sang penerima manfaat.

Kedua, logika dari pandangan ini menegaskan dana pub lik dalam porsi besar seharusnya tidak dibelanjakan untuk membiayai pendidikan tinggi, yang justru lebih banyak memberi keuntungan personal daripada keuntungan publik. Selain itu, penerima keuntungan perorangan itu sebagian besar adalah mereka yang berasal dari kalangan kelas menengah/atas. Sangat jelas, masyarakat berstatus sosial-ekonomi mapan (middle/high income groups) justru yang menikmati investasi pendidikan tinggi.

Hasil studi Psacharopoulos & Patrinos mengonfirmasi hal ini melalui analisis returns to investment in education menurut jenjang pendidikan dan pendapatan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di negara-negara berpendapatan menengah (US$3.000-US$9.000), pengembalian investasi pendidikan tinggi untuk publik sebesar 11,3%, sedangkan untuk privat mencapai 19,3%. Gambaran serupa terlihat di negara-negara berpendapatan tinggi (US$9.500 ke atas), masing-masing 9,5% dan 12,4%. Namun, di negara-negara berpendapatan rendah (kurang dari US$1.000) justru lebih mencolok, masing-masing sebesar 11,2% dan 26,0% (lihat Human Capital and Rates of Return, 2004).

Argumen bandingan
Namun, validkah argumen bahwa yang memetik keuntungan ekonomi dari investasi pendidikan tinggi lebih didominasi kalangan kelas menengah/atas? Argumen bandingan perlu disimak, yang pada intinya menyatakan individu-individu yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi, kemudian bekerja dan berproduksi, adalah para pembayar pajak. Banyak penelitian dan kajian (eg Walter McMahon 2009; Todaro & Smith 2010) menunjukkan para tenaga kerja lulusan perguruan tinggi, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemahiran teknis, dan menguasai teknologi niscaya lebih produktif jika dibandingkan dengan para pekerja lulusan sekolah menengah ke bawah.

Dengan semua keunggulan yang dimiliki, mereka lebih adaptif dengan dunia kerja dan mudah diterima di berbagai lapangan pekerjaan: industri dan jasa. Pendapatan para pekerja terdidik pun dengan sendirinya lebih cepat mengalami peningkatan. Sangat jelas, mereka memberi kontribusi yang berarti pada pendapatan negara yang bersifat shared resources for common good and collective interest melalui instrumen pajak.

Dalam konteks ini, dana publik yang dipungut melalui pajak ini selanjutnya digunakan untuk membiayai pelayanan sosial dasar (misalnya, pendidikan, kesehatan, perumahan). Dalam konteks intellectual discourse argumen ini sangat logis dan rasional, tetapi tetap memunculkan gugatan pada tataran empiris terutama terkait dengan masalah kembar yang saling berkelindan: akses dan pemerataan pendidikan tinggi. Penting diketahui bahwa keadilan dalam memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan (equality of education opportunity) pada jenjang pendidikan tinggi masih menjadi masalah keterjangkauan pendidikan tinggi (affordability of higher education).
 
 Partisipasi pendidikan tinggi
Dalam konteks kebijakan publik di Indonesia, pokok perdebatan bermuara pada isu sangat serius di Indonesia. Jangan terkejut, partisipasi pendidikan pada jenjang tertiary education menunjukkan kesenjangan sangat mencolok antarkelompok sosial-ekonomi (kaya-miskin).

Dari total penduduk berusia 19-23, sekitar 19,9 juta orang, yang tercatat menempuh pendidikan di perguruan tinggi (PTN+UT, PTS, PTA, PT Kedinasan) sekitar 5,8 juta orang. Menurut data Kemendikbud (2011), angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi sebesar 27,1%.

Namun, simaklah fakta disparitas partisipasi pendidikan tinggi dengan merujuk data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas, 2011). Dilaporkan, penduduk kelompok quintile 1 (20% lapisan masyarakat paling miskin) yang menempuh pendidikan tinggi baru sebanyak 4,4 %. Namun, penduduk kelompok quintile 5 (20% lapisan masyarakat paling kaya) yang mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi sudah mencapai 43,6%. Ini adalah fakta kesenjangan partisipasi pendidikan yang sangat mencengangkan dan menunjukkan betapa layanan pendidikan tinggi lebih banyak dinikmati orang kaya. Data tersebut dengan jelas menggambarkan betapa pendidikan tinggi hanya dapat diakses penduduk usia muda yang berasal dari better-off families.

Ketidakmerataan kesempatan menempuh pendidikan tinggi jelas merupakan problem krusial yang berpotensi memunculkan masalah sosial-politik di masyarakat. Bila tidak segera ditangani, masalah ini akan semakin mempertajam segregasi sosial dan masyarakat kian terpolarisasi berdasarkan status ekonomi (kaya-miskin). Sungguh memprihatinkan bila pendidikan tinggi justru menjadi sarana pembelahan sosial dan mendorong proses social exclusion, yang dalam jangka panjang bisa mengancam harmoni sosial dan keutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, Marxian caveat menjadi sangat relevan untuk direnungkan: instabilitas sosial dan pergolakan politik acap kali dipicu pertentangan kelas dalam masyarakat yang bertarung memperebutkan sumber daya sosial-ekonomi.

Beasiswa Bidik-Misi
Agar layanan pendidikan tinggi tidak bias kelas menengah (keuntungan ekonomi justru dinikmati orang kaya) dan dalam rangka menjamin hak masyarakat yang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi, pemerintah membuat terobosan program Bidik-Misi (Bantuan Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi). Program Bidik-Misi dapat disebut sebagai breakthrough, yang membuka jalan bagi pelajar-pelajar bertalenta dari keluarga-keluarga berkemampuan ekonomi lemah agar dapat menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Program Bidik-Misi dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan tinggi, terutama bagi lulusan-lulusan sekolah menengah yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah.

Program Bidik-Misi memiliki empat tujuan utama. Pertama, memperluas akses layanan pendidikan tinggi yang berorientasi pada upaya mempersempit kesenjangan partisipasi pendidikan antara kelompok miskin dan kelompok kaya. Kedua, memperluas cakupan layanan pendidikan tinggi bagi penduduk usia produktif dalam rangka meningkatkan daya saing yang berorientasi pada perkuatan perekonomian nasional. Ketiga, meningkatkan jumlah lapisan kelas menengah terdidik untuk memperkokoh struktur sosial-ekonomi di dalam masyarakat. Keempat, memperkuat lapisan masyarakat terpelajar yang membentuk critical mass untuk memantapkan basis sosial-politik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Kebijakan afirmasi

Dengan cakupan yang terus meningkat setiap tahun, program Bidik-Misi merupakan respons terhadap aspirasi publik yang menuntut agar akses pendidikan tinggi dapat dinikmati secara lebih merata oleh semua lapisan masyarakat. Agar layanan pendidikan tinggi dapat menjangkau seluruh kelompok masyarakat tanpa membedakan stratifikasi sosial-ekonomi, setiap warga negara dalam menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi memerlukan affirmative policy untuk menghilangkan kendala finansial. Hanya melalui kebijakan afirmasi yang efektif, keuntungan ekonomi pendidikan tinggi yang didominasi masyarakat kelas menengah/atas dapat direduksi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar