Senin, 10 Juni 2013

TK dan Jembatan Kebangsaan

TK dan Jembatan Kebangsaan
Ydi Latif ;   Aktivis Antikorupsi dan Perubahan Sosial
KOMPAS, 10 Juni 2013
 
 


Taufiq Kiemas mengakhiri riwayat hidupnya dengan indah, sebagai pendekar Pancasila. Selama empat tahun memimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat, ia berhasil menghidupkan peran lembaga permusyawaratan yang cenderung melempem pasca-Orde Baru itu dengan memosisikannya sebagai penggalang kesadaran konsensus dasar kebangsaan, yang disebut ”Empat Pilar”.

Di luar kontroversi persoalan semantik (pilar), yang memang acap kali menjadi masalah besar dalam kerumitan mentalitas bangsa ini, penghargaan harus diberikan karena kegigihannya dalam segala keterbatasan fisik, untuk menyadarkan kembali pentingnya Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sesanti negara. Di ujung perjuangannya sebagai penyadar Pancasila, ia mengingatkan bangsa Indonesia bahwa penemuan Pancasila itu tidaklah dipungut dari udara yang muncul seketika secara sim salabim, tetapi hasil perenungan dan perjuangan panjang pendiri bangsa.

Untuk menyadarkan hal itu, pada 1 Juni 2013 ia membentangkan jembatan ke masa lalu dengan tapak tilas ke tempat pengasingan Bung Karno di Ende (Flores), salah satu situs awal penggalian nilai-nilai Pancasila. Bung Karno mengisahkan, ”Di Pulau Flores yang sepi, di mana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila.” (Adams, 2011: 240)

Jembatan simbolik
Menjadi jembatan kebangsaan sepertinya menjadi jalan hidup Taufiq Kiemas (TK) sebagai aktivis-pejuang. Peran tersebut, meski sering tak terpapar sorotan kamera, sangat penting sebagai titian pelintasan. Untuk masa yang panjang, jalan kemajuan Indonesia berulang kali terjebak dalam kemacetan historis yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan simbolik yang diwarisi dari konstruksi kolonial.

Meminjam pandangan Albert Memmi (intelektual revolusioner Tunisia), ”Patologi pascakolonial ini bersifat limbo, antara kemungkinan kebebasan yang nyata dan bayang-bayang ketidakbebasan yang terus mengancam, antara menjadi ada dan tiada, antara kemerdekaan dan ketergantungan, yang berakar pada residu infeksi-infeksi masa lalu yang terpendam dan tak terselesaikan.”

Untuk menjebol kemacetan historis itu, perlu ada jembatan simbolik yang memungkinkan orang dari kutub-kutub yang berbeda bisa saling menyapa dan mencairkan kebekuan-kebekuan stigma. Orang yang mampu mengemban misi sejarah ini biasanya tokoh berciri ”liminal” (berposisi ’antara’), yang bisa melintasi batas-batas pengelompokan karena pertautannya dengan ragam aliran. Seperti oksigen yang hadir dan berbagi di sembarang ruang, kehadiran tokoh ”liminal” berperan penting sebagai jembatan penghubung antarhorizon, perajut solidaritas antarkutub, dan pelancar lalu lintas sumber daya, yang memungkinkan arus komunikasi dan kerja sama bisa berjalan.

Bukannya tanpa risiko. Dalam posisinya sebagai jembatan, tokoh ”liminal” kerap kali segera dilupakan ketika para pelintas telah berhasil melewatinya. Karena terus melintas, kehadirannya di suatu persinggahan acap kali terlupakan. Ia dibutuhkan semua orang, tetapi tidak disadari banyak orang. Terlebih lagi, perhatian orang sering tersita oleh laga aktor di depan layar ketimbang orang-orang di belakang layar. Padahal, tanpa kerja keras tangan-tangan tersembunyi ini, sebuah drama tak bisa dipentaskan, sebuah monumen tak mungkin terbangun.

TK adalah tokoh dengan kategori ”liminal” seperti itu. Seorang yang berasal dari keluarga santri pendukung Muhammadiyah-Masjumi, ”menyeberang” merintis pergerakan politiknya lewat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Selanjutnya, berkat meritnya sendiri disertai pernikahannya dengan anak suhu nasionalis, Megawati Soekarnoputri, menempatkannya dalam posisi ”juru kunci” (belakang layar) rumah besar kaum nasionalis.

Sosok TK sebagai tokoh berlatar santri dengan peran pentingnya di lingkungan partai nasionalis utama (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDI-P), pada gilirannya membawa pengaruh yang signifikan dalam hubungan keislaman dan kebangsaan. Lebih lanjut, upayanya untuk membangun jembatan antara aspirasi nasionalis dan Islam membawa warna baru dalam ekspresi politik partai nasionalis tersebut.
Partai nasionalis Indonesia untuk masa yang panjang didukung oleh kekuatan-kekuatan priayi-feodal sehingga nilai-nilai egalitarianismenya sering dipersoalkan. Sementara itu, seperti ditengarai oleh Fred R Von der Mehden (1963), penekanan Islam dengan doktrin tauhidnya pada kesederajatan manusia, pertanggungjawaban pribadi dan rasionalisme, dalam sebuah masyarakat yang hierarkis, feodal, dan parokial sangat kondusif bagi penciptaan suatu fantasi pertautan sosial baru, kebangsaan yang egaliter. Dalam konteks inilah kehadiran TK dengan latar modernisme Islam di lingkungan partai nasionalis bisa membawa corak baru. Ekspresi nasionalisme yang dikembangkannya bersifat egaliter dan terbuka.

Keterbukaan ini ditunjukkan oleh kehendaknya untuk mengembangkan jembatan rekonsiliasi antara keindonesiaan dan keislaman, dengan menghapus stigma yang melekat pada partai nasionalis (PDI-P) sebagai partai yang fobia Islam. Langkah ke arah itu disimbolisasikan dengan mengembangkan sayap Islam dalam PDI-P: Baitul Muslimin Indonesia.

Dengan ini, dikotomi antara keislaman dan keindonesiaan dicairkan lewat pengakomodasian elemen-elemen pluralis Islam ke dalamnya. Dengan itu pula, posisi PDI-P dikukuhkan sebagai taman sari kebinekaan Indonesia, lewat penegakan pluralisme yang jujur, yang tidak meminggirkan baik yang minoritas maupun yang mayoritas.

Jembatan rekonsiliasi
Masih seturut dengan itu, sebagai orang yang berlatar keluarga santri tetapi mendarahi gagasan kiri marhaenisme, TK memainkan peran penting sebagai titian rekonsiliasi dari kekuatan-kekuatan konfliktual di masa lalu. Dengan mensponsori Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), TK berhasil merukunkan keturunan tokoh-tokoh yang pernah berkonflik di masa lalu, seperti keturunan Ahmad Yani, Kartosuwiryo, DN Aidit, Soekarno, dan Soeharto. Dengan kebesaran jiwa untuk memaafkan kepedihan masa lalu, anak-anak tokoh yang tergabung dalam FSAB ini bersepakat untuk berhenti mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru.

Sungguh mengharukan dan membanggakan. Di tengah arus besar mentalitas kerdil yang memaguti bangsa ini, masih tersisa jiwa besar yang bisa berdamai dengan ingatan pedih. Demi kebaikan dan kebahagiaan hidup kebangsaan, mereka bersedia memutus rantai dendam dengan lebih mengedepankan welas asih untuk memaafkan, seperti memantulkan pesan moral Nelson Mandela, ”Untuk berdamai dengan musuh, seseorang harus bisa bekerja sama dengan musuh dan musuh itu menjadi mitramu.”

Sisi ”liminal” lain dari seorang TK adalah latar kemiliteran ayahnya, tetapi ia sendiri jadi ”juru kunci” partai nasionalis yang dalam sejarahnya berulang kali memiliki hubungan yang buruk dengan tentara (baca: Angkatan Darat). Hal ini membawa kemungkinan berpikir out of the box.

Ketika Orde Baru mengencangkan represi terhadap anasir-anasir Orde Lama, TK justru membangun poros komunikasi dengan rezim keamanan Orde Baru. Dari sana, ia bukan saja belajar politik dari apa yang disebutnya sebagai ”lawan yang menang”, tetapi juga membangun jaringan solidaritas dengan unsur-unsur tentara yang di kemudian hari bisa menyelamatkan Megawati saat-saat gawat ketika keterpilihannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dicoba diblok oleh loyalis Soeharto.

Jembatan antarhorizon

Masih ada satu hal lagi yang penting. Sisi ”liminal” TK juga terletak dari latar belakangnya sebagai profesional-pengusaha (ayahnya pernah juga bekerja di Persatoean Waroeng Bangsa Indonesia, Departemen Perdagangan, dan pengusaha, sedangkan TK sendiri berprofesi pengusaha), tetapi harus berkiprah di partai wong cilik-marhaenis. Situasi demikian mendorongnya mengembangkan skema rekonsiliasi kaum marhaen dengan kaum pedagang/industriwan.

Baginya, paham marhaenisme tidaklah berarti antiborjuasi. Sebab, dalam pandangan Bung Karno sendiri, kaum marhaen tidaklah identik dengan kaum proletar di Eropa yang sama sekali tidak memiliki alat-alat produksi. Marhaen masih memiliki alat produksi (setidaknya petak tanah), tetapi skalanya amat terbatas sehingga melahirkan involusi kemiskinan. Jika perjuangan marhaenisme di masa lalu diarahkan terutama pada gagasan-gagasan land reform, situasi hari ini—di mana tak banyak lagi lahan yang tersedia—harus ada reoritentasi arah perjuangan.

Caranya, nilai tanah bisa disetarakan dengan nilai upah. Jika nilai upah membaik melampaui ambang minimum, kesempatan berusaha tumbuh, serta dunia usaha/industri mampu mengoptimalkan nilai tambah dari sumber daya alam kita bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka aspirasi marhaenisme bisa dipenuhi. Itu sebabnya, belakangan ini TK begitu bersemangat memasyarakatkan gagasan perlunya pengembangan dan kepedulian terhadap ”borjuasi nasional”.

Demikianlah, TK merupakan jembatan antarhorizon yang menjadi titik temu dari berbagai arah mata angin. Ia menampilkan dirinya sebagai solidarity maker dan match maker dari berbagai kepingan kekuatan kebangsaan. Seorang penggerak belakang layar yang sering kali dilupakan; meski pengalaman dan sumbangsih hidupnya terlalu berharga untuk diremehkan.

Selamat jalan, Pak TK! Kepergianmu meninggalkan jejak hidup, seperti dedaunan jatuh memberi pupuk kehidupan. Beristirahatlah dengan tenang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar