Rabu, 12 Juni 2013

Agenda Sel-Sel Baru Terorisme

Agenda Sel-Sel Baru Terorisme
Ismatillah A Nu’ad ;   Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUARA MERDEKA, 11 Juni 2013
 
 
 



"Imbas terorisme berdalih Islam apada akhirnya mencoreng kemoderatan muslim yang toleran dan ramah"


KANTOR polisi kembali menjadi sasaran terorisme. Aksi bom bunuh diri di Mapolres Poso merupakan kali kedua setelah sebelumnya di Mapolres Cirebon pada 2011. Beberapa indikasi mengarah pada kesamaan modus dua kasus tersebut. Mengapa kantor kepolisian termasuk target dari serangan sel baru terorisme di Indonesia?

Padahal sebelumnya mereka hanya menyasar tempat hiburan bagi warga negara asing atau aset bisnis yang berbau Amerika Serikat dan sekutunya. Bruce Hoffman dalam Inside Terrorism (2009) menjawab perihal agenda kaum teroris, yang kira-kira mulai muncul dan populer sejak Tragedi 11 September di AS. Hoffman tak hanya menjelaskan definisi, organisasi, dan teknologi yang digunakan teroris dan peristiwa yang melibatkan terorisme berjubah fundamentalisme keagamaan tapi juga menguraikan ’’misi suci’’mereka.

Hoffman menjelaskan terorisme jenis itu bersifat global atau transnasional, mereka beraksi demi ’’tujuan suci’’. Penyebab dasarnya adalah interaksi penetrasi dan penjajahan Barat atas hampir seluruh wilayah muslim pada masa modern. Hal itu tak hanya menyebabkan disintegrasi politik muslim tetapi juga memunculkan pergumulan intens di kalangan muslim, terutama kaum fundamentalis.

Superioritas Barat misalnya, selain memunculkan gerakan pembaruan Islam di satu sisi, di sisi lain memunculkan gelombang fundamentalisme Islam yang kemudian melancarkan aksi teror. Agenda terorisme berdalih keagamaan salah satunya ingin menghancurkan aset yang diindikasikan milik atau berbau Barat, dan ingin menciptakan stigma kengerian terhadap Barat supaya mereka hengkang dari negeri muslim. Karena itu, rentetan aksi bom, khususnya di Indonesia, dilakukan di tempat yang diindikasikan aset atau berbau Barat, seperti Hotel JW Marriott, Ritz-Carlton, McDonald’s, kafe atau kelab malam yang banyak dikunjungi orang Barat, seperti di Bali. Bagi kaum fundamentalis, aset Barat ditengarai menghasilkan banyak devisa dan sebagian disumbangkan guna memerangi muslim seperti di Irak, Afghanistan, Palestina, muslim Moro, dan Pattaya.

Sejatinya salah menjadikan Indonesia sebagai daerah perang (dar al-harb) dalam arti benturan Islam dan Barat. Pasalnya Indonesia adalah negeri damai dan tak memiliki akar bagi muslim radikal dan ekstrem. Muslim Indonesia terkenal karena kemoderatannya. Namun warna keberagamaan Islam yang khas Indonesia memang tengah menghadapi gugatan dengan kehadiran gerakan fundamentalis. Pemahaman keagamaan mainstream yang dianut mayoritas muslim dinilai bukan pemahaman Islam yang benar karena mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan sistem sosial politik lokal ataupun sekuler.

Mainstream keagamaan yang dianut secara mayoritas itu juga dianggap berbeda dari Islam ideal. Menurut kaum fundamentalis, autentisitas Islam telah hilang dan karenanya perlu purifikasi dan sistem Islam (nizam al-Islam). Ramah Toleran Kelompok fundamentalis tidaklah tunggal.

Dalam artikel ’’Anatomy of Salafi Movement’’, Quintan Wiktorowicz (2003) mengidentifikasi tiga varian kelompok salafi, yaitu purist, politicos, dan jihadis. Kelompok pertama memberikan penekanan pada metode nonkekerasan, seperti dakwah, purifikasi, dan pendidikan. Kelompok kedua, menekankan penerapan kredo salafi yang antipluralisme pada arena politik, yang oleh mereka dianggap sangat penting karena politik secara langsung memberikan pengaruh terhadap keadilan sosial. Adapun varian ketiga, mengambil posisi jauh lebih militan dan mengusung keyakinan bahwa situasi yang dihadapi umat Islam saat ini menyerukan kekerasan dan revolusi. Yang ketiga inilah kemudian sering melakukan teror bom bunuh diri.

Islam memang memiliki potensi melahirkan pluralitas kebenaran, atau istilah lain adalah Alquran sendiri melahirkan double discourse. Menurut Ashgar Ali-Engineer (1999), pemikir muslim liberal dari India, penafsiran yang beragam terhadap Islam adalah sesuatu yang inheren, itu bisa terjadi karena teks Alquran sangat kaya dan bisa didekati lewat berbagai cara. Termasuk saat kaum fundamentalis mengartikan teror sebagai jihad dan menganggap Barat sebagai musuh bukan sebagai mitra dialog.

Namun terorisme jelas bertentangan dengan agama dan kemanusiaan karena telah membunuh orang tak berdosa. Menurut Bruce Lawrence dalam Shattering the Myth (2004), tindakan jihad yang diartikan kaum fundamentalis sebenarnya sebentuk penyimpangan dari ajaran agama (religious deviation). Itulah tantangan bagi dunia Islam, bagaimana mengembalikan wajah Islam yang ramah dan toleran. Gerakan fundamentalisme yang ekstrem dan radikal memang bersifat peripheral, dalam arti sangat minoritas. Namun dari celah itulah jika tak ditanggapi serius bisa menjadi bumerang bagi komunitas muslim dalam arti mayoritas. Imbas aksi terorisme berdalih Islam pada akhirnya mencoreng kemoderatan muslim yang toleran, ramah, dan mencintai kemanusiaan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar