Senin, 10 Juni 2013

Membangun Empati di Sekolah Inklusi

Membangun Empati di Sekolah Inklusi
Arifah Suryaningsih ;    Guru SMKN 2 Sewon DIY, Sedang menempuh
pendidikan pada Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM
SUARA KARYA, 08 Juni 2013
 
 
 
Pendidikan inklusi hingga kini masih dianggap asing di kalangan masyarakat. Banyak cerita sering kita dengar tentang penolakan-penolakan terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk masuk ke sekolah-sekolah reguler karena ketidaksiapan sekolah dan masyarakat/orangtua siswa lainnya. Hal ini menunjukkan masih kurangnya informasi dan sosialisasi yang mengakibatkan penolakan masyarakat terhadap kekhususannya tersebut. Juga, karena minimnya jumlah sekolah reguler yang bersedia menampung para ABK.

Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler serta siswa penyandang disabilitas dalam program yang sama, baik dalam mengikuti pendidikan maupun beradaptasi dengan lingkungannya. Dasarnya adalah UUD 1945, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, serta Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Anak yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

Program sekolah inklusi secara formal dideklarasikan sejak 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak, termasuk anak dengan disabilitas. Model pendidikan inklusif ini pun diyakini dapat menjadi salah satu kebijakan dalam implementasi konsep Education For All (EFA) di mana Indonesia telah mendeklarasikan akan mencapai EFA tahun 2015.

Kenyataannya, program ini masih menjadi momok bagi sekolah, guru dan juga orangtua siswa, baik orangtua dari siswa disabilitas maupun nondisabilitas. Banyaknya sekolah yang tidak siap dan masih banyaknya penolakan tersebut seakan menambah ketakutan orangtua ABK untuk 'mengeluarkan' anaknya ke dunia luar, menjaga anaknya dari kemungkinan tindak diskriminasi yang dapat menambah beban psikologis anak maupun keluarganya. Dhus, pilihan Sekolah Luar Biasa (SLB) masih dirasakan menjadi sebuah solusi yang paling tepat bagi anak-anak ABK.

Padahal, ketika ABK bersekolah di SLB, mereka akan seperti 'katak dalam tempurung'. Selamanya hanya berkutat di dalam dunia kekhususannya, berteman dengan sebatas teman-temannya yang juga bernasib sama. Seperti yang dituliskan oleh Ramadhani Ray bahwa sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusivisme bagi anak dengan disabilitas terhadap lingkungan pergaulan sosial. Akibatnya, dalam interaksi sosial, kelompok penyandang disabilitas menjadi kelompok yang termarginalkan di masyarakat, karena mereka merasa asing dengan kehadiran penyandang disabilitas. Pun demikian dengan kaum disabilitas sendiri, mereka akan merasa bahwa dirinya tidak menjadi bagian yang integral dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah berharap agar pemerintah daerah memperluas akses pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Salah satunya dengan memperbanyak sekolah-sekolah inklusi di daerah masing-masing. Maka, dukungan dan apresiasi yang besar harus disampaikan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta atas dimulainya pengembangan program percontohan pendidikan inklusi di tingkat ASEAN oleh UNESCO yang selanjutnya akan menjadi model percontohan untuk dikembangkan di kota/kabupaten lain di Indonesia. Pendidikan inklusi ini telah dijalankan pada saat ini di Kota Yogyakarta dengan 33 sekolah, terdiri atas 2 TK, 19 SD, 3 SMA, dan 4 SMK dengan jumlah siswa inklusi mencapai 288 siswa. (SK, 8/03/2013)

Menyelenggarakan sekolah inklusi adalah sebuah pekerjaan besar. Bukan sekedar dukungan dari pemerintah atas segala fasilitas yang harus dimiliki oleh sekolah, namun juga upaya besar guru sebagai ujung tombak pelaksana pembelajaran. Guru yang akan membawa perubahan itu, karena dia adalah kuncinya. Keterlibatan (involvement) atau mengikutsertakan (engage) adalah dua hal yang harus mendasari seorang guru dalam memberikan pelayanan terbaik kepada siswa.

Berangkat dari situlah, guru mengenal siswanya untuk menjadi mengerti apa yang dibutuhkan siswa. Bukan sekedar hubungan formal antara guru dan murid, namun mereka bisa menjadi seperti sahabat. Sehingga, dapat menumbuhkan keberanian siswa untuk mau berbagi dan berempati, sesederhana apa pun ide dan wujudnya. Karena harus dipahami bahwa membaurkan siswa disabilitas pada lingkungan normal bukan semata untuk kepentingan kaum mereka saja. Namun, kondisi ini akan melatih siswa nondisabilitas sehingga mereka dapat menghargai perbedaan, meningkatkan toleransi, memahami kebutuhan temannya yang menyandang disabilitas dan melahirkan sikap empati yang tinggi.

Ketakukan acapkali terjadi kepada siswa non-abilitas terhadap siswa abilitas. Perbedaan secara psikis ataupun fisik itu merupakan sebuah hal asing bagi mereka. Pemahaman dan penerimaan kehadiran siswa ABK dalam lingkungan normal bisa dikatakan merupakan titik equilibrium di mana sejak itulah semua siswa dapat melebur menjadi satu sosial masyarakat yang utuh, bahwa di sana ada banyak sekali perbedaan yang satu sama lain harus mau dan mampu menerimanya.

Inilah keistimewaan pendidikan inklusi. Di dalamnya tidak hanya melatih siswa untuk cerdas dalam aspek akademis semata, tetapi juga cerdas secara sosial dan emosional. Temuan Paul Stoltz tahun 1997 tentang ketangguhan pribadi (adversity quotient) sebagai prediktor baru dalam melihat kesuksesan, melengkapi IQ, EQ, SQ yang lebih dulu populer jelas-jelas mendapatkan tempat di sekolah inklusi. Proses pendidikan yang dijiwai dengan keempat prediktor ini, pada 10-15 tahun mendatang tentu akan memberikan pribadi-pribadi yang pintar secara kognitif, cerdas secara emosional dan tangguh menghadapi setiap tantangan. Namun, keberhasilan ini tentu mendapat dukungan masyarakat dan keluarga sebagai wujud keutuhan trilogi pendidikan kita. Semoga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar