Rabu, 21 Januari 2015

Menyandera dengan Status Tersangka


Menyandera dengan Status Tersangka

Eddy OS Hiariej  ;   Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 21 Januari 2015
 


 
DALAM perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya. Adagium ini mengandung makna bahwa membuktikan seseorang pelaku tindak pidana tidaklah hanya berdasarkan persangkaan semata-mata, tetapi juga bukti-bukti yang ada harus jelas, terang, akurat, dan tidak terbantahkan.

Penetapan seseorang sebagai tersangka, berikut penangkapan dan penahanan dalam perkara pidana, berkorelasi positif dengan pembuktian. Pasal 1 butir 14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Apa yang dimasud dengan ”bukti permulaan”? Terkait dengan penangkapan, Pasal 17 KUHAP mengatur, perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penjelasannya hanya dikatakan bahwa ”bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.

Apakah ”bukti permulaan” sama dengan ”bukti permulaan yang cukup”? Sudah tentu berbeda. Jika berhubungan dengan penahanan, Pasal 21 Ayat (1) KUHAP memberi pedoman bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.

Apakah yang dimaksudkan dengan ”bukti yang cukup”? Merujuk pada Pasal 1 butir 14, Pasal 17 berikut penjelasannya, dan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, ada berbagai istilah yang kedengarannya sama, tetapi secara prinsip berbeda, yakni istilah ”bukti permulaan”, ”bukti permulaan yang cukup”, dan ”bukti yang cukup”. Sayangnya, KUHAP tak memberi penjelasan lebih lanjut terkait perbedaan dari ketiga istilah itu.

Berdasarkan doktrin, kata-kata ”bukti permulaan” dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal selaku physical evidence atau real evidence.

Unjuk bukti

Menakar bukti permulaan tak dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya, pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana itu haruslah berpatokan pada elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. Untuk mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka atau penangkapan dan penahanan, setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dan lainnya, termasuk pula dengan calon tersangka.

Mengenai hal terakhir ini, KUHAP tidak mewajibkan penyidik memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada si tersangka. Namun, berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut persangkaan yang tak wajar.

”Bukti permulaan yang cukup” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 KUHAP adalah pada bewijs minimum atau minimum bukti yang diperlukan untuk memproses seseorang dalam perkara pidana, yakni dua alat bukti. Hal ini pun masih menimbulkan perdebatan terkait dua alat bukti. Apakah dua alat bukti itu secara kualitatif ataukah kuantitaif. Jika diurut berdasarkan Pasal 184 KUHAP, ada lima alat bukti dalam perkara pidana, (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) keterangan terdakwa, dan (5) petunjuk.

Secara kualitatif, dua alat bukti itu harus ada keterangan saksi dan keterangan ahli atau keterangan saksi dan surat atau keterangan ahli dan surat dan seterusnya. Dua alat bukti yang dimaksud secara kualitatif adalah dua dari lima alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP.

Secara kuantitatif, dua saksi sudah dihitung sebagai dua alat bukti. Dalam tataran praktis, dua alat bukti yang dimaksud adalah secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi, dua alat bukti yang dimaksud dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Perlu ditegaskan bahwa penyidik dan penuntut umum tak berwenang menggunakan alat bukti petunjuk karena bukti otoritatif melekat pada hakim.

Berikut perihal istilah ”bukti yang cukup” untuk melakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP. Agar tidak bias, keseluruhan isi Pasal 21 Ayat (1) dikutip, ”Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.”

Interpretasi gramatikal sistematis terhadap ketentuan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP adalah bahwa yang dimasudkan dengan ”bukti yang cukup” dalam pasal a quo tidak hanya menyangkut bukti tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan terhadap tersangka atau terdakwa, tetapi juga meliputi bukti bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Artinya, bukti yang cukup di sini selain merujuk pada minimum dua alat bukti atas tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan terhadap tersangka atau terdakwa, juga merujuk pada minimum dua alat bukti atas kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.

Pola kerja KPK saat ini—kecuali dalam operasi tangkap tangan—jeda waktu penetapan seseorang sebagai tersangka dan penahanannya relatif memakan waktu yang lama. Sebut saja Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum yang kurang lebih setahun kemudian baru ditahan setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka. Demikian pula Hadi Purnomo yang telah ditetapkan tersangka sejak 21 April 2014 dan Suryadarma Ali yang telah ditetapkan tersangka sejak 22 Mei 2014 sampai saat ini masih menghirup udara bebas. Pola kerja yang demikian tidaklah bertentangan dengan KUHAP, tetapi cenderung melanggar HAM sebagaimana yang dijunjung tinggi dalam due process of law. Stigma tersangka pada diri seseorang membuatnya tersandera melakukan tindakan apa pun, termasuk diangkat dalam jabatan publik, padahal belum tentu putusan pengadilan akan menyatakan dia bersalah.

Membalik pola

Alasan klise yang selalu diutarakan adalah KPK kekurangan penyidik dan KPK baru melakukan penahanan terhadap tersangka setelah berkas perkara mencapai lebih dari 60 persen untuk dilimpahkan ke pengadilan. Mengapa tak dibalik?

Ketika seseorang diduga korupsi, KPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap saksi terlebih dulu, termasuk calon tersangka, untuk memverifikasi bukti dokumen yang ada. Sembari melakukan penyidikan, KPK dapat minta cekal kepada orang yang diduga korupsi tanpa menetapkan status tersangka. Setelah berkas perkara matang mencapai lebih dari 60 persen, baru kemudian status tersangka ditetapkan dan diikuti dengan penahanan. Bukankah berdasarkan Pasal 21 Ayat (4) KUHAP terkait syarat obyektif penahanan, KPK dapat melakukan penahanan sesegera mungkin karena korupsi adalah kejahatan yang diancam lebih dari 5 tahun penjara?

Pola kerja yang demikian lebih elegan karena setiap orang yang diberi status tersangka tentu mengharapkan sesegera mungkin dihadapkan di persidangan sehingga memperoleh kepastian hukum mengenai benar-salahnya orang itu dan tidak tersandera dengan status itu. Keberhasilan KPK yang mencapai 100 persen dalam menangani perkara korupsi perlu dijadikan peringatan dini kepada setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, di sisi lain, ada fenomena lain di Pengadilan Tipikor yang berkembang dewasa ini dan cukup memprihatinkan dalam penegakan hukum.

Hakim di Pengadilan Tipikor lebih takut terhadap opini publik daripada fakta di persidangan. Artinya, penjatuhan pidana oleh hakim di Pengadilan Tipikor bisa jadi karena buktinya valid, tetapi juga tak jarang karena hakim takut berurusan dengan Komisi Yudisial manakala memutus bebas atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Dalam konteks yang demikian, kiranya apa yang dikatakan oleh Jerome Skolnick dalam Justice Without Trial relevan bahwa hukum acara pidana dibuat dengan maksud mengontrol para penegak hukum dari tindak sewenang-wenang.

Sabtu, 29 November 2014

Suara Hati untuk Sang Maha Guru


Suara Hati untuk Sang Maha Guru

Damang Averroes Al-Khawarizmi: Alumnus Fakultas Hukum Unhas
 Fajar,  22 November 2014





Baru kali ini saya benar-benar teramat sulit untuk turut ambil bagian dalam menyoroti petaka yang sedang menimpa Fakultas Hukum Unhas pada khususnya, dan citra Universitas Hasanuddin (Unhas) pada umumnya. Bagaimana tidak? Seorang dosen Unhas berinisial MS dan IS, berdasarkan rilis berbagai media, tertangkap tangan diduga sedang menggunakan sabu-sabu di sebuah hotel Malibu di Makassar. Dan sebuah keniscayaan, apapun yang terjadi dengan situasi dimana bumi dipijak, beliau tetap adalah maha guru yang pernah mengajari saya, sehingga bisa menjadi orang yang sesungguhnya pada hari ini.

Setelah kontemplasi berhari-hari, akhirnya keberanian itu datang, sekedar mengobati resah gelisah dan hati piluh yang terus membuncah. Pun kemudian saya memberanikan diri pula menuliskannya.

Ungkapan maaf kuhaturkan kepada beliau, para pembesar unhas, sang maha guru, jika tulisan ini kemudian terkesan lancang dalam menuturkan “suara hati” untuk beliau yang tetap akan kuanggap; sampai kapanpun adalah guru saya. Meskipun beliau kini sedang dirundung kasus dalam keterlibatannya sebagai penyalahguna narkotika, sekali lagi saya menyatakan dia adalah maha guru saya.

Suara Hati
Di kala rilis media online “membombardir” dunia jejaring sosial memberitakan; bahwa terdapat dua orang dosen Fakultas Hukum Unhas sedang tertangkap tangan di sebuah hotel, diduga sedang pesta sabu-sabu, lalu ditemukan sabu-sabu dan alat peghisap di Tempat Kejadian Perkara. Hati ini, sebagai seorang yang pernah diajar dan dibimbing oleh beliau, kemudian menjadi remuk, laksana hati yang terluka; lukanya teramat sembilu. Tak ada kata-kata yang bisa terungkapkan, selain perasaan gundah gulana. Harap-harap cemas, semoga berita itu tidak benar, ataukah minimal beliau hanya dijebak.

Namun hari-hari selanjutnya, tak ada cara lain untuk menafikan rilis berita di berbagai harian. Hasil tes urine dan sampel darahnya dinyatakan positif, itu artinya semakin kuat dugaan kalau beliau memang nyatanya adalah pemakai zat aditif terlarang .

Selanjutnya, dalam diri yang sedang dilanda kecemasan. Hati dan pikiran beradu argumen, kemudian memunculkan pertanyaan: apakah beliau yang selalu mengabdikan diri dan hidupnya sebagai pengajar, mendedikasikan amal baktinya untuk Fakultas Hukum Unhas, yang pernah mengajari kami ilmu dan pengetahuan bajik, lalu dengan serta-merta mengingkari jasa-jasanya sebagai seorang maha guru? Jawabannya: tidak sama sekali. Suara hati nan suci, tanpa intervensi segala kepentingan, akan tetap selalu mengatakan; beliau adalah guru dan pengajar yang memiliki banyak jejak jasa.

Ibarat seorang Ayah atau Ibu, sebagaimanapun jahat dan bejatnya mereka. Maka anaknya, sama sekali tidak ada jalan untuk mengingkari Ayah dan Ibunya. Inilah sebuah keniscayaan, bahkan sunnatulloh, mengingkari orang-orang yang pernah mengajari kita dari tidak tahu sama sekal kemudian menjadi tahu. Dari yang tahu; kemudian semakin tahu. Dalam hemat penulis adalah sebuah “kekufuran” jika mengingkari orang yang pernah mengajari kita. Toh sebagai seorang yang pernah diajar, Tuhan menjadikan manusia, paripurna dari segala ciptaannya, adalah kita dibekali tiga kekuatan dahsyat: akal. Hati dan jiwa. Dari tiga dimensi pembeda itulah; segala unsur kebenaran dan kebajikan harus terterima oleh diri yang mengaku sebagai insani. Kemudian di sanalah “cikal bakal” pelekatan nama guru terorbitkan. Pun kalau ada unsur keburukan, tata kelakuan, perilaku, bahkan penyampaian ajaran yang salah dari mereka karena telah berpredikat maha guru. Pada saat itu, janganlah dipandang sebagai seorang guru. Bukankah petuah bijak mengingatkan kita: jangan liat siapa yang menyampaikan kebenaran, tapi dengarlah kebenaran yang dia ungkapkan.

Mendahulukan Kebenaran
Lalu jika seorang guru diibaratkan bagai Ayah atau Ibu yang memiliki peran penting atas kelahiran kita. Apakah dengan faktor kedekatan, jasa, dan utang budinya, bahwa kebenaran dibiarkan tekunci dalam peti yang rapat? Jawabannya tidak sama sekali. Taruhlah misalnya seorang ayah, ketika anaknya mengetahui perbuatan korupsi ayahnya. Ia harus mengungkapkannya perihal perbuatan korupsi itu, tanpa menghiangkan adikodratinya, kalau dia tetap sebagai anak yang memiiki ayah.

Dalam perbandingan yang sama, “hukum” demikian juga beralaku untuk seorang yang pernah menjadi pendidik, pengajar, atau guru. Apabila memang sang guru tersebut salah dalam berbuat dan bertingkah, janganlah berusaha menyembunyikannya. Demikianlah pesan lebih lanjut yang pernah diutarakan oleh filsuf yunani. Ketika Plato berjar “Socrates adalah guru saya, tetapi guru yang melebihi Socrates adalah kebenaran.”

Oleh karena itu, dalam konteks sekarang dengan menyerahkan kasus MS dan IS kepada penegakan hukum dan due process of law, penting untuk dimaknai sebaga bagain dari mendahulukan kebenaran. Dan lagi-lagi kodrat an sich sebagai maha guru yang pernah mengajarkan kebenaran dan kebajikan, tidaklah sama sekali luntur.

Fakultas Hukum Unhas sebagai tempatnya pernah mengabdi, dan Universitas Hasanuddin yang pernah dipimpinnya (walau hanya seumur jagung), dengan mengambil posisi dan sikap; “katakan yang benar kalau benar, katakan yang salah kalau salah,” Sama sekali tidak akan menghilangkan lambang kejantanan dan keperkasaan Unhas sebagai lembaga Perguruan Tinggi, yang telah melahirkan banyak pembesar-pembesar di negeri ini.

Unhasku yang malang, Unhasku yang mulai luntur merahnya. Panji-panji kebenaran dan keadilan mari terus kita gelorakan. Yakin dan percaya saja, Unhas akan jaya selalu.

Reforma Agraria untuk Ketahanan Pangan

Reforma Agraria untuk Ketahanan Pangan

Bernhard Limbong  ;   Doktor Hukum Pertanahan, Unpad, Bandung
KOMPAS,  28 November 2014


                                                                                                                       
Pertanian menyediakan lapangan kerja bagi 40 persen warga dunia yang berjumlah 7 miliar saat ini. Namun, hampir 900 juta orang masih kelaparan setiap hari. Jumlah orang lapar akan bertambah menjadi 2 miliar orang pada tahun 2050.

Data dunia itu berbanding lurus dengan kondisi di Indonesia. Sektor pertanian menyediakan mata pencaharian bagi 120 juta orang dari total 253 juta penduduk Indonesia.

Memang tidak ada data resmi, berapa orang Indonesia yang kelaparan setiap hari, tetapi mayoritas petani, pekebun, peternak, petambak, dan nelayan hidup dalam kemiskinan dan menghuni sekitar 81.000 desa Indonesia saat ini.

Faktanya, kita kehilangan kedaulatan pangan. Sebanyak 65-70 persen kebutuhan pangan nasional bergantung pada impor, mulai dari beras, jagung, kedelai, singkong, kentang, bawang, wortel, cabe, jeruk, pir, anggur, apel, pir, daging sapi, ikan, hingga ikan asin dan garam.

Akibatnya, produk petani dan nelayan tersapu produk impor. Ini persoalan sangat serius karena menyangkut mati-hidup bagi 120 juta rakyat Indonesia yang hidup dari pertanian dan perikanan.
Luas lahan pertanian saat ini tinggal 13 juta hektar. Jika dibagi dengan jumlah 25 juta rumah tangga petani, rata-rata luas lahan per petani hanya 0,3-0,4 hektar. Dari sekitar 12,5 juta rumah tangga petani (50 juta jiwa) di Pulau Jawa, 40 persennya tidak memiliki lahan.

Di luar Jawa, ada 18 persen atau 8 juta jiwa petani tidak memiliki lahan. Sedangkan yang memiliki lahan pertanian rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,36 hektar.

Di sisi lain, setiap tahun konversi lahan pertanian untuk pertambangan, kawasan pabrik, industri jasa, dan kawasan permukiman mencapai 106.000 hektar.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan 64,2 juta hektar tanah (33,7 persen) daratan Indonesia sudah dikuasai oleh perusahaan pertambangan gas, batubara, dan mineral berupa izin konsesi.

Imperialisasi Pangan
Tak mengherankan jika produksi komoditas pertanian terus merosot. Akibatnya, total impor pangan tahun 2013 mencapai 70 persen dengan nilai Rp 125 triliun. Kedelai 70 persen impor dari AS, Brasil, bahkan dari Thailand dan Malaysia.

Terigu 100 persen diimpor dari Australia. Gula juga diimpor hingga 30 persen, susu 90 persen dari Selandia Baru, garam 50 persen, daging sapi 30 persen. Beras diimpor dari Vietnam, India, Tiongkok, dan Thailand sampai 2 juta ton. Impor kopi 27.000 ton. Pasar-pasar kita diserbu sayur dan buah-buahan dari Tiongkok.

Imperialisme pangan ini membuat petani menjual lahan produktif mereka karena hasil pertanian sudah tidak mencukupi kebutuhan keluarga mereka hari ini yang terus bertambah. Tenaga kerja produktif di pedesaan juga menurun tajam. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan terjadi pengurangan hingga 5 juta keluarga petani dalam periode 10 tahun terakhir.

Padahal, UUD 1945 dan UUPA Tahun 1960 mengamanatkan, negara menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan.

Kita juga sudah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, diikuti PP No 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan PP No 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Reforma Agraria
Tuntutan reforma agraria sejak awal era Reformasi merupakan sebuah keniscayaan. Maka yang mendesak dilakukan pemerintahan JKW-JK adalah melaksanakan reforma agraria.

Selain amanat Pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1960, pemerintahan baru memiliki payung hukum kuat, yaitu Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kisah sukses reforma agraria terjadi di Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan negara Amerika Latin seperti Venezuela dan Brasil.

Reforma Agraria meliputi aspek legal reform dan access reform. Dalam tataran implementasi, ada sejumlah kebijakan pokok yang bisa dilakukan. Pertama, seperti di banyak negara, lahan subur diperuntukkan bagi pembangunan sektor pangan. Kebijakan ini harus diawasi secara ketat agar lahan subur untuk pertanian pangan tidak beralih fungsi.

Kedua, meredistribusi tanah untuk petani, terutama dengan memanfaatkan tanah telantar yang mencapai 8 juta hektar lebih, dengan koordinasi antara Kementerian Agraria/BPN dengan Kementerian Transmigrasi dan Kementerian Pemberdayaan Desa.

Ketiga, mewujudkan industrialisasi pertanian, peternakan, dan perikanan, mulai dari hulu hingga hilir sehingga memberi nilai tambah, terutama bagi kesejahteraan petani dan nelayan. Dengan demikian, produk pangan kita bisa bersaing di pasar global sekaligus menekan banjir pangan impor.

Keempat, mengusahakan secara sistematis dan integratif akses permodalan, pelatihan, pendampingan, dan penerapan teknologi tepat guna, terutama teknologi pengelolaan varietas baru dan pasca panen, serta akses pasar.

Kelima, penyediaan infrastruktur distribusi dan pembenahan manajemen logistik secara sungguh-sungguh. politik anggaran (APBN dan APBD) harus berpihak pada masalah sentral-substansial ini.
Keenam, kebijakan proteksi yang ketat terhadap produk impor pangan seperti bea masuk tinggi, hambatan nontarif, antisubsidi, dan antidumping.

Sudah banyak negara maju, bahkan negara-negara ASEAN, menerapkan kebijakan melindungi produk dalam negeri yang berarti melindungi petani, peternak, dan nelayan.

Ketujuh, politik hukum terutama penegakan hukum sebagai pilar berbagai kebijakan ketahanan pangan berkelanjutan. Pembuatan hukum (UU) harus yang menjabarkan nilai-nilai fundamental Pancasila dan prinsip-prinsip rule of law dalam Konstitusi UUD 1945

Selasa, 11 Februari 2014

Kampanye Pemilu di Televisi

Kampanye Pemilu di Televisi  

Sunaryoko Basuki Ks   ;   Sastrawan; Pensiunan Guru Besar
Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Negeri Singaraja
KOMPAS,  11 Februari 2014
                                                                                          
                              
                                                                                         
                                                      
PEMILU legislatif tinggal menunggu hitungan puluh hari, aroma kampanye sudah tercium di mana-mana. Padahal, resminya kampanye baru mulai Maret.
Mulai dari kampanye mengecapnomorsatukan dirinya pada layar TV yang dipunyainya sampai membagi-bagi daging hewan kurban atau sembako. Dalihnya, peduli pada penderitaan rakyat. Ada pula kuis berhadiah wah setiap hari dua kali, seperti jadwal minum obat saja. Dengan hadiah jutaan rupiah, saban hari ada 2 x 2 pemenang, sedangkan pajak undian ditanggung oleh pemberi hadiah.
Saya berharap, kalau mereka terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, kegiatan bagi-bagi sembako kepada rakyat miskin itu dapat dilaksanakan seterusnya. Setiap hari semua rakyat  senang. Makin bagus bila hal itu diimbangi dengan pemerintahan yang bersih, peduli, dan tegas seperti yang dijanjikan. Setiap hari dibagikan hadiah kuis yang bisa berupa mesin cuci, dispenser seharga Rp 2.900.000.
Pemberian hadiah ini, kalau  terus-menerus selama lima tahun jabatan presiden, pasti disambut dengan antusiasme tinggi oleh penduduk Indonesia. Apalagi kalau dia dapat meningkatkan penghasilan buruh serta petani, nelayan, dan pegawai negeri sipil, TNI, dan Polri. Pasti ia terpilih sebab pasangan calon ini sudah menjanjikan pemerintahan yang bersih dan tegas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bencana banjir ”menguntungkan” mereka yang punya kesempatan mengadakan bakti sosial yang disiarkan di TV.
Disindir Megawati
Anehnya, hanya satu pasangan ini yang mantap berpasangan. Hal ini disindir oleh Megawati Soekarnoputri saat peluncuran buku tulisan Sabam Sirait yang berjudul Politik Itu Suci. Mereka  begitu yakin bahwa partai pendukungnya pasti mampu melampaui ambang batas dalam pemilihan caleg nanti. Mungkin sudah dihitung-hitung dengan partai apa mereka akan berkolaborasi.
Sosok yang lain masih mengajukan dirinya sendirian sebagai calon presiden. Belum didampingi oleh calon wapres. Namun, sepak terjangnya serupa, mengemukakan kelebihan diri (dan keluarganya) sehingga dianggap layak dicalonkan sebagai presiden. Apalagi ”iklan” dirinya dilakukan juga pada stasiun TV milik sendiri.
Di depan siswa SMK, ia menceritakan keberhasilan ayahnya yang hanya lulusan sekolah rakyat (SR, sekarang: SD), tetapi mampu punya 100.000 karyawan. Bahkan, nama ayahnya sekarang diabadikan dengan memberi hadiah tahunan kepada sejumlah orang yang dianggap berprestasi: ilmuwan dan budayawan/ sastrawan. 
Makin hari, kampanye makin marak dengan menggunakan lagu terkenal.
Lain halnya dengan capres yang satu ini. Setahu saya ia tak punya stasiun TV. Cukup mengucapkan selamat pada hari-hari besar tertentu melalui TV. Namun, melalui akun Facebook-nya , saya dapat membaca mengenai sepak terjangnya dengan menemui kader-kader partainya di berbagai daerah. Juga bertemu dengan sejumlah kelompok seniman. Berkunjung ke berbagai kantor redaksi surat kabar. Kunjungannya ini pasti jadi pemberitaan yang menguntungkan.
Akhir-akhir ini dia tidak tinggal diam dengan mengungkap ketidakbenaran berita di sekitar dirinya pada 1998. Dia mengaku takut pada Pancasila dan UUD 1945. Tidak mengatakan takut kepada Tuhan sebab mungkin dengan mengatakan takut pada Pancasila sudah termasuk takut kepada Tuhan YME yang sudah tercantum sebagai sila pertama.
Terakhir dia disebut sebagai Macan Asia. Dari akun Facebook-nya kita juga dapat membaca bahwa bilamana kelak dipercaya memimpin negeri ini, ia akan memberikan bantuan Rp 1 miliar bagi setiap desa untuk digunakan membangun desa. 
Yang menarik, justru munculnya caleg-caleg miskin untuk anggota DPRD tingkat II. Ada sinden, ada pula tukang ojek yang benar-benar miskin, tetapi dapat dipastikan punya tujuan mulia, bukan untuk korupsi.
Di bawah 55 tahun
Berbagai survei menunjukkan bahwa calon pemilih menghendaki capres yang berusia muda, di bawah 55 tahun. Ini tentu sejalan dengan tugas presiden yang secara fisik sangat berat sehingga memerlukan stamina prima.
Tiap hari kita dapat menyaksikan kiprah capres dalam mencalonkan dirinya dengan berbagai cara, bahkan ada capres yang terang-terangan menolak dipasangkan dengan Jokowi. Padahal, Jokowi sendiri belum mencalonkan dirinya. Capres yang saya sebut terakhir ini entah karena apa malah menyalahkan Jokowi yang sibuk membangun waduk. Beliau menonjolkan konsep megapolitan yang pernah diajukan, tetapi belum pernah diwujudkan.
Tiba-tiba muncul sosok yang mundur dari jabatannya sebagai menteri. Tampaknya juga ia menyasar posisi calon RI-1 dengan  berbagai cara. Kementerian yang ditinggalkannya sedang dilanda kemelut beras impor yang membanjiri pasar beras di Jakarta. Menilik namanya dan juga posturnya yang tinggi besar, lelaki ini bisa dianggap sebagai lelaki yang melantunkan nada-nada keperwiraan. Ingat karya sastra klasik terkemuka Bhagawad Gita atau  Gitanyali. Apakah dia sang ”satria piningit” yang selalu ditunggu kemunculannya sebagai dulu SBY diuraikan sebagai lelaki (Bambang) yang susila serta perwira?
Rasa bosan 
Pernah memperhatikan iklan  produk yang diulang-ulang penayangannya? Timbul rasa bosan dan muak menyaksikan tayangan iklan yang diulang-ulang: berkali- kali. Memang, dengan pengulangan, kita menjadi lebih akrab  dengan gagasan yang ingin dikemukakan.
Tak kenal, maka tak sayang; maka kenalkanlah supaya disayang. Namun, pengulangan yang berlebihan dapat menimbulkan kebosanan, dan kebosanan melahirkan apatisme.
Hal ini perlu diingat oleh mereka yang melakukan kampanye yang berlebih-lebihan. Hati-hati, jangan sampai timbul rasa bosan di dalam diri calon pemilih. Bolehlah berkampanye gencar pada masa kampanye nanti. Sekarang, kan, belum saatnya? Jangan sampai dituduh mencuri awal kampanye.
Siapa yang akan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden belum dapat diprediksi sekarang. Jangan-jangan akan muncul calon yang tak terduga dari sebuah partai.
Hanya Tuhan yang tahu. Saya bukan tim peramal, tim sukses, tim survei, atau tim apa pun. Bagi  saya, presiden harus sehat jasmani dan rohani, sehat pula secara emosional. Menjadi presiden sungguh berat, maka sebaiknya yang mencapreskan diri masih berusia muda, yang sepuh minggir saja

Visi Indonesia Raya II

Visi Indonesia Raya II

 Yudi Latif   ;   Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS,  11 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
DITANYA ihwal impian mata hatinya tentang bangsa ini, Megawati Soekarnoputri dengan berlinang air mata berujar lirih, ”Indonesia Raya.” Apakah ungkapan itu terlontar secara kebetulan atau terpancar dari kedalaman penghayatan, kandungan maknanya amat dalam.
Indonesia Raya adalah suatu visi pembebasan bangsa dengan akar kesejarahan panjang. Mulanya adalah pembentukan Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda yang disponsori pemerintah kolonial. Sebagai tandingan, salah seorang pemimpin Indische Partij (IP), Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), membentuk Komite Bumiputera pada November 1913.
Komite Bumiputera melancarkan kritik terhadap rencana perayaan kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis yang secara ironis hendak menarik uang dari rakyat jajahan (bangsa Indonesia) untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Kritik Soewardi dikemukakan melalui tulisannya yang terkenal berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (”Seandainya Aku Seorang Belanda”) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (”Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”).
Dalam tulisan ”Seandainya Aku Seorang Belanda”, yang dimuat dalam surat kabar de Express milik Douwes Dekker, Soewardi mengemukakan satirnya: ”Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, melainkan juga tidak pantas menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya.
Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikit pun.”
Kritik tajam Soewardi ini membuatnya bersama dua pemimpin IP lainnya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, harus menerima hukuman pembuangan ke Belanda. Dalam perjalanan menuju negara itu, Soewardi singgah di India pada 14 September 1913. Dari sana, ia sempat mengirimkan kado ulang tahun kepada istrinya berupa surat yang juga ditujukan kepada teman-teman seperjuangan di Tanah Air. Bunyi surat itu, antara lain, ”Apabila pemerintah kolonial memperingati kemerdekaannya, kita akan sadar bahwa kita belum mempunyai identitas sebagai bangsa, kita belum mempunyai lagu kebangsaan dan bersiaplah karena waktu perayaan kemerdekaan kita akan datang juga”.
Pesan Soewardi dalam surat itulah yang konon mengilhami Wage Rudolf Soepratman untuk menciptakan lagu ”Indonesia Raya”. Di kemudian hari, Ki Hadjar ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Ketua Tim Penyempurnaan Lagu Indonesia Raya. Untuk pertama kalinya, lagu kebangsaan itu diperdengarkan di depan khalayak pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Impian Indonesia Raya yang berdegup dalam jantung lagu ini menjadi mahkota dari pengikatan bersama komitmen kebangsaan dari berbagai identitas kolektif (etnis, agama, kelas, dan jender) yang pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya.
Sejarah membuktikan suatu visi perjuangan yang keluar dari mata hati yang jujur memiliki kakinya tersendiri untuk bergerak memenuhi impian. Visi Indonesia Raya I, yang diimpikan sejak generasi Soewardi, telah berhasil mengobarkan ”nasionalisme defensif” dalam rangka ”revolusi politik” (nasional) untuk mengenyahkan kolonialisme dan melahirkan satu Negara Republik Indonesia.
Kendati demikian, impian Indonesia Raya masih jauh dari tuntas. Seperti kata Isiah Berlin, ”Manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan yang positif, untuk menghadirkan kebaikan.” Setelah revolusi politik mengusir penjajahan, tugas selanjutnya mengobarkan revolusi sosial untuk meraih cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir revolusi Indonesia.

Untuk itu, perlu diluncurkan visi Indonesia Raya II yang semangatnya tidak sekadar bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa dibangun. Kita perlu mengobarkan nasionalisme yang lebih ”positif-progresif” untuk mengolah potensi besar yang kita miliki, seperti pesan lagu ”Indonesia Raya”: ”bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Proyek historisnya tidak hanya mempertahankan, tetapi juga memperbaiki keadaan negeri.
Visi Indonesia Raya II ini mendesak dikobarkan menjelang 100 tahun Indonesia merdeka. Apa yang telah kita capai sejauh ini masih jauh dari harapan kemerdekaan, tetapi telah dibayar mahal dengan kehilangan dan kerusakan yang begitu banyak. Kita berkejaran dengan waktu untuk mendekati impian Indonesia Raya sebelum bangsa ini terancam karam. Tetes tangis Megawati mewakili perasaan ratusan juta rakyat jelata, sebagaimana terlukis dalam lagu ”Ibu Pertiwi”, yang diciptakan seorang tak terkenal, Kamsidi Samduddin, sekitar dekade 1950-an/1960-an: ”Kulihat ibu pertiwi/Sedang bersusah hati/Air matamu berlinang/Mas intanmu terkenang/Hutan gunung sawah lautan/Simpanan kekayaan/Kini ibu sedang susah/Merintih dan berdoa”.
Semoga, tetes tangis dari anak ”Putra Sang Fajar” dapat mengobarkan semangat patriotisme progresif kaum muda, dengan kesiapan meneruskan perjuangan, seperti diungkapkan pada bait kedua lagu tersebut: ”Kulihat ibu pertiwi/Kami datang berbakti/Lihatlah putra-putrimu/Menggembirakan ibu/Ibu kami tetap cinta/Putramu yang setia/Menjaga harta pusaka/Untuk nusa dan bangsa”.

Ketika Filsuf (Tak Perlu) Berhukum


Ketika Filsuf (Tak Perlu) Berhukum
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   




Berkali-kali saya mengurungkan niat, agar tidak menuliskan keresahan ini, tetapi semakin menahan sembari membiarkannya, derita personal penulis seolah-olah semakin hari, kian tambah runyam. Pada akhirnya, saya “terpaksa” memberanikan diri untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan.

Awalnya, ketidakberanian itu tidak muncul, karena saya hanya “anak bawang” yang baru lahir kemarin sore, dibandingkan permasalahan yang akan disororti dalam tulisan ini, para pelakunya sangat jauh di atas kapasitas saya. Mereka sudah banyak “makan garam” sepanjang karirnya. Adalah orang yang berpredikat, berpangkat Maha Guru, dan pantas menjadi teladan kita bersama.

Oleh sebab itu, izinkan saya bersimpuh dan memohon maaf kepada mereka semuanya. Para Guru Besar kita semua yang telah menjadi pelaku sejarah atas nama demokrasi, dalam pemilihan Rektor, kursi nomor satu di Unhas kemarin.

Hari ini, saya tidak mungkin dapat menjadi apa-apa, sebagaimana yang disebut oleh para tetua, menjadi “Tau/ orang” yang sesungguhnya, kalau bukan pula berkat mereka. Namun apa salahnya, kita saling mengingatkan kalau toh itu adalah jalan kebaikan, yang selalu kita impikan dan hendak dirajut bersama. Bahkan Baginda Nabiullah Muhammad SAW- pun pernah memesankan dalam sebuah Hadits: “sampaikanlah dari ku walaupun hanya satu ayat (Riwayat Ahmad Bukhari & Tarmidzi)”

Filsuf
Perhelatan akbar kemarin yang bernama pemilihan Rektor Unhas untuk periode 2014-2018, setelah melalui dua putaran. Tidak dapat dipungkiri, merupakan peran besar para senator Unhas, yang telah dipilih dari tiap fakultas. Hingga akhirnya menasbihkan siapa sesungguhnya pemenang suara terbanyak.

Di tengah jalan, sebelum sang pemenang suara terbanyak diorbitkan sebagai Rektor terpilih oleh kementerian pendidikan. Ada sejumlah Senator yang tidak menerima hasil akhir pemilihan. Sekitar 128 anggota senat yang mengaku pendukung Dr. dr Wardihan Sinrang MS (salah satu kandidat Rektor Unhas 2014-2018) hendak menggugat hasil pemilihan itu.

Dengan dalih, pemilihan Rektor tidak “demokratis” sebab suara menteri sebanyak 35 % dicurigai, suaranya tidak menyebar terhadap tiga kandidat Rektor yang maju pada putaran kedua. Jubir Dr. dr. Wardihan Sinrang MS, yaitu Prof Dr. Aswanto, S.H, M.H. cs, akhirnya siap memperadilankan hasil keputusan senat yang memenangkan Prof Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A.

Dari berbagai rilis media cetak maupun online telah tersiar kabar Permen Diknas No. 33/ 2012 hendak diuji kesahihannya. Tidak hanya itu, SK hasil pemilihan juga hendak digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Memang benar adanya, wajar-wajar saja bagi pihak yang merasa haknya tidak dipenuhi, amat pantas menuntut haknya pada lembaga yang telah disediakan yang bernama pengadilan. Apalagi jika Permen Diknas tersebut, sebagai legalitas menteri ikut menentukan kandidat terpilih, nyatanya “mengokupasi” independensi kampus. Pertanyaan singkatnya, tersimpul dalam dua entri poin; Kenapa perwakilan menteri itu tidak memperhatikan “suara terbanyak’ para senator? Dan kemana pula katanya otonomi kampus, jika suara menteri yang “dominan” menentukan?

Lagi-lagi saya memohon maaf, jika harus mengajak, mari sejenak kita semua merenung dalam keheningan, sebagaimana pekerjaan “gila” para Filsuf, untuk berkontemplasi, untuk menggunakan nalar dan logika sehat kita. Sesungguhnya mana yang lebih penting, apakah menghabiskan energi dalam perdebatan yang tak berkesudahan demi kepentingan “ego” kekuasaan semata ? Ataukah duduk bersama, tulus menerima prosedur pemilihan yang telah disepakati sebelumnya, demi nasib dan masa depan Unhas? karena di saat yang sama ada banyak hak Civitas akademika juga harus diperjuangkan. Saya tidak perlu menjawabnya, karena saya tidak punya kapasitas untuk memberinya jawaban. Saya bukan Filsuf yang patut disejajarkan seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Justru gelar Filsuf itu an sich dengan jabatan Doktor, Guru besar (Profesor) yang sudah melalui strata Tiga Universitas. Sementara saya, jangankan jenjang Strata tiga, Strata Dua-pun bukan. Saya hanya lulusan terbawah yang bergelar sarjana, bisa ditemui komunitasnya, bergelimpangan telah menjadi pengangguran.

Namun dari hasil didikan para Maha Guru. Tempat dimana pernah “bersenggama” dengan keilmuwan. Spesifik fakultas hukum, seorang yang telah melewati jenjang Strata Tiga. Kami telah diajarkan, bahwa sesungguhnya hasil penelitian untuk menyandang gelar Doktor Hukum, konten penelitian mereka sudah berada pada tataran Filsafat. Keadilanlah (yang abstrak pendefenisiannya) berada pada tingkatan tertinggi, harus ditempatkan di atas segalanya.

Konklusinya, ketika Doktor telah disandang dari nama para maha guru kita, mereka otomatis menjadi “Filsuf”. Kalau sudah menjadi Filsuf, artinya sudah bijak berpikir, bertutur, dan bertindak. Maka sungguh ironis, ketika seorang yang telah menyandang Doktor (apalagi maha guru) jebolan Fakultas Hukum, justru menjadi “pelopor” yang menciptakan kegaduhan dalam sebuah institusi terhormat itu.

Tak Berhukum
Memang “hukum” harus menjadi panglima, namun postulat demikian hanya berlaku untuk kalangan yang tidak mau menggunakan akal dan kekuatan jiwanya (moral). Sementara Filsuf, sudah sepantasnya, tidak menjadikan “hukum/ aturan” sebagai satu-satunya senjata pamungkas.

Tak urung, Filsuf kenamaan Plato dalam maha karyanya “The Republic” kalau Filsuf-lah pantas dinobatkan sebagai pemimpin, dan tidak perlu terikat pada hukum positif.

Pertanyaannya, kenapa harus Filsuf? Jawabannya sederhana; karena mereka dapat berpikir bijak dan berperilaku bajik tanpa mengejar lagi kekuasaan dan prestise. Pada intinya, mereka lebih memikirkan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan pribadi dan komunitasnya.

Sekumpulan aturan perundang-undangan yang telah diketahui, dan dipahami terkristalisasi dalam akal dan kekuatannya jiwanya. Filsuf bukan lagi bermain dalam arena, serba mengacau- balukan, konkretnya “aturan”. Sebab aturan, dapat saja “direkayasa” seolah-olah adil, namun sarat akan kepentingan tertentu.

Di atas segalnya, izinkan saya, dengan hati yang sangat berat, susah untuk mengatakan apalagi menganjurkan; berhentilah, menjadikan “hukum” sebagai panggung perdebatan kalau hanya untuk mencari justifikasi, guna melanggengkan kuasa. Mari berpikir jernih, mengedepankan kekuatan jiwa dan moral kita. Bekerja, bahu membahu demi kemaslahatan bersama. Unhas yang kita cintai bersama adalah kumpulan para Filsuf sedang memanggul cita-cita, dan impian untuk tunas muda harapan bangsa, sepanjang masa. Viva Unhas, hidup perdamaian. Dari timur, kokok ayam jantan kini telah bangkit menunaikan cita-cita. (*)



Jumat, 17 Januari 2014

Jangan Ada Tuhan Baru di Tahun Baru

Jangan Ada Tuhan Baru di Tahun Baru
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   




SUNGGUH keterbatasan manusia tiadalah kuasa ia membendung, membatasi jalan dan lajunya waktu itu. Tidak ada satupun manusia pula yang memiliki kemampuan kembali ke masa lalunya. Waktu akan terus bergerak cepat lalu hanya menyimpan catatan hidup untuk kita. 

Catatan atas kehidupan yang baik, kehidupan yang buruk. Segenap kehidupan itu tak lupa pula dicatat ganjarannya oleh para malaikat, yang membidangi masing-masing tugasnya untuk mengawal segala perilaku kita.

Ironisnya, yang dilupakan oleh manusia adalah lupa kalau dirinya telah menjadi aktor dan lakon atas sejarah dari arah jarum jam yang terus menciptakan hari dan pergantian tahun. Hadirnya tahun baru justru yang lebih banyak dimunculkan ke permukaan, apa program-program, agenda, mimpi dan rencana menyongsong tahun berikutnya. 

Apa karena “optimisme” yang berlebihan sehingga kita menjadi amnesia atas peristiwa yang kemarin telah terlewatkan? Lebih banyak waktu dihabiskan semalam suntuk dengan sebuah perayaan, pesta pora, makan di restoran mewah, menyalakan petasan hingga kembang api di jalan raya. Kita menjadi lupa untuk merenungi hari-hari yang telah terlewatkan, padahal dihari-hari sebelumnya banyak kesalahan yang bisa menjadi pelajaran untuk menata hidup pada lembaran baru tahun berikutnya. Pun dibalik hari-hari kemarin itu ada “kesalahan” yang pernah diperbuat, sengaja atau tidak, banyak meninggalkan dosa. Sedikitpun tidak pernah disisahkan waktu untuk merenungi setiap kesalahan demikian. Apa penyebabnya? Mungkin karena kita “gila pesta”. 

Hobi Pesta
Nyatanya memang kita pada dasarnya hobi pesta, hobi meriah dengan menciptakan keindahan artificial demi pada pemuasan hasrat banal saja. Merasa terasing dari kehidupan kalau tidak turut ambil bagian dalam setiap perayaan tahun baru. Pesta yang digelar serba meriah dipaksakan dengan dalih toh malam tahun baru hanya sekali saja dalam setahun, apa salahnya merayakannya walau itu akan merogok kocek tebal.

Bayangkan saja apa yang ada setelah seperdua malam, pergantian tahun baru kemarin. Di setiap area dimana dirayakan pesta tahun baru, hanyalah sampah berserakan tersisa dari orang-orang yang berkumpul ramai. 

Karena hobi pesta pulalah, di sana telah mencerabut esensi asali manusia dari jiwa eksistenasialnya untuk peduli sesama. Dikatakan ada sebuah kebersamaan yang ada dari pesta tersebut, kebersamaan untuk berkumpul, melakoni kegiatan yang sama, menyalakan petasan secara bersamaan, turut serta merasakan puncak malam akhir. Namun kesadaran sosial, kesalehan sosial dari umat manusia yang hobi pesta patut dipertanyakan. Apakah sudah mati?

Di lingkungan kita menghelat pesta itu, masih ada segelintir manusia yang berjuang diantara hidup mati mencari lembaran rupiah demi sesuap nasi. Tak sedikit anak yang putus sekolah, menjadi pengemis, pedagang asongan, loper koran demi membantu keuangan keluarganya. Baru diwaktu yang sama ada pula komunitas manusia yang “membakar” uang Rp. 20.000 hingga Rp. 100.000. atas harga “selangit” petasan dan kembang api.

Kenapa kita tidak pernah berpikir mengakhiri hobi pesta di malam tahun baru lalu menyisihkan uang tersebut demi saudara-saudara kita yang hidupnya serba dipertaruhkan setiap hari demi sesuap nasi? Kenapa pula lautan manusia yang tumpah ruah disemua jantung kota itu, tidak pernah sedikitpun hadir dibenak mereka, lembaran rupiah itu dikumpul bersama demi menyumbang anak yang kian hari di negeri ini putus sekolah? Jawabannya lagi-lagi karena hasrat yang memacu untuk gila pada sebuah perayaan.

Pemimpin di negeri ini, para bupati, wali kota, gubernur hingga presiden semuanya bersikap abai membenahi penduduknya dari kebiasaan yang hobi pesta. Para pemimpin justru turut andil “mengorek” uang Negara demi sebuah pesta perayaan tahun baru. Satupun, tidak ada yang bisa kita saksikan dari layar kaca, pemimpin yang mengambil inisiatif, malam tahun baru sedianya dijadikan ajang mengumpul sumbangan agar kelak bisa dijadikan santunan hidup dan pendidikan untuk kaum fakir, anak terlantar, dan anak yang sudah putus sekolah.

Tuhan Baru
Tahun boleh berganti, tapi tanpa dipaksa kepada kita semua, saya yakin kita sepakat, sekalipun tahun berganti tidak mungkin Tuhan akan berubah “wajah” dan kemahakuasaan-Nya. 

Cuma kita terlalu angkuh mengambil alih jatah kemahakuasaan Tuhan, menciptakan segala keindahan baru, padahal alam beserta segala isinya sudah lebih dari cukup, kalau sedianya sudah berjuta-juta keindahan hadir di sana. Dari alam yang indah tersebut telah tercipta kemahakuasaan Tuhan. Cukup menatapnya, lalu merenuginya dengan jiwa dan akal budi, bumi yang berputar terus, tiada henti telah menjadi tanda kalau waktu dan tahun niscaya pasti berganti.

Inilah kecurigaan filsuf Jerman Nitzsche ketika mendaulat Tuhan sudah mati. Ketika era yang memaksa manusia untuk menciptakan Tuhan baru lalu menjungkirbalikan Tuhan yang sesungguhnya. Tidak ada yang peduli sesama, karena Tuhan barunya adalah harta, uang, hingga pesta, dan pesta. 

Maka diawal pergantian tahun ini, sejuta ummat manusia yang kemarin tenggelam dan menghamba pada “Tuhan-Tuhan barunya” mari kembali merenungi “hakikat diri” kita, kembali hidup membaur bersama dengan orang miskin, anak yang sudah putus sekolah, berbagi harta kepada mereka sehingga mereka merasakan ada hikmah dan faedahnya pergantian tahun. Ada Tuhan dan para malaikat yang hadir, turun ke bumi di malam tahun baru. Dan menyaksikan kalau sesungguhnya masih ada “lautan” manusia yang peduli atas sesamanya. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb. (*)