Jumat, 27 Desember 2013

Tuhan dan Jihad Sofyan Hadi di Kreta


Tuhan dan Jihad Sofyan Hadi di Kreta
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Peneliti Republik Institute 
& Co-Owner negarahukum.com
Gorontalo Post, 20  Desember 2013




Ketika semua orang di dunia pada berseloroh, mengenang, berduka, dan bersuka cita atas kepergian tokoh perdamaian Nelson Mandela. Diakhir hayatnya 5 Desember 2013, tiba-tiba selang empat hari dijemputnya tokoh penghapus apartheid itu, di republik ini kemudian kita gagap pula menyaksikan peristiwa naas tabrakan kereta api commuter line jurusan Serpong Jakarta dengan mobil tangki bermuatan bahan bakar premium.

Persitiwa itupun kemudian menimbulkan korban berjatuhan, ada yang luka berat, luka ringan, rawat inap, rawat jalan. Hingga yang paling memilukan, menyayat hati, dan menderai air mata yakni adanya kematian terhadap sejumlah penumpang dan pegawai di dalam kereta api itu.

Satu dan lain hal dari kecelakaan yang menerjang maut dari kecelakaan 9 Desember kemarin. Ada sebuah hikmah patut menjadi catatan, renungan kita bersama, adalah kematian Sofyan Hadi yang berprofesi sebagai tekhnisi kereta bersama rekan sejawatnya Darman Prasetyo (masinis), dan Agus Subroto (asisten masinis).

Tanpa bermaksud mengingkari adapula kesan yang ditinggalkan oleh dua rekan sejawatnya itu, Sofyan Hadilah meninggalkan pesan dan ruang yang penuh makna, tidak kosong untuk kita tafsir bersama. Mari kita simak, beberapa pemberitaan mulai dari media elektronik hingga media cetak mengulas, menceritakan ulang kronologis detik-detik kematian Sofayan Hadi. Saat dilihatnya, di hadapan kereta api itu, sebuah mobil tangki sedang melintas dari kereta yang sedang ditumpanginya. Hanya dalam hitungan detik, waktu yang tersisa, Sofyan Hadi keluar dari kabin Masinis dan memerintahkan penumpang mundur, sambil berpegangan pada tiang atau kursi penumpang.

Di tengah geliat detik-detik kecelakaan demikian, siapa yang tidak takut? siapapun pasti akan menjemput mautnya kalau tidak mencari waktu untuk menyelamatkan diri. Panik, kata yang paling tepat, dipastikan sedang menghinggapi semua penumpang pada waktu itu. Namun Sofyan Hadi bukan pegawai yang pengecut, penghianat, yang sengaja mencari aman. Di lihatnya ada seorang anak menangis mencari-cari ibunya di gerbong depan. Dia langsung membawa anak itu, digendongnya, sampai menggeser anak tersebut ke gerbong belakang. Bahkan sempat bergeser sampai ke gerbong ke tiga demi menyelamatkan anak yang sedikitpun tak dikenalnya.

Ironisnya, Sofyan Hadi masih kembali ke kabin untuk membantu rekan-rekannya memperlambat laju kereta itu. Toh semua atas kuasa Tuhan, sekuat apapun manusia berusaha membentengi diri dari yang namanya maut. Tidak ada yang dapat melawat tabir rahasia Tuhan di alam semesta ini. Tabrakan tak dapat terhindarkan kereta “adu banteng” dengan truk tangki milik pertamina akhirnya ledakan dahsyat terdengar. Penumpang semua pada berlari menyelamatkan diri, berhamburan, berteriak, sampai menyebut nama Tuhan.

Akhirnya Sofyan Hadi bersama dua rekannya, terjebak di tengah kobaran api. Jasadnya ditemukan tim penyelamat, di kabin masinis telah hangus dilalap api. Sungguh memilukan dan mengiris-iris hati, seandainya kita semua, saudara pembaca tat kala hadir melihat kejadian itu.

Tuhan Bersama Sofyan Hadi
Serupa dengan kejadian lainnya, baik yang terjadi dengan diri kita pribadi maupun orang lain. Banyak kali dan berulang-ulang kita mendegarnya, bahwa setiap ada orang yang dijemput oleh yang Maha kuasa. Walau Tuhan lebih mencintai dan menyayanginya, rasa sayang manusia terhadap sesamanya tidak bisa dipungkari. Banyak kisah, pasti akan menjadi sejarah yang berbicara guna mengenang, bernostalgia terhadap orang yang telah meninggalkan kita selamanya. Demikian pula yang terjadi dari tragedy kematian Sofyan Hadi. Seluruh sanak keluarganya bercerita siapa sesungguhnya sosok Sofyan Hadi itu ?

Dideskripsikan dalam suasana berduka, isak tangis yang mendalam oleh ayah tercintanya, mrelalui siaran TV swasta, Ade rukhim mengakui anaknya itu sebagai pribadi yang ulet, rajin, patuh pada orang tua, bahkan dikenal supel, dan muda bergaul dengan semua kalangan. Diketahui pula dari pengakuan keluarga Sofayan Hadi, bahwa cita-cita untuk menjadi masinis kereta api merupakan pekerjaan yang sudah lama di dambakannya, walau belum mejadi masinis hingga maut dini menjemputnya, hanya seorang tekhnisi tapi hidupnya sudah diabadikan sepenuhnya di kereta.

Pertanyaan yang mengganjal, serta menyisakan asa buat kita semua. Apakah Sofyan Hadi lebih mencintai hidup orang lain dari pada dirinya pribadi ? Mengapa dengan begitu mulia menyelematkan hidup seorang anak kecil, padahal dia belum melakoni hidup bak seorang ayah, Sofyan Hadi keburuh meninggal sebelum meminang kekasih yang dicintainya sejak SMP itu.

Namun yang pasti, tanpa ditanya kepada mereka, siapapun itu, tanpa menanyakan identitasnya (ras, agama, suku, bahkan bangsa) semua dipastikan akan menjawab kematian Sofyan Hadi adalah kematian bersama dengan Tuhan. Semua orang pada mendoakannya selamat di akhirat.

Jihad di Kereta
Hemat saya mencermati peristiwa kecelakaan tersebut, atas keterbatasan saya pula sebagai penulis jalanan. Ada sebuah pembeda lakon jihad yang dilakukan oleh Sofyan Hadi dengan klaim jihad oleh para teroris melalui aksi bom bunuh diri.

Sofyan Hadi memang mengorbankan jiwanya tapi bukan untuk membunuh. Tetapi untuk menyelamatkan segelintir umat manusia yaitu penumpang. Inilah jihad di kreta yang penting ditangkap dan ditelaah bersama oleh para mujahidin, bahwa jihad tidak selamanya harus turun di medan perang mempertahankan agama, harta, dan hak milik yang diakuinya. Jihad, yang dimaknai berjuang di jalan Allah bisa dilakukan dimana saja tanpa mengenal ruang dan waktu. Aksi jihad bisa dilakukan di kampus, di jalan, di kantor kerja, di parlemen dan seterusnya, kalau semua itu dilakukan semata-semata dengan niat ikhlas untuk meraih keridhoan Allah SWT.

Tragedi kematian Sofyan Hadi menjadi pelajaran khusus ummat Islam, mengorbankan raga dan nyawa, Tuhan akan mengganjarnya dengan sebuah kemewahan, yang penting itu untuk keselamatan sesama, keselamatan umat manusia tanpa melihat warna kulit, agama dan latar belakang mereka.

Kisah penyelamatan anak mungil oleh Sofyan Hadi seolah memutar ulang sejarah, aksi heroik, jiwa kesatria Ali Bin Abi Thalib yang rela tersayat pedang demi melindungi Nabiullah Muhammad SAW di medan perang. Tak terkecuali ummat nasrani, Kristen, bahwa kerelaan Yesus memanggul dosa ummatnya, melalui cara penyaliban. Serupa pula dengan perilaku yang telah diperankan oleh Sofyan Hadi akhirnya hangus terbakar api demi menyerukan kepada para penumpang agar cepat gegas menyelamatkan diri.

Bulan Desember, banyak orang menyebutnya sebagai Desember kelabu, sebuah judul lagu yang pernah dipopulerkan oleh Maharani Kahar di era 1980-an ada benarnya untuk konteks hari ini, bahkan untuk waktu yang akan datang. Begitu banyak peristiwa yang menyebabkan bulan itu menjadi kelabu. Tetapi kelabu dan berdukanya umat manusia di bulan itu, masih ada ruang yang tersisa bagi kita untuk membaca kuasa dan maha penyayangnya Tuhan atas seluruh ummatnya. Tinggal kita memaksimalkan saja potensi yang telah dikaruniakan oleh Allah, semenjak kita dilahirkan di muka bumi ini. Wallahu wa’lam bissowab. (*)

“Lingkaran Setan” Pengumuman CPNS

Lingkaran Setan Pengumuman CPNS
Apriyanto Nusa Mahasiswa Pascasarjana Umi Makassar,


 
Setelah sekian kali tertunda, akhirnya hasil seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah diumumkan secara resmi oleh panitia seleksi nasional (Panselnas) yang ada di kementerian dan pendayagunaan aparatur Negara (KemenPan) (24/12/2013). Dengan telah diumumkannya hasil seleksi CPNS ini, maka Kecemasan dan rasa was-was yang selama ini menghantui pikiran dan bathin pelamar selama sebulan lebih telah terjawab sudah. Dan perasaan sedih serta gembira dapat dipastikan menjadi balutan tersendiri dalam diri setiap pelamar yang melihat pengumuman tersebut. Sedih karena diumumkan tidak lulus, serta gembira karena dinyatakan lulus.

Bagi yang dinyatakan lulus pun jangan terlalu jumawa dan berbesar hati, karena proses pengumuman hasil akhir bagi yang dinyatakan lulus sebagai PNS diserahkan ke Badan Kepegawaian yang ada di masing-masing daerah. Hasil yang diumumkan oleh panitia seleksi nasional sebelumnya hanya mengumumkan kelulusan yang telah memenuhi passing grade (standar kelulusan) yang telah ditetapkan oleh panitia nasional yang ada di kementerian dan pendayagunaan aparatur Negara (Kemenpan).

Polemik Kelulusan
Menurut hemat penulis, Format pengumuman kelulusan seperti ini kembali akan menjadi polemik dan menimbulkan potensi akan terjadinya manipulasi dalam pengumuman hasil akhir nanti. Dan bahkan kemungkinan besar akan terjadi “transaksi haram” antara pelamar dengan oknum pegawai/pejabat yang ada di daerah. Apalagi melihat hasil yang diumumkan oleh panitia seleksi nasional hanya mencantumkan nilai total atau skor tesnya saja yang memenuhi standar kelulusan (Passing Grade), tidak disebutkan, dengan skor yang diraih itu, peserta tersebut berada di rangking berapa.

Hal ini jelas memberikan celah bagi terjadinya manipulasi, apalagi penetapan kelulusan di tentukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Jika di pusat, PPK-nya adalah Menteri/kepala lembaga, sedangkan di daerah, PPK-nya adalah Gubernur, bupati/walikota. Sekalipun PPK yang ada di pusat sudah mengumumkan seseorang lulus berdasarkan passing grade, tetap belum dipastikan yang bersangkutan lulus menjadi CPNS. Hasil akhir yang mengumumkan seseorang lulus CPNS atau tidak, harus berdasarkan penetapan PPK yang ada di daerah masing-masing.

Jika ternyata, hasil kelulusan CPNS yang diumumkan oleh Panitia Seleksi Nasional (Panselnas) berdasarkan penetapan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang ada di pusat, tidak mencantumkan rangking, bagaimana bisa muncul transparansi dalam menentukan seseorang lulus menjadi CPNS? Misalnya, setiap formasi hanya ada 5 orang yang akan diterima, bisa saja pengumuman Pemda langsung dipaparkan 5 nama yang lolos. Dan publik tidak tahu, apa benar 5 nama yang lolos itu adalah 5 terbaik, berdasarkan rangking 1 hingga rangking 5. Lebih-lebih lagi Pemda dalam mengumumkan yang lolos hanya nama peserta yang dicantumkan, tanpa disertai dengan nilai kelulusan (passing grade). Tentu hal ini lebih menimbulkan pertanyaan lagi dari peserta lain yang ditetapkan lulus oleh PPK pusat, apakah misalnya, 5 nama yang dicantumkan Pemda tersebut nilainya memang lebih tinggi dari peserta lainnya atau tidak?

Tentunya yang hanya mengetahui ini adalah Pemda sendiri. Hal ini yang terjadi di Makassar, dimana pengumuman dari Pemda hanya langsung mencantumkan nama-nama yang lolos saja, tanpa disertai dengan nilai kelulusan (Passing Grade) yang telah ditetapkan oleh PPK pusat. Maka kalau model pengumuman seperti ini yang terjadi, dapat dipastikan kontrol dari publik akan sulit dilakukan. Serta hanya akan menumbuhkan ketidakpercayaan publik akan hasil yang telah di umumkan oleh Pemda itu sendiri.

Sebaiknya Apa ?
Untuk meminimalisir ketidak percayaan publik atas pengumuman akhir yang diserahkan ke masing-masing daerah tersebut, seharusnya setiap badan kepegawaian daerah (BKD) yang ada di masing-masing wilayah, dalam mengumumkan hasilnya harus merangking keseluruhan peserta yang memuhi standar penilaian (passing grade ) lengkap dengan bobot nilainya, kemudian memberikan catatan bahwa yang lulus/diterima hanya sesuai dengan jumlah dari setiap formasi yang telah ditentukan sebelumnya. Misalnya, yang dinyatakan memenuhi standar penilaian oleh PPK pusat ada 15 orang, maka 15 orang itu harus di umumkan sesuai perangkingan dari bobot nilai yang tertinggi sampai yang terendah. Jikalau dalam formasi itu yang diterima hanya 4 orang, maka Pemda dalam pengumuman tersebut, dapat memberikan catatan bahwa yang lulus/ diterima hanyalah rangking 1 sampai 4, dan rangking 5 sampai rangking 15 dinyatakan tidak lulus. Sehingga dengan model seperti ini, peserta lain bisa mengetahui bahwa tidak lulusnya peserta tersebut dikarenakan masih adanya peserta lain memiliki nilai yang tertinggi.

Proses penundaan pengumuman ini juga, akan sulit meredam ketidakpercayaan publik atas hasil yang akan diumumkan nanti. Mungkin akan banyak spekulasi miring bahwa pengumuman tersebut tidak lagi berjalan obyektif seperti yang di idam-idamkan selama ini. Spekulasi seperti ini tidak bisa dielakkan, karena memang Pemda sendiri yang telah membuka ruang itu sehingga memunculkan berbagai macam tanggapan dari proses pengumuman itu sendiri.

Lulus atau tidak, memang merupakan persoalan rezki bagi seseorang. Karena semua ini tak ubahnya seperti sebuah kompetisi, ada yang menang ada juga yang kalah. Begitu juga dalam perektutan CPNS, ada yang dinyatakan lulus ada pula yang tidak. tapi juga jangan menggunakan “power” kekuasaan, kedekatan keluarga atau materi untuk meluluskan seseorang yang semestinya tidak lulus, kemudian berdalih bahwa ini persoalan rizki atau tidak. Karena itu, sama halnya dengan mengambil hak orang lain, yang tentunya setiap nilai-nilai agama melarangnya.

Inilah yang menjadi dilema bagi setiap pelamar dan tantangan tersendiri juga bagi pegawai/pejabat yang memiliki otoritas kuat di daerah. Apakah dalam mengumumkan hasil akhir nanti akan berjalan dengan obyektif dan jujur, atau kemudian akan ada pengaruh kuat dari oknum yang memiliki jabatan atau kekuasaan tertinggi di masing-masing daerah. Semua ini hanya timbul dari tingkat kesadaran masing-masing pihak.

Nilai Kejujuran pasti akan dipertaruhkan dalam menentukan seseorang layak lolos sebagai CPNS atau tidak. Problem seperti ini akan terus ada jika masing-masing pihak tidak melakukan introspeksi diri. jika ini tidak dilakukan, maka dapat dipastikan perekrutan CPNS kali ini masih berada dalam “lingkaran setan” dan menjadi hiasan kenangan yang menyakitkan bagi pelamar yang dinyatakan tidak lulus.***






Minggu, 24 November 2013

Mesin Pembunuh Parpol Bernama Korupsi

 Mesin Pembunuh Parpol Bernama Korupsi
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Peneliti dan Analis Politik Republik Institute
& Co-Owner negarahukum.com
 


Jamak diketahui tanpa ditanyapun para elit partai saat ini, mereka semua pasti akan sepakat menjawab, sejatinya korupsi dapat menjadi “mesin pembunuh” secara perlahan terhadap partai politiknya. Analogi ini kemudian tersimpul, berpangkal, dan bermuara dalam beberapa rilis survey, menunjukan partai politik yang terseret dalam pusaran korupsi, akan merangsek hingga terjun bebas elektabilitasnya di mata publik.

Pertanyaan kemudian yang mengemuka adalah kalau seperti itu fakta yang terkuak, mengapa partai politik tetap “enjoy-enjoy” saja mengubur diri dalam kubangan korupsi? Tidak sadarkah mereka kalau korupsi berkelanjutan terus-menerus yang dilakukan itu, merupakan “bunuh diri” politik, sehingga tinggal menunggu waktu saja partai itu hilang dari memori kolektif publik. Yang pasti, tidak satupun partai politik menginginkan yang demikian terjadi, sebagai bentuk “penghukuman” persepsi publik. Oleh karena itu patut menjadi catatan, kenapa partai politik sampai terjerat dalam mesin pembunuh yang bernama korupsi?

Mesin Pembunuh

Sengaja saya menggunakan terminologi mesin pembunuh dalam tulisan ini, berangkat dari argumen, bahwa korupsi politik yang menimpa beberapa elit partai (seperti: Nazaruddin, Angelina Sondakh, Wa ode Nurhayati, Zulkarnain Djabar, Luthfi Hasan Ishaq dan masih banyak lagi sederet fungsionaris partai lainnya) tidak bisa “penghakiman” itu tertuju pada “aktornya” saja. Logikanya, kalau ada akibat juga pasti ada penyebab, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. 

Sebabnya, sudah pasti ditimbulkan oleh partai politik yang membutuhkan anggaran partai untuk dua dimensi anggaran yaitu campaign finance dan party finance (Muhtadi, 2013). Campaign finance adalah keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan selama masa kampanye. Sedangkan party finance merupakan keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan untuk kegiatan partai di luar masa kampanye dalam rangka menggerakan infrastruktur dan jaringan partai. Saat ini, anggaran yang dibutuhkan partai tidak sebanding dengan yang dibolehkan menurut Undang-Undang Partai Politik yang terdiri atas iuaran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan Negara yang bersumber dari APBN.

Mengacu pada studi Mietzner, ada suatu situasi ketika partai hanya berharap dari bantuan Negara tidak cukup menutup biaya kampanye partai. Hasil pemilu 1999 misalnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51/ 2001 setiap tahun peserta pemilu mendapat Rp. 1000 persuara hasil pemilu, oleh Mietzner melalui risetnya (2011) setidaknya subsidi itu dapat menutupi 50 % untuk pembiayan kampanye. 

Tetapi peraturan itu tidak bertahan lama pasca keluarnya PP No. 5/2009, ketika partai politik hanya dapat bantuan dari Negara Rp. 108 per suara dengan mengacu pada pemilu 2009. Praktis partai politik mau tidak mau akan “dipaksa” untuk mencari anggaran di luar bantuan Negara, dengan cara “ngobyek” kemana-mana, melalui kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki. Proyek-proyek melalui pos kementerian menjadi ajang “perburuan rente” sekaligus “lahan basa” hingga “ATM Parpol” oleh pejabat teras yang sementara menjabat di pos kementerian itu, untuk mencukupi anggaran yang dibutuhkan dalam pembiayan partainya.

Dititik itu, tidak berlebihan untuk mengatakan, kalau korupsi yang menyeret sejumlah partai gara-gara pejabat terasnya ibarat “roda mesin” yang berjalan dalam satu sistem. Antara partai politiknya sendiri dengan fungsionarisnya yang dituntut mencari “sumbangan” terhadap partai politik dimana dia berasal.

Oleh karena itu, diperlukan formula yang tepat untuk “mengamputasi”, memutus, atau menghentikan “mesin Pembunuh” itu. Tidak boleh dengan serta-merta kita membiarkan partai politik, satu persatu jatuh dan mati secara perlahan. 

Disamping partai politik merupakan keniscayaan dalam Negara demokrasi fungsi partai politik saat ini juga memiliki peranan penting dalam perekrutan pejabat publik. Mulai dari tingkat Presiden, hingga Kepala Daerah peran perekrutan partai politik sulit dilepaskan. Pemilihan Kapolri, Hakim Agung, KPK, duta besar dan lain-lain mesti melalui fit and proper test di DPR yang merupakan representasi partai politik.

Reformasi Parpol 
Sebuah alegori politik menyatakan “tidak ada reformasi partai politik tanpa reformasi sistem keuangan partai politik.” Untuk itu, perlu beberapa langkah strategis yang mesti ditempuh melalui beberapa pembenahan terhadap sistem keuangan tersebut sebagai bentuk reformasi pendanaan partai politik.

Pertama, tranparansi keuangan partai politik---berharap kepada Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu untuk saat ini mustahil, karena UU tersebut sudah diketok palunya, dimungkinkan hanya bisa diatur melalui UU sendiri, melalui UU khusus yang mengatur sistem pendanaan Parpol yang transparan dan akuntabel disertai dengan sanksi yang tegas terhadap siapapun yang melanggarnya. Melalui UU ini, diatur transparansi pengelolaan keuangan partai secara detail baik terhadap standar laporan keuangan partai, pemisahan aset partai dengan para fungsionarisnya, audit keuangan partai politik juga caleg yang diusungnya, hingga pada akses yang muda dan terbuka bagi publik untuk membaca laporan keuangan partai.

Kedua, limitasi “spending” kampanye---selama ini melalui UU Partai Politik sudah ada pembatasan terhadap sumbangan terhadap partai. Namun pengaturan tersebut menjadi “pincang” karena bagaimana mungkin pada sektor hulunya dibatasi, sementara pada sektor hilirnya (pembiayaan kampanye) dibiarkan jor-joran. Melalui pembatasan spending disertai pula sanksi yang tegas jika ada yang melanggarnya, bagi caleg dan kampaye partai jelas akan “memaksa” partai ”memutar haluan” agar berkompetisi pada gagasan, tidak lagi berdasarkan finansial semata.

Regulasi spending kampanye untuk saat ini memang sudah mulai diterapkan oleh KPU sebagai badan penyelenggara pemilu, setiap calon legislatif dianjurkan melaporkan harta kekayaannya termasuk dana pembiayaan kampanye, tetapi ke depan sebaiknya diformulasikan dalam bentuk UU tersendiri, karena ini menyangkut hajat hidup partai politik, juga kita menginginkan demokrasi yang berlandaskan pada sistem meritokrasi. (*)









Jumat, 08 November 2013

Surat dari Timur Untuk Hamdan Zoelva

Surat dari Timur untuk Hamdan Zoelva
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Alumni Fakultas Hukum UNHAS (2004) 
& Co-Owner negarahukum.com
Tribun Timur Makassar, 8 November 2013
 
 


SUNGGUH menyayat hati, ada yang menerima, ada yang tidak percaya, ada pula yang hakul yakin, kalau peristiwa naas yang menimpa seraya merobohkan benteng konstitusi kita adalah pucuk pimpinannya sendiri. Masih lekas, belum berlalu dingatan kita semua, Akil Mochtar dijemput “paksa” oleh KPK selang waktu menuju sepertiga malam, bak halilintar di siang bolong yang menghunjam, pun kejadian itu menimbulkan kepanikan massal. Bagai disatroni listrik, negeri ini dihadang kiamat, hingga fungsi-fungsi Negara ditakutkan pula akan berhenti bekerja, roda konstitusi pada waktunya, dinyatakan “tiba saatnya berhenti bekerja.”

Tapi tidak, jangan berlarut duka dalam isak tangis berkepanjangan, lalu kita hanya mau meratapi, topan korupsi yang melanda pemegang “wakil tuhan” tertinggi itu. Tak patah arang, mati satu tumbuh seribu, patah tumbuh hilang berganti, badai dahsyat yang menerpa, MK harus terus menabuh genderang keadilan, menunjukan kalau mereka masih ada.

Nila setitik merusak susu sebelanga, panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari, meski esok langit akan runtuh, konstitusionalisme terus didendangkan, semangat terus….semangat terus…!!! Yakin dan percaya mereka yang terpilih adalah negarawan yang tidak mungkin membiarkan repubik ini merana, apalagi mendayungnya dalam jurang nista apalagi kematian. Selangkah lebih maju, tanpa menunggu people power, mereka telah mencari “nahkoda” baru. Hamdan Zoelva, bergelar Doktor ilmu hukum bidang tata Negara, alumni FH Unhas, kini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, menggantikan Akil Mochtar.

Saban waktu bersamaan dengan putusan akhir majelis kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MKHK) menjatuhkan pelanggaran etika atas AM. Di awal bulan November ini tercatatlah nama dari timur: Hamdan Zoelva, terpilih sebagai nahkoda keempat yang akan mendayung “perahu keadilan” di negeri ini beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, dari timur mewakili harapan teman-teman agar dapat mengetuk hati, kutulis surat rindu untuk Hamdan Zoelva, surat ini adalah surat untuk keadilan, surat untuk bangkit dari keterpurukan, bangkit dari pembaringan tipu daya, berdoa sambil bekerja, semoga benih-benih keadilan terus menebar di bumi pertiwi.

Inilah isi surat itu; Hamdan Zoelva! engkau tidak banyak muluk-muluk, tidak banyak janji, namun harapan rakyat dipundakmu, pulihkan citra MK. Toh engkau menjawab harapan itu, seraya berharap asa, doa dari ratusan juta rakyat Indonesia, agar engkau dapat mengemban amanat konstitusi kita semua.

Marwah MK yang kini telah ditelan badai dan gelombang korupsi, dari Sabang sampai Merauke rakyat berharap gelombang rindu untukmu, engkau berbicara, bernalar, menorehkan tinta keadilan di lembaran putusan-putusanmu. Mereka pada berteriak, jangan ada dusta diantara kita, kami percaya, engkau juga percaya pada kami. Maka diamlah jika itu baik bagimu suatu waktu, atas putusan yang telah engkau telorkan, kalau memang itu lahir dari hati nurani, karena sudah pasti itulah harapan rakyat menanti keadilan bukan hanya untuk segelintir orang, tapi semua orang, tidak ada yang diabaikan hak-hak konstitusionalitasnya,

Sungguh pula ada perbedaan denganmu, Akil Mochtar, ataukah Mahfud MD. Ketika semua orang berseloroh, jangan ada hakim konstitusi dari anggota partai politik, peringatan itu lebih keras lagi datang dari sang kepala Negara. Semua rakyat Indonesia tahu pasti kalau dirimu adalah eks. Partai Bulan Bintang. Pernah lama “makan garam” di parlemen, tetapi engkau telah lama meninggalkan lama gelanggang DPR itu. Akil adalah perwakilan DPR, sementara dirimu adalah perwakilan Presiden.

Semua perbandingan itu tidak penting, kalau engkau dapat menunjukan kerja dan kinerjamu. Engkau tahu mana yang layak menjadi teladan, tidak mungkin engkau akan menjebak diri, jatuh di jurang yang sama sebagaimana rekan sekolegamu dulu, bahkan dia adalah pucuk pimpinanmu. Pemimpin tak selamanya diikuti, karena sesungguhnya pemimpin yang kuasa adalah hati nuranimu sendiri. Dengarkan mereka kalau benar, jika salah, tanyalah hati nuranimu, sungguh itu lebih benar dari apapun yang menggodamu di luar sana.

Nun jauh, kampus fakultas Hukum Unhas di sini, pada bangga menyebut dirimu. Konon semakin banyak alumni FH Unhas menduduki jabatan kenegaraan di ibu kota kenegaraan itu. Guru dan pembesarmu Prof Laica Marzuki hanya mampu menjabat wakil ketua Mahkamah Konstitusi, tetapi engkau lebih dari itu, engkau menjadi Ketua, bukan wakil yang bisa didelegasikan jabatan oleh atasan. Engkaulah penentu kebijakan atas maju mundurnya “rumah keadilan” konstitusi itu.

Ayam jantan dari timur, paentengi sirimu (dahulukan malumu), itulah slogan yang tak pernah lekang oleh waktu, menjadi pengobar semangat kampus merah, kampus pertama yang pernah mendidik dan membesarkanmu, hingga kini duduk “dikursi” konstitusi. Demi Tuhan, demi rakyat, demi hukum, demi UUD, norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum bekerjalah karena rindu dan gamangnya rakyat pada keadilan. Jadikan rindu untuk keadilan itu, ibarat Tuhan para musafir, para suhuf, para sufi, para alim yang tidak pernah puas akan rindu spiritual yang dijajaki setiap menit, detik, jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya.

Putusan yang menikam “rasa keadilan”, karena godaan harta dan wanita tolong diabaikan. Jangan ada konspirasi dibalik rumah keadilanmu, rumah untuk rakyat pula. Peristiwa kemarin: sengketa Pilkada Lebak Banten, sengketa Gunung Mas (Kalimantan selatan), sengketa Pilkada Bali, cukup sudah jual beli keadilan itu, berakhir tahun ini, jangan terulang lagi. Hamdan Zoelva! kuburkan gejala itu, tidak ada konstitusionalisme yang macam itu, bukan lagi lucu, tapi itu sudah konyol.

Jangan lupa! Konstitusi adalah perjuangan harkat dan martabat setiap warga Negara. Mayoritas maupun minoritas tidak boleh ada yang terluka karena putusan-putusanmu. Oleh karena itu bukan berlebihan jika banyak orang bersenandung di negeri ini. Untuk jabatan MK, “wakil Tuhan” yang agung itu, dibutuhkan manusia-manusia malaikat yang berani menanggalkan “baju” kemewahannya, tanpa lagi memikirkan untuk menumpuk harta selagi melanggengkan kuasa.

Adakah dikau yang tersebut itu, wahai Hamdan Zoelva, sang ketua MK yang kemarin ditasbihkan sebagai pemimpin tertinggi konstitusi. Betulkah engkau manusia-manusia malaikat? Oleh konstitusi bernada dan bertutur lain, betulkah engkau negarawan “dialtar” konstitusi itu yang bisa menuangkan “cawan” keadilannya, satu untuk semua, hingga keadilan membumi di hati sanubari rakyat Indonesia. Hanyalah waktu dan sejarah yang akan mengujimu. (*)






Haji, Korupsi dan Partai Politik

Haji, Korupsi, dan Partai Politik
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Analis Politik Republik Institute
Fajar, 8 November  2013




Akhir-akhir ini, beberapa tahun berjalan, indeks masyarakat Indonesia yang melaksanakan rukun islam kelima, yaitu menunaikan ibadah haji, terus mengalami peningkatan signifikan, dari tahun ke tahun. Itu artinya, kalau mau dibandingkan dengan perilaku sebagian kecil warga Negara Indonesia boleh dikata berseberangan dengan perilaku dan tindak tanduk mereka terhadap dua fakta yang terkuak, yang melanda kita selama ini.

Pertama, meski ada indikator yang menunjukan masyarakat ini, kian hari makin religius tetapi kenapa berbanding lurus dengan meningkatnya pula perilaku korupsi. Kedua, kalau masyarakat itu sudah religius, dengan serta merta sebagai ceruk pasar pemilih, maka seyogiayanya pasti memilih partai-partai yang religius pula, yaitu partai yang berideologi Islam.

Justru sebaliknya yang terjadi beberapa pemilu tahun silam, setali tiga uang, partai-partai Islam seperti PKS, PAN, PPP, PKB, hanya berada dalam partai menengah, tidak pernah menjadi partai yang dominan di parlemen. Siapakah sebenarnya yang “gagal” dibalik itu semua, tentunya kita tidak bisa menyalahkan “agama”, karena agama merupakan hal mutlak, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, agama pasti memiliki predikat yang baik dan berlaku secara universal.

Haji Vs Korupsi
Mari kita perhatikan rilis data dari Kementerian Agama (Kemenag) tahun ini, kuota jamaah haji mencapai 168.800. Jumlah itu terdiri atas haji regular 155,200 dan haji khusus 13. 600 orang. Bahkan angka tersebut berkurang, karena adanya kebijakan pemotongan 20 persen oleh pemerintah Arab Saudi untuk seluruh Negara.

Dari tahun ketahun juga nampak kalau animo masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji terus melonjak. Tahun 2012 saja ditaksir mencapai 2,2 juta jiwa (1,1%) dari 199,96 juta penduduk muslim (Kemenag, 2013). Angka ini diperkirakan, lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk muslim pada tahun 2020. Bahkan kalau mau ditelaah lebih jauh, banyak pula umat Muslim Indonesia melakukan haji lebih dari sekali. Angka fenomenal ditunjukan pula melalui daftar tunggu haji. Daftar tunggu haji plus telah mencapai 76 ribu orang dengan masa tunggu 6-7 tahun. Daftar tunggu haji reguler diatasnya lagi yaitu 1,7 juta orang dengan masa tunggu 13 tahun.

Gara-gara jumlah masyarakat Indonesia yang menunaikan ibadah haji itulah, sehingga Indonesia didaulat sebagai Penyelenggara Ibadah Haji Terbaik Dunia 2013, yang diberikan oleh World Hajj Convention (Kemenag, 2013).

Fakta tersebut, jelas bertolak belakang dengan kondisi moral bangsa ini. Ibadah haji rupanya gagal dimaknai sebagai kehidupan holistik menuju kesempurnaan. Mereka pejabat dalam struktur ketatanegaraan yang sudah menyandang predikat haji itu, tetap berlaku culas, mengambil apa yang bukan menjadi haknya.

Bukan hal yang mengagetkan jika banyak diantara pelaku korupsi, baik yang yang sudah berstatus tersangka, terdakwa, bahkan yang sudah masuk buih mereka banyak yang menyandang gelar haji, tetapi selalu terendus korupsi.

Maka pertanyaan yang patut diangkat, jika persentase masyarakat Indonesia, tidak ketinggalan pejabat Negara turut ambil bagian dalam proses ibadah haji membaur bersama dengan masyarakat dari pelosok desa-desa kecil itu juga melimpah. Lalu mengapa mereka itu tetap juga melakukan korupsi, padahal “rukun islam” meraka, telah sempurna secara formal?

Idealnya adalah, kalau mereka telah menyandang gelar haji, mestinya berbanding terbalik dengan indeks laku korupsi. Malah yang terjadi adalah, hukumnya yakni berbanding lurus. Persentase kenaikan jumlah jamaah haji tiap tahun searah dengan naiknya pula indeks korupsi di Indonesia. Berdasarkan rilis Transparency Internasional tahun 2012, Indonesia berada diperingkat ke-58 dari 176 negara.

Mungkin, kita tidak perlu terlalu heran, atas penyakit konis yang menimpa bangsa ini, jika dua varibel (baca: haji dan korupsi) di atas, dimainkan sebagai ukuran untuk mencegah perbuatan korupsi. Sedangkan pengadaan Al-qur’an saja, yang nyata-nyata untuk kemaslahatan Ummat juga telah menyeret beberapa politisi, mereka ikut menggelembungkan dana untuk pengadaan al-qur’an itu.

Termasuk jauh ke bawah, jika ditelisik lebih dalam, Kantor Urusan Agama (KUA) saja sebagai lembaga pengesahan akta nikah, telah menjadi rahasia umum kalau di sana banyak pula terjadi praktik suap menyuap.

Hingga pada titik akhirnya, korupsi juga menyerempet partai politik yang di dalamnya banyak berjuang atas nama agama. Pun kader-kadernya telah menyandang predikat gelar haji. Konsekuensinya, partai yang berbasiskan pada ‘agama” juga menasbihkan dirinya sebagai partai korupsi. Inilah yang menimbulkan “defesit” kepercayaan bagi pemilih religius, pemilih yang menyandang gelar haji, untuk tidak berafeksi dengan partai-partai Islam itu.

Partai Islam Vs Haji
Dua kesalahan terbesar yang diperbuat oleh kader-kader partai islam saat ini, diantaranya; menyandang gelar Haji sebagain kadernya, kemudian korupsi, semakin mengokohkan kalau partai politik yang diperjuangkan atas nama Islam, hanya menempel pada labelnya saja sebagai partai Islam. Tetapi secara nyata-nyata perbuatannya tidak ada yang menunjukan, kalau mereka konsisten berjuang di jalan Islam yang disyariatkan.

Justru, karena partai Islam yang digaungkan terus menerus itulah, menjadi titik kelemahan bagi partai islam. Untuk berbenah diri mengembalikan harapan publik yang religius agar jatuh hati kepadanya, rasanya semakin sulit. Rilis beberapa lembaga survei menunjukan kalau popularitas dan elektabilitas semua partai Islam hanya berada dalam angka 1 digit (3 s/d 5 persen saja), pun kalau ada pemenang dari partai-partai Islam tidak pernah menjadi “juara” yang bisa menjadi penguasa parlemen. berkali-kali pasca reformasi, senayan selalu didominasi oleh Partai sekuler, sementara partai Islam bertekuk lutut dihadapan partai sekuler, sehingga terpaksa harus memilih koalisi dengan partai sekuler itu. Pemilu tahun 1999 (pemenangnya adalah PDIP), pemilu tahun 2004 (pemenangnya adalah Golkar), pemilu tahun 2009 (pemenangnya adalah Partai Demokrat). Fakta ini harus menjadi perhatian bagi partai Islam untuk merebut kembali ceruk pemilih, sebagai kelompok massa religious selayaknya “menjatuhkan hati” terhadap partai Islam pula.

Kini partai-partai Islam harus membuka kembali “khittah” perjuangan partai, juga kader-kader mereka yang religius, harus sejalan dengan “kondisi religius” yang diharapkan oleh komunitas masyarakat yang religius itu pula. Saya kira kita patut mengacungi jempol kepada Amin Rais, tokoh reformator yang pernah memimpin Partai Amanat Nasional itu, kembali menghidupkan isu partai poros tengah, di tengah merosotnya kepercayaan publik atas partai-partai Islam. Memang bukan jalan muda untuk kembali mengulang kejayaan partai Islam, dizaman partai Masyumi (1955), namun kalau semua kelompok Islam berhimpun, peluang itu untuk 2014 menguasai parlemen, dipastikan masih terbuka lebar. Semoga! (*)

Senin, 28 Oktober 2013

Matematika Pahala dan Teologi Korupsi

Matematika Pahala dan Teologi Korupsi
Abdul Munir Mulkhan   Guru Besar Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Anggota Majelis Dikti PP Muhammadiyah
KOMPAS, 28 Oktober 2013





Kegawatan negeri ini akibat tindak korupsi bisa dilihat dari niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Mahkamah Konstitusi.

Meski mengundang pro-kontra, penerbitan perppu sebagai respons atas tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar perlu dicermati pengambil kebijakan negeri ini, terutama pemimpin gerakan keagamaan.

Dengan semakin banyaknya elite negeri berlatar belakang aktivis gerakan keagamaan yang didakwa, dituduh, dan dipidana korupsi, patut dicurigai bahwa tindak korupsi itu dilakukan didasari pemahaman pelaku korupsi tentang dosa dan pahala.

Pada awal gerakan pemberantasan korupsi, sebelum dibentuk lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harian ini pernah memuat artikel berjudul ”Teologi Korupsi”. Artikel tersebut menjelaskan hubungan antara keyakinan pelaku atas sejumlah tindakan yang digolongkan sebagai dosa dan tindakan saleh atau khazanah atau baik. Pelaku tindak korupsi boleh jadi berkeyakinan bahwa tindakannya tidak tergolong dosa, maksiat, atau fasad (merusak). Si pelaku mungkin memandang korupsi sebagai tindakan bukan dosa besar atau dosa yang tidak bisa diampuni Tuhan. Berdasar keyakinan ini, korupsi terus dilakukan dengan keyakinan bisa dan mudah diampuni Tuhan.

Ketika seorang tokoh nasional yang pernah memimpin gerakan Islam diadili atas dakwaan korupsi, sebuah koran nasional memuat artikel berjudul ”Matematika Pahala”. Artikel tersebut menjelaskan keyakinan atas ajaran agama yang menyatakan bahwa Tuhan menghukum tindakan maksiat setara tindakan maksiat yang dilakukan seseorang. Sebaliknya, tindakan saleh memperoleh pahala dari Tuhan berlipat 700 kali. Kelipatan 700 itu merupakan kelipatan standar yang dalam keadaan tertentu bisa berlipat hingga tak terhingga.

Keyakinan demikian boleh jadi menjadi rujukan pelaku korupsi yang sering kali diiringi sedekah, infak, atau sumbangan dan bantuan pada kegiatan keagamaan, seperti membangun tempat ibadah dan menyumbang panti asuhan yatim piatu.

Berdasar keyakinan tentang balasan tindakan dosa atau maksiat dan amal saleh, pelaku korupsi yang menilap uang negara Rp 1 miliar, balasan dosanya setara Rp 1 miliar pula. Jika pelaku korupsi memberikan sedekah atau bantuan untuk anak yatim, tempat ibadah atau pesantren sebesar Rp 100 juta, pahala yang akan diperoleh minimal setara Rp 100 juta kali 700 atau sama dengan Rp 70 miliar. Di akhirat nanti akan ditimbang beratnya pahala dan dosa sehingga si pelaku korupsi bisa memperoleh surplus pahala setara Rp 69 miliar.

Ancaman dari dalam
Dalam keadaan tertentu tindak korupsi bahkan dipandang sebagai bagian dari perjuangan menegakkan ajaran Tuhan. Argumen yang dijadikan pegangan ialah bahwa apabila uang negara itu tidak dikorup, uang tersebut bisa digunakan orang lain guna menghambat penerapan ajaran Tuhan. Tindakan menerima suap dengan maksud bagi perjuangan menegakkan ajaran Tuhan dipandang bukan tergolong dosa, bahkan dipandang tindakan wajib keagamaan.

Di sisi lain, sebagian orang menempatkan Indonesia bukan sebagai negara Islam sehingga menilap uang negara bukan tergolong dosa. Kaum radikal, seperti aktivis DI/TII, bahkan memandang menilap uang negara bagi perjuangan menegakkan ajaran agama adalah tindakan jihad.

Pandangan tentang tindakan korupsi dan suap tersebut patut dicermati elite negeri ini, terutama pemimpin gerakan keagamaan, karena bisa membuat negeri ini keropos dan hancur digerogoti ancaman dari dalam. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan penegakan hukum dan penerbitan perppu.

Tindakan cepat yang perlu dilakukan ialah tafsir ulang dan rekonstruksi teologi meletakkan tindak korupsi sebagai dosa yang tidak bisa diampuni Tuhan. Sebesar apa pun pahala yang diperoleh sebagai imbalan amal-saleh tidak mungkin menghapus dosa korupsi, karena tindak korupsi semakna menduakan Tuhan atau syirik.

Masih Perlukah Densus Antikorupsi ?

Masih Perlukah Densus Antikorupsi ?
Tribun Tumur Makassar, 27 Oktober 2013




Komisi III DPR telah sepakat menetapkan Sutarman menjadi Kapolri terpilih, guna mengganti Timur Pradopo. Selanjutnya disampaikan kepada Presiden untuk dilantik sesuai peraturan perundang-undangan. Dari sisi kepangkatan dan pengalaman, Ia dianggap layak menahkodai lembaga penegak hukum yang berkantor di jalan Trunojoyo ini.

Selama Sutarman mengikuti uji kelayakan dan kepatutan, wacana pembentukan Densus Antikorupsi mencuat di ruang Komisi III. Anggota fraksi PPP Ahmad Yani dan Bambang Soesatyo dari fraksi Golkar mengusulkan perlunya pembentukan Densus Antikorupsi untuk membantu kerja polisi memberantas korupsi. Bahkan menegaskan DPR akan siap membantu dalam hal penganggarannya. Gajinya juga nanti disamakan penyidik KPK (Kompas, 22/10).

Bak gayung bersambut pasca-penetapan Kapolri, Sutarman dengan senang hati menerima usulan tersebut. Isu pembentukan Densus Antikorupsi pun menjadi perdebatan hangat di ranah publik. Pro_kontra kemudian bermunculan, Di satu sisi ada yang berpendapat detasemen khusus tipikor urgen untuk dibentuk melihat kondisi bangsa terbelit gurita korupsi. Posisi kontra berargumen lembaga antirasuah sudah mumpuni memberantas para peranggarong uang negara. Terbukti dari hari ke hari kinerja KPK semakin baik dan tanpa pandang bulu, menciduk petinggi lembaga negara seperti kasus baru-baru ini menetapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sebagai tersangka penerima suap.

Bila melihat kedua argumen di atas, pada prinsipnya memiliki niat baik memberantasan korupsi. Apalagi kondisi negeri sudah darurat korupsi. Ibarat tubuh manusia terserang penyakit kanker kronis. Sehingga dibutuhkan langkah-langkah luar biasa (extra_ordinary) dalam penanganannya.

Terkait anjuran parlemen kepada Kapolri terpilih membentuk Densus Antikorupsi sah-sah saja. Di instansi Kepolisian Republik Indonesia, sebelumnya sudah ada Densus 88 Antiteror. Datasemen Khusus yang berwenang melakukan pemberantasan terorisme. Atau dengan kata lain pembentukan Densus baru tidaklah bertentangan dengan konstitusi.

Walaupun demikian, Penulis sendiri menolak pembentukan Densus Antikorupsi Mabes Polri. Pertama, berpotensi terjadi benturan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun Sutarman menegaskan bahwa Densus Antikorupsi akan bekerjasama dengan KPK menguatkan upaya pemberantasan korupsi. Akan tetapi bila lembaga ini memiliki kewenangan sama dengan KPK maka pengalaman masa lalu (baca: kasus Simulator SIM) bisa terulang kembali.

Sedangkan bila dikatakan saling menguatkan dalam upaya pemberantasan korupsi. Seyogianya Sutarman paham tugas pokok Kepolisian menegakkan hukum, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya (vide Pasal 14 UU Nomor 2 Tahun 2002).

Kemudian dari segi pencegahan dan pemberantasan korupsi, dalam Pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP. Dimana dalam Kitab Undnag-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 6 ayat 1 menegaskan penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Sedangkan dari sisi KPK sendiri, lembaga antirasuah dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan cara dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya tanpa Densus Antikorupsi kedua lembaga (Polri-KPK) wajib saling menguatkan.

Kedua, pemahaman keliru sebagian orang bila hanya berlandaskan pada pemikiran bahwa Densus 88 Antiteror saja bisa dibentuk, kenapa tidak Densus Antikorupsi. Perlu kita ketahui Densus 88 Antiteror dibentuk dengan Skep Kapolri Nomor 30/VI/2003, untuk melaksanakan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7x24 jam.

Berbeda dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun kepolisian dan kejaksaan juga berwenang. Tetapi undang-undang pemberantasan korupsi memerintahkan dibentuknya lembaga khusus yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Guna melaksanakan perintah tersebut, maka diterbitkanlah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu lembaga penegak hukum yang lahir karena kurang optimalnya lembaga penegak hukum konvensional.

Selain itu pemborosan anggaran juga terjadi bila Densus Antikorupsi terbentuk. Padahal sekali lagi tanpa Densus pun, pihak internal Kepolisian memiliki unit tindak pidana khusus yang menangani perkara korupsi. Sehingga cukup unit itu saja yang dioptimalkan kinerjanya.

Ketiga, komitmen memerangi korupsi. Inilah poin paling penting bila Sutarman memiliki niat memberantas korupsi. Sangat beralasan melihat sepak terjang kepolisian dalam mengungkap praktik korupsi selama ini. Tidak ada sesuatu yang membanggakan, malahan yang terjadi sejumlah petinggi Polri diduga memiliki rekening gendut seperti Djoko Susilo.

Kuatkan KPK

Oleh karena itu, agar tidak terjadi benturan kewenangan dan pemborosan anggaran negara, serta mengembalikan citra baik kepolisian di mata masyarakat. Maka adapun solusi konkret yang bisa diambil Kapolri ke depan. Pertama, membangun hubungan harmonis antar lembaga penegak hukum dan menguatkan KPK dengan cara pengirim anggota kepolisian guna mengisi kekurangan sumber daya manusia lembaga antirasuah. Bantuan sangat urgen dilakukan melihat banyaknya kasus korupsi yang ditangani tidak sebanding dengan jumlah penyidik KPK yakni hanya sekitar 60-70 orang.

Kedua, memberi jalan bagi pihak luar (KPK) mengungkap kasus korupsi di tubuh instansi kepolisian. Di saat yang sama berani melakukan upaya “bersih-bersih” internal sendiri. Ingat, untuk membersihkan lantai kotor maka tidak bisa menggunakan sapu yang kotor tapi menggunakan sapu yang bersih.

Sabtu, 26 Oktober 2013

Politik, Korupsi, dan Demokrasi Dinasti

Politik, Korupsi, dan Demokrasi Dinasti
Burhanuddin Muhtadi  ;  Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan Kandidat PhD Australian National University (ANU)
MEDIA INDONESIA, 14 Oktober 2013




OPERASI tangkap tangan terhadap Ketua nonaktif Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang kemudian menyeret dinasti politik Banten Ratu Atut Chosiyah dan Tubagus Chaeri Wardana mengingatkan saya pada sebuah film berjudul Max Havelaar. Film itu diangkat dari roman dengan judul yang sama yang ditulis oleh Multatuli, nama samaran dari Eduard Douwes Dekker, ketika penulis ditugaskan sebagai asisten residen di Lebak pada masa penjajahan Belanda. Max Havelaar adalah sosok protagonis yang melawan ketamakan dan penindasan Bupati Lebak Karta Natanagara yang didukung oleh Residen Banten Brest van Kempen.

Kasus Tubagus Wardana yang merupakan operator politik sekaligus adik Atut dan novel Max Havelaar dipertautkan oleh setting yang sama: Lebak. Tubagus dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyuap Akil agar memenangkan gugatan calon Bupati Lebak Amir Hamzah di MK. Amir adalah proksi dinasti Atut di Lebak agar desain kekuasaan Atut makin sempurna di Banten. Kesamaan lainnya, Havelaar dan rakyat Lebak juga menghadapi kesewenang-wenangan dan korupsi dinasti Bupati Lebak yang didukung para demang dan jawara dan rezim kolonialisme Belanda. Rakyat Lebak harus melayani kebutuhan bupati dan keluarga besarnya termasuk dipaksa mengorbankan apa pun yang mereka punya untuk menyambut kedatangan Bupati Cianjur yang masih kerabatnya.

Dinasti predatoris

Sudah 157 tahun peristiwa itu berlalu sejak Douwes Dekker datang ke Lebak pada akhir Januari 1856. Namun, Lebak masa kini dan Banten pada umumnya masih menyimpan warisan masa lalu yang sama: korupsi dan dinasti. Dulu Bupati Lebak disokong oleh Raden Wirakusuma, Demang Parungkujang sekaligus menantunya, yang berperan sebagai operator politik pengisap rakyat. Tak jauh beda dengan profil dinasti sekarang yang memiliki eksekutor politik yang diambil dari keluarganya. Perbedaannya, pada masa Havelaar, idealisme kalah oleh culas.

Adapun sekarang, kita masih belum tahu ujung dari nasib dinasti politik predatoris di Banten.
Perbedaan mendasar lainnya ialah sumber legitimasi kekuasaan yang berbeda. Dinasti politik sekarang bermain di atas arena demokrasi, sementara dahulu murni bergantung pada status ningrat dan kebangsawanan. Hal itu membuktikan bahwa dinasti mampu bertarung dalam cuaca politik apa pun. Dinasti bisa hidup di sistem otoriter maupun demokrasi. Memang banyak dinasti politik kita di daerah yang memanfaatkan pemilu kada agar berkuasa, seperti yang terjadi juga di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.

Namun, aktor dinasti politik akan tetap bermain dalam sistem politik apa pun karena lem perekat mereka ialah akses terhadap sumber daya negara.

Kalau sistem pemilu kada dihapus, bukan jaminan dinasti politik akan hilang.
Justru praktik dinasti makin menggurita karena untuk memenangi jabatan publik, para aktor dinasti cukup menguasai elite terba tas di DPRD. Lapang an permainan justru dikuasai segelintir elite dan rakyat tak punya kuasa un tuk menentukan pemimpinnya.

Jadi salah bila ada yang mengatakan Ratu Atut tidak bisa disebut dinasti politik semata-mata karena dia dan keluarga besarnya dipilih berdasarkan proses demokrasi. Pablo Querubin (2011: 2) dari Harvard Academy for International and Area Studies mendefinisikan dinasti politik sebagai `a particular form of elite persistence in which a single orfew family groups monopolize political power'(sebentuk penguasaan elite yang lama ketika sebuah atau beberapa keluarga memonopoli kekuasaan politik). Dia justru mengaitkan dinasti politik di Filipina dalam bingkai demokrasi, dan karena itu dia mengkritisi kebijakan pembatasan jabatan yang masih punya celah untuk dimanfaatkan dinasti politik agar tetap berkuasa.

Querubin juga mengaitkan keberlangsungan dinasti politik di Filipina karena efek petahana. Banyakincumbent yang melakukan segala cara agar dirinya atau keluarganya terpilih dalam proses demokrasi, entah melalui praktik money politics secara telan jang maupun dengan memanfaatkan dana negara (pork barrel, patronase, dan kebijakan programatik) untuk mengelabui rakyat. Dalam kasus Banten, Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan kenaikan fantastis dana hibah dan bansos menjelang pemilihan gubernur 2011. Pada 2009, total dana hibah dan bansos dianggarkan sebesar Rp74 miliar. Tapi pada 2010, anggaran hibah dan bansos melonjak hingga empat kali lipatnya, Rp290,7 miliar.

Peningkatan cukup tajam juga terlihat pada anggaran 2011, ketika hibah dan bansos dianggarkan nyaris menyentuh angka Rp400 miliar dengan tujuan jelas untuk memenangkan Atut kembali sebagai gubernur.
Selain itu, dalam literatur ilmu politik, dinasti selalu dikaitkan dengan hukum besi oligarki dan distribusi ekonomi-politik yang timpang (Dal Bo', Dal Bo' & Snyder, 2009).

Filipina merupakan contoh klasik dinasti politik yang berurat akar. Studi Dante Simbulan (2007) terhadap elite poli tik di Filipina pada 1946 hingga 1963 menemukan dari 169 keluarga berpe ngaruh, lahirlah 584 pejabat publik, termasuk 7 presiden, 2 wakil presiden, 42 senator, dan 147 anggota DPR. Ahli Filipina, Paul Hutch croft (1998), membuktikan bahwa dinasti politik telah meningkatkan praktik rent-seeking dan state capture dengan memberikan mengalokasikan sumber daya negara hanya bagi mereka yang dekat dengan kekuasaan dinasti.

Dalam kasus di Indonesia, temuan ICW menunjukkan sedikitnya 175 proyek pengadaan barang/jasa di Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Provinsi Banten dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan Atut, dengan total nilai kontrak Rp1,148 triliun.

Personalisasi politik
Secara politik, dinasti juga memakan ongkos yang mahal. Hedman dan Sidel, dalam bukuPhilippine Politics and Society in the Twentieth Century (2000), menuding praktik dinasti sebagai pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, tetapi didasarkan pada keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa. Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukkan oleh hubungan darah dan hubungan keluarga.

Dinastokrasi juga tidak menawarkan insentif jenjang karier politik yang jelas bagi kalangan luar yang berintegritas dan punya kapasitas agar sudi aktif di dalam partai.

Tentu ada sisi positif dinasti yang juga layak diapresiasi. Di India, Filipina, dan Amerika Serikat, dinasti politik bisa juga dianggap proses mentorship ketika tokoh politik akan menularkan pengalaman dan `proses pembelajaran' secara langsung kepada anggota keluarganya. Dinasti politik per definisi juga tak bisa disalahkan karena tak ada dalam pasal konstitusi kita yang dilanggar. Konstitusi tegas menyatakan bahwa setiap warga negara punya hak memilih dan dipilih. Karena itu, pembahasan di DPR terkait UU untuk membatasi dinasti politik harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menabrak rambu-rambu konstitusi.

Intinya, ada dua level reformasi yang harus dilakukan untuk mencegah dinasti politik predatoris. Pertama, reformasi dari sisi supply-side, partai politik sebagai produsen pejabat publik harus bertindak adil dalam mencalonkan pejabat publik. Partai tak boleh sekadar melirik faktor popularitas dan sumber daya finansial calon, tapi juga mengedepankan calon-calon yang punya integritas dan kapasitas. Justru mesin partai akan lebih maksimal dimanfaatkan daripada bergantung pada dinasti politik yang sudah mengandalkan faktor personal dan mesin uang.

Aturan pembatasan dana kampanye juga harus ditegakkan agar tercipta playing field yang adil antara calon yang kantongnya cekak dan calon dari dinasti yang biasanya berkelimpahan dana. Akses dinasti untuk melanggengkan kekuasaannya dengan caracara yang tak terpuji juga harus ditutup rapat-rapat.

Kedua, reformasi dari sisi demand-side. Pemilih harus mendapatkan pendidikan politik dari kalangan civil society dan media agar bisa memilih dengan didasarkan kualitas pilihan yang baik, bukan semata-mata popularitas dan uang. Prinsip reward and punishment harus dilakukan pemilih. Kalau memang ada petahana dari kalangan dinasti yang berhasil, sudah selayaknya dia dipilih kembali. Namun, jika terbukti gagal total membenahi masalah kemiskinan, angka pengangguran, pendidikan, dan lain-lain, siapa pun dia harus dihukum dengan cara tidak dipilih.(*)