Senin, 28 Oktober 2013

Matematika Pahala dan Teologi Korupsi

Matematika Pahala dan Teologi Korupsi
Abdul Munir Mulkhan   Guru Besar Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; Anggota Majelis Dikti PP Muhammadiyah
KOMPAS, 28 Oktober 2013





Kegawatan negeri ini akibat tindak korupsi bisa dilihat dari niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Mahkamah Konstitusi.

Meski mengundang pro-kontra, penerbitan perppu sebagai respons atas tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar perlu dicermati pengambil kebijakan negeri ini, terutama pemimpin gerakan keagamaan.

Dengan semakin banyaknya elite negeri berlatar belakang aktivis gerakan keagamaan yang didakwa, dituduh, dan dipidana korupsi, patut dicurigai bahwa tindak korupsi itu dilakukan didasari pemahaman pelaku korupsi tentang dosa dan pahala.

Pada awal gerakan pemberantasan korupsi, sebelum dibentuk lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harian ini pernah memuat artikel berjudul ”Teologi Korupsi”. Artikel tersebut menjelaskan hubungan antara keyakinan pelaku atas sejumlah tindakan yang digolongkan sebagai dosa dan tindakan saleh atau khazanah atau baik. Pelaku tindak korupsi boleh jadi berkeyakinan bahwa tindakannya tidak tergolong dosa, maksiat, atau fasad (merusak). Si pelaku mungkin memandang korupsi sebagai tindakan bukan dosa besar atau dosa yang tidak bisa diampuni Tuhan. Berdasar keyakinan ini, korupsi terus dilakukan dengan keyakinan bisa dan mudah diampuni Tuhan.

Ketika seorang tokoh nasional yang pernah memimpin gerakan Islam diadili atas dakwaan korupsi, sebuah koran nasional memuat artikel berjudul ”Matematika Pahala”. Artikel tersebut menjelaskan keyakinan atas ajaran agama yang menyatakan bahwa Tuhan menghukum tindakan maksiat setara tindakan maksiat yang dilakukan seseorang. Sebaliknya, tindakan saleh memperoleh pahala dari Tuhan berlipat 700 kali. Kelipatan 700 itu merupakan kelipatan standar yang dalam keadaan tertentu bisa berlipat hingga tak terhingga.

Keyakinan demikian boleh jadi menjadi rujukan pelaku korupsi yang sering kali diiringi sedekah, infak, atau sumbangan dan bantuan pada kegiatan keagamaan, seperti membangun tempat ibadah dan menyumbang panti asuhan yatim piatu.

Berdasar keyakinan tentang balasan tindakan dosa atau maksiat dan amal saleh, pelaku korupsi yang menilap uang negara Rp 1 miliar, balasan dosanya setara Rp 1 miliar pula. Jika pelaku korupsi memberikan sedekah atau bantuan untuk anak yatim, tempat ibadah atau pesantren sebesar Rp 100 juta, pahala yang akan diperoleh minimal setara Rp 100 juta kali 700 atau sama dengan Rp 70 miliar. Di akhirat nanti akan ditimbang beratnya pahala dan dosa sehingga si pelaku korupsi bisa memperoleh surplus pahala setara Rp 69 miliar.

Ancaman dari dalam
Dalam keadaan tertentu tindak korupsi bahkan dipandang sebagai bagian dari perjuangan menegakkan ajaran Tuhan. Argumen yang dijadikan pegangan ialah bahwa apabila uang negara itu tidak dikorup, uang tersebut bisa digunakan orang lain guna menghambat penerapan ajaran Tuhan. Tindakan menerima suap dengan maksud bagi perjuangan menegakkan ajaran Tuhan dipandang bukan tergolong dosa, bahkan dipandang tindakan wajib keagamaan.

Di sisi lain, sebagian orang menempatkan Indonesia bukan sebagai negara Islam sehingga menilap uang negara bukan tergolong dosa. Kaum radikal, seperti aktivis DI/TII, bahkan memandang menilap uang negara bagi perjuangan menegakkan ajaran agama adalah tindakan jihad.

Pandangan tentang tindakan korupsi dan suap tersebut patut dicermati elite negeri ini, terutama pemimpin gerakan keagamaan, karena bisa membuat negeri ini keropos dan hancur digerogoti ancaman dari dalam. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan penegakan hukum dan penerbitan perppu.

Tindakan cepat yang perlu dilakukan ialah tafsir ulang dan rekonstruksi teologi meletakkan tindak korupsi sebagai dosa yang tidak bisa diampuni Tuhan. Sebesar apa pun pahala yang diperoleh sebagai imbalan amal-saleh tidak mungkin menghapus dosa korupsi, karena tindak korupsi semakna menduakan Tuhan atau syirik.

Masih Perlukah Densus Antikorupsi ?

Masih Perlukah Densus Antikorupsi ?
Tribun Tumur Makassar, 27 Oktober 2013




Komisi III DPR telah sepakat menetapkan Sutarman menjadi Kapolri terpilih, guna mengganti Timur Pradopo. Selanjutnya disampaikan kepada Presiden untuk dilantik sesuai peraturan perundang-undangan. Dari sisi kepangkatan dan pengalaman, Ia dianggap layak menahkodai lembaga penegak hukum yang berkantor di jalan Trunojoyo ini.

Selama Sutarman mengikuti uji kelayakan dan kepatutan, wacana pembentukan Densus Antikorupsi mencuat di ruang Komisi III. Anggota fraksi PPP Ahmad Yani dan Bambang Soesatyo dari fraksi Golkar mengusulkan perlunya pembentukan Densus Antikorupsi untuk membantu kerja polisi memberantas korupsi. Bahkan menegaskan DPR akan siap membantu dalam hal penganggarannya. Gajinya juga nanti disamakan penyidik KPK (Kompas, 22/10).

Bak gayung bersambut pasca-penetapan Kapolri, Sutarman dengan senang hati menerima usulan tersebut. Isu pembentukan Densus Antikorupsi pun menjadi perdebatan hangat di ranah publik. Pro_kontra kemudian bermunculan, Di satu sisi ada yang berpendapat detasemen khusus tipikor urgen untuk dibentuk melihat kondisi bangsa terbelit gurita korupsi. Posisi kontra berargumen lembaga antirasuah sudah mumpuni memberantas para peranggarong uang negara. Terbukti dari hari ke hari kinerja KPK semakin baik dan tanpa pandang bulu, menciduk petinggi lembaga negara seperti kasus baru-baru ini menetapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sebagai tersangka penerima suap.

Bila melihat kedua argumen di atas, pada prinsipnya memiliki niat baik memberantasan korupsi. Apalagi kondisi negeri sudah darurat korupsi. Ibarat tubuh manusia terserang penyakit kanker kronis. Sehingga dibutuhkan langkah-langkah luar biasa (extra_ordinary) dalam penanganannya.

Terkait anjuran parlemen kepada Kapolri terpilih membentuk Densus Antikorupsi sah-sah saja. Di instansi Kepolisian Republik Indonesia, sebelumnya sudah ada Densus 88 Antiteror. Datasemen Khusus yang berwenang melakukan pemberantasan terorisme. Atau dengan kata lain pembentukan Densus baru tidaklah bertentangan dengan konstitusi.

Walaupun demikian, Penulis sendiri menolak pembentukan Densus Antikorupsi Mabes Polri. Pertama, berpotensi terjadi benturan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun Sutarman menegaskan bahwa Densus Antikorupsi akan bekerjasama dengan KPK menguatkan upaya pemberantasan korupsi. Akan tetapi bila lembaga ini memiliki kewenangan sama dengan KPK maka pengalaman masa lalu (baca: kasus Simulator SIM) bisa terulang kembali.

Sedangkan bila dikatakan saling menguatkan dalam upaya pemberantasan korupsi. Seyogianya Sutarman paham tugas pokok Kepolisian menegakkan hukum, melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya (vide Pasal 14 UU Nomor 2 Tahun 2002).

Kemudian dari segi pencegahan dan pemberantasan korupsi, dalam Pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP. Dimana dalam Kitab Undnag-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 6 ayat 1 menegaskan penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Sedangkan dari sisi KPK sendiri, lembaga antirasuah dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan cara dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya tanpa Densus Antikorupsi kedua lembaga (Polri-KPK) wajib saling menguatkan.

Kedua, pemahaman keliru sebagian orang bila hanya berlandaskan pada pemikiran bahwa Densus 88 Antiteror saja bisa dibentuk, kenapa tidak Densus Antikorupsi. Perlu kita ketahui Densus 88 Antiteror dibentuk dengan Skep Kapolri Nomor 30/VI/2003, untuk melaksanakan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7x24 jam.

Berbeda dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun kepolisian dan kejaksaan juga berwenang. Tetapi undang-undang pemberantasan korupsi memerintahkan dibentuknya lembaga khusus yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Guna melaksanakan perintah tersebut, maka diterbitkanlah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu lembaga penegak hukum yang lahir karena kurang optimalnya lembaga penegak hukum konvensional.

Selain itu pemborosan anggaran juga terjadi bila Densus Antikorupsi terbentuk. Padahal sekali lagi tanpa Densus pun, pihak internal Kepolisian memiliki unit tindak pidana khusus yang menangani perkara korupsi. Sehingga cukup unit itu saja yang dioptimalkan kinerjanya.

Ketiga, komitmen memerangi korupsi. Inilah poin paling penting bila Sutarman memiliki niat memberantas korupsi. Sangat beralasan melihat sepak terjang kepolisian dalam mengungkap praktik korupsi selama ini. Tidak ada sesuatu yang membanggakan, malahan yang terjadi sejumlah petinggi Polri diduga memiliki rekening gendut seperti Djoko Susilo.

Kuatkan KPK

Oleh karena itu, agar tidak terjadi benturan kewenangan dan pemborosan anggaran negara, serta mengembalikan citra baik kepolisian di mata masyarakat. Maka adapun solusi konkret yang bisa diambil Kapolri ke depan. Pertama, membangun hubungan harmonis antar lembaga penegak hukum dan menguatkan KPK dengan cara pengirim anggota kepolisian guna mengisi kekurangan sumber daya manusia lembaga antirasuah. Bantuan sangat urgen dilakukan melihat banyaknya kasus korupsi yang ditangani tidak sebanding dengan jumlah penyidik KPK yakni hanya sekitar 60-70 orang.

Kedua, memberi jalan bagi pihak luar (KPK) mengungkap kasus korupsi di tubuh instansi kepolisian. Di saat yang sama berani melakukan upaya “bersih-bersih” internal sendiri. Ingat, untuk membersihkan lantai kotor maka tidak bisa menggunakan sapu yang kotor tapi menggunakan sapu yang bersih.

Sabtu, 26 Oktober 2013

Politik, Korupsi, dan Demokrasi Dinasti

Politik, Korupsi, dan Demokrasi Dinasti
Burhanuddin Muhtadi  ;  Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan Kandidat PhD Australian National University (ANU)
MEDIA INDONESIA, 14 Oktober 2013




OPERASI tangkap tangan terhadap Ketua nonaktif Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang kemudian menyeret dinasti politik Banten Ratu Atut Chosiyah dan Tubagus Chaeri Wardana mengingatkan saya pada sebuah film berjudul Max Havelaar. Film itu diangkat dari roman dengan judul yang sama yang ditulis oleh Multatuli, nama samaran dari Eduard Douwes Dekker, ketika penulis ditugaskan sebagai asisten residen di Lebak pada masa penjajahan Belanda. Max Havelaar adalah sosok protagonis yang melawan ketamakan dan penindasan Bupati Lebak Karta Natanagara yang didukung oleh Residen Banten Brest van Kempen.

Kasus Tubagus Wardana yang merupakan operator politik sekaligus adik Atut dan novel Max Havelaar dipertautkan oleh setting yang sama: Lebak. Tubagus dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyuap Akil agar memenangkan gugatan calon Bupati Lebak Amir Hamzah di MK. Amir adalah proksi dinasti Atut di Lebak agar desain kekuasaan Atut makin sempurna di Banten. Kesamaan lainnya, Havelaar dan rakyat Lebak juga menghadapi kesewenang-wenangan dan korupsi dinasti Bupati Lebak yang didukung para demang dan jawara dan rezim kolonialisme Belanda. Rakyat Lebak harus melayani kebutuhan bupati dan keluarga besarnya termasuk dipaksa mengorbankan apa pun yang mereka punya untuk menyambut kedatangan Bupati Cianjur yang masih kerabatnya.

Dinasti predatoris

Sudah 157 tahun peristiwa itu berlalu sejak Douwes Dekker datang ke Lebak pada akhir Januari 1856. Namun, Lebak masa kini dan Banten pada umumnya masih menyimpan warisan masa lalu yang sama: korupsi dan dinasti. Dulu Bupati Lebak disokong oleh Raden Wirakusuma, Demang Parungkujang sekaligus menantunya, yang berperan sebagai operator politik pengisap rakyat. Tak jauh beda dengan profil dinasti sekarang yang memiliki eksekutor politik yang diambil dari keluarganya. Perbedaannya, pada masa Havelaar, idealisme kalah oleh culas.

Adapun sekarang, kita masih belum tahu ujung dari nasib dinasti politik predatoris di Banten.
Perbedaan mendasar lainnya ialah sumber legitimasi kekuasaan yang berbeda. Dinasti politik sekarang bermain di atas arena demokrasi, sementara dahulu murni bergantung pada status ningrat dan kebangsawanan. Hal itu membuktikan bahwa dinasti mampu bertarung dalam cuaca politik apa pun. Dinasti bisa hidup di sistem otoriter maupun demokrasi. Memang banyak dinasti politik kita di daerah yang memanfaatkan pemilu kada agar berkuasa, seperti yang terjadi juga di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.

Namun, aktor dinasti politik akan tetap bermain dalam sistem politik apa pun karena lem perekat mereka ialah akses terhadap sumber daya negara.

Kalau sistem pemilu kada dihapus, bukan jaminan dinasti politik akan hilang.
Justru praktik dinasti makin menggurita karena untuk memenangi jabatan publik, para aktor dinasti cukup menguasai elite terba tas di DPRD. Lapang an permainan justru dikuasai segelintir elite dan rakyat tak punya kuasa un tuk menentukan pemimpinnya.

Jadi salah bila ada yang mengatakan Ratu Atut tidak bisa disebut dinasti politik semata-mata karena dia dan keluarga besarnya dipilih berdasarkan proses demokrasi. Pablo Querubin (2011: 2) dari Harvard Academy for International and Area Studies mendefinisikan dinasti politik sebagai `a particular form of elite persistence in which a single orfew family groups monopolize political power'(sebentuk penguasaan elite yang lama ketika sebuah atau beberapa keluarga memonopoli kekuasaan politik). Dia justru mengaitkan dinasti politik di Filipina dalam bingkai demokrasi, dan karena itu dia mengkritisi kebijakan pembatasan jabatan yang masih punya celah untuk dimanfaatkan dinasti politik agar tetap berkuasa.

Querubin juga mengaitkan keberlangsungan dinasti politik di Filipina karena efek petahana. Banyakincumbent yang melakukan segala cara agar dirinya atau keluarganya terpilih dalam proses demokrasi, entah melalui praktik money politics secara telan jang maupun dengan memanfaatkan dana negara (pork barrel, patronase, dan kebijakan programatik) untuk mengelabui rakyat. Dalam kasus Banten, Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan kenaikan fantastis dana hibah dan bansos menjelang pemilihan gubernur 2011. Pada 2009, total dana hibah dan bansos dianggarkan sebesar Rp74 miliar. Tapi pada 2010, anggaran hibah dan bansos melonjak hingga empat kali lipatnya, Rp290,7 miliar.

Peningkatan cukup tajam juga terlihat pada anggaran 2011, ketika hibah dan bansos dianggarkan nyaris menyentuh angka Rp400 miliar dengan tujuan jelas untuk memenangkan Atut kembali sebagai gubernur.
Selain itu, dalam literatur ilmu politik, dinasti selalu dikaitkan dengan hukum besi oligarki dan distribusi ekonomi-politik yang timpang (Dal Bo', Dal Bo' & Snyder, 2009).

Filipina merupakan contoh klasik dinasti politik yang berurat akar. Studi Dante Simbulan (2007) terhadap elite poli tik di Filipina pada 1946 hingga 1963 menemukan dari 169 keluarga berpe ngaruh, lahirlah 584 pejabat publik, termasuk 7 presiden, 2 wakil presiden, 42 senator, dan 147 anggota DPR. Ahli Filipina, Paul Hutch croft (1998), membuktikan bahwa dinasti politik telah meningkatkan praktik rent-seeking dan state capture dengan memberikan mengalokasikan sumber daya negara hanya bagi mereka yang dekat dengan kekuasaan dinasti.

Dalam kasus di Indonesia, temuan ICW menunjukkan sedikitnya 175 proyek pengadaan barang/jasa di Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Provinsi Banten dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan Atut, dengan total nilai kontrak Rp1,148 triliun.

Personalisasi politik
Secara politik, dinasti juga memakan ongkos yang mahal. Hedman dan Sidel, dalam bukuPhilippine Politics and Society in the Twentieth Century (2000), menuding praktik dinasti sebagai pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, tetapi didasarkan pada keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa. Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukkan oleh hubungan darah dan hubungan keluarga.

Dinastokrasi juga tidak menawarkan insentif jenjang karier politik yang jelas bagi kalangan luar yang berintegritas dan punya kapasitas agar sudi aktif di dalam partai.

Tentu ada sisi positif dinasti yang juga layak diapresiasi. Di India, Filipina, dan Amerika Serikat, dinasti politik bisa juga dianggap proses mentorship ketika tokoh politik akan menularkan pengalaman dan `proses pembelajaran' secara langsung kepada anggota keluarganya. Dinasti politik per definisi juga tak bisa disalahkan karena tak ada dalam pasal konstitusi kita yang dilanggar. Konstitusi tegas menyatakan bahwa setiap warga negara punya hak memilih dan dipilih. Karena itu, pembahasan di DPR terkait UU untuk membatasi dinasti politik harus dilakukan secara hati-hati agar tidak menabrak rambu-rambu konstitusi.

Intinya, ada dua level reformasi yang harus dilakukan untuk mencegah dinasti politik predatoris. Pertama, reformasi dari sisi supply-side, partai politik sebagai produsen pejabat publik harus bertindak adil dalam mencalonkan pejabat publik. Partai tak boleh sekadar melirik faktor popularitas dan sumber daya finansial calon, tapi juga mengedepankan calon-calon yang punya integritas dan kapasitas. Justru mesin partai akan lebih maksimal dimanfaatkan daripada bergantung pada dinasti politik yang sudah mengandalkan faktor personal dan mesin uang.

Aturan pembatasan dana kampanye juga harus ditegakkan agar tercipta playing field yang adil antara calon yang kantongnya cekak dan calon dari dinasti yang biasanya berkelimpahan dana. Akses dinasti untuk melanggengkan kekuasaannya dengan caracara yang tak terpuji juga harus ditutup rapat-rapat.

Kedua, reformasi dari sisi demand-side. Pemilih harus mendapatkan pendidikan politik dari kalangan civil society dan media agar bisa memilih dengan didasarkan kualitas pilihan yang baik, bukan semata-mata popularitas dan uang. Prinsip reward and punishment harus dilakukan pemilih. Kalau memang ada petahana dari kalangan dinasti yang berhasil, sudah selayaknya dia dipilih kembali. Namun, jika terbukti gagal total membenahi masalah kemiskinan, angka pengangguran, pendidikan, dan lain-lain, siapa pun dia harus dihukum dengan cara tidak dipilih.(*)

Mencari "Negarawan" di Hari Kurban

Mencari "Negarawan" di Hari Kurban
Damang Averroes Al-Khawarizmi;   Mantan Aktivis HMI 
MPO Komisariat Hukum UNHAS
Tribun Timur Makassar, 27 Oktober 2013




Pasca penangkapan Akil Mochtar tiba-tiba semua orang berbicara tentang “negarawan”. Bahwa diciduknya Akil dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK mengonfirmasi kalau hakim konstitusi dari jatah DPR itu salah dalam proses pengorbitannya sebagai negarawan. Padahal boleh dikata hanya hakim konstitusi dalam proses perekrutannya, oleh undang-undang dipersyaratkan calon hakim tersebut harus negarawan.

Terlepas dari itu semua syarat “negarawan” abstrak dalam pendefenisiannya. Serupa namun tidak sama deskripsi dan sasarannya, mengukur orang beriman dan negarawan sama-sama sulit. Takaran beriman, taqwa adalah ukuran Tuhan, sedangkan takaran negarawan dibentuk melalui persepsi publik. 

Hal ini tergambar dalam diri Mahfud MD, melalui putusan-putusan progresif-nya sejak menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan pencitraannya di media, seperti; memberi respon atas penindakan dan pencegahan kasus-kasus korupsi yang marak di tanah air. Maka seiring berjalannya waktu anak binaan PKB itu ditasbihkan sebagai negarawan. Namun gara-gara penangkapan mantan sekoleganya (Akil) image kenegarawan Mahfud perlahan pudar. 

Maka dihari raya haji, idul adha besok bukan hal yang salah jika ditafsir ulang makna “napak tilas” Ibrahim, bersikap pasrah kepada Tuhannya. Nenek moyak dari para agama moneteis itu meski kental risalah yang disampaikannya lebih dominan berbicara pada aspek ketauhidan, namun sikap Ibrahim yang melepaskan segala kepentingan dan urusan duniawinya menuju kearifan puncak ---- meminjam bahasa Murtadha Muthari---- tidak jauh berbeda dengan karekteristik negarawan yang selama ini didambakan. Ibrahim as merelakan anaknya Ismail, yang sekian lama dinanti, bertahun-tahun, hingga istrinya Hajar sudah mulai uzur baru dikaruniai anak, itupun hanya anak semata wayang.

Bisa dibayangkan dalam kehidupan yang serba modern saat ini, tidak ada seorangpun yang berani menjadikan anaknya sebagai “sesembahan” untuk dikurbankan. Apalagi anak yang lama dinanti baru kunjung lahir. Itulah nilai ketulusan, keihkhlasan, suka rela yang diajarkan oleh Ibrahim mengandung historisitas yang tidak akan pernah habis untuk ditafsir terus-menerus, demi kepentingan serta kemajuan zaman yang terus berjalan.

Di awal merayakan hari kurban, dibalik peristiwa naas yang melanda bangsa ini, atas deretan sengkarut korupsi. Ketika Republik tercinta sudah berada dititik nadir, ketika tak ada lagi manusia yang memiliki nilai ketulusan dan keikhlasan memegang amanat yang dipercayakannya. Ketika Bangsa ini mengalamai krisis keimanan hingga melunturkan rasa tanggung jawab sebagai “wakil tuhan”. Yang dengan “tega” menggadaikan kepercayaannya dan berlaku culas menjual nama “keadilan” yang telah disakralkan. Jejak langkah Nabi Ibrahim perlu dihidupkan dalam sanubari kita semua, benih-benih negarawan tidak menutup kemungkinan hadir pasca kita menjajaki masa lebaran Idul adha, karena ritual kurban pasca merayakan lebaran dengan menyembeli seekor hewan merupakan simbol mengahdirkan ajaran Ibrahim dalam masa kekinian

Tafsir Menyembelih

Mencari negarawan ditahun politik 2013 dalam tafsir kurban, denga menyembelih seekor hewan, bukan hanya sampai disitu kita akan diganjar dengan pahala yang berlipat ganda. Karena bagi orang yang bergelimang harta kekayaan, memotong seekor hewan bukanlah perkara sulit, bahkan hewan impor berbiaya mahal dapat dibeli oleh mereka. Sementara orang yang tinggal di pedalaman, areal perkampungan justru menjadikan hewan piaraan sebagai tempat menabung harta, sembari menunggu hewan tersebut tumbuh dan harganya mahal di masa lebaran kurban.

Oleh karena itu patut dihadirkan makna otentik yang diwahyukan Tuhan kepada Ibrahim sebelum sesembilahan Ibrahim as yang bernama Ismail (anaknya sendiri) dibarter dengan seekor domba di zaman itu. 

Tafsir pertama, hari kurban merupakan momentum untuk kembali merenungi agar Ibrahim “menyembelih” kemewahan yang berlimpah atas dirinya. Patut menjadi catatan bahwa diusia senja Ibrahim as, telah dikaruniai kekayaan yang berkecukupan. Saat Ibrahim merasa hidupnya sudah cukup, ditanyalah oleh Allah SWT dalam riwayat mimpi, sesungguhnya apakah yang engkau sayangi dalam dirimu, dalam batin Ibrahim dijawab, “anakkulah yang aku amat kusayangi ya Rabbku”. Oleh Karena, simbol kemewahan yang dimiliki oleh Ibrahim adalah anaknya sendiri. Maka mau tidak mau ia harus merelakan anaknya untuk diserahkan kepada yang maha kuasa. Berbanding terbalik, bagi pejabat yang sudah hidup serba kemewahan saat ini, dengan rumah, hotel dan mobil mewah yang berlimpah justru sikap tulus, dan keikhlasan berbagi terhadap sesama, hari kurban tidak dimaknai untuk menyembelih harta kekayaannya. Jadi, kalau hendak melihat negarawan saat ini, maka tengoklah mereka yang tidak mengenal waktu mendermakan harta kekayaannya. Mereka tidak mau mengumpul harta untuk tampil memesona hanya pada tampilan fisik saja.

Tafsir kedua, sejatinya kurban diajarkan pula untuk “menyembelih” sifat ketamakan juga keserakahan. Di bumi pertiwi ini bukanlah peristiwa langkah, menatap para pejabat sudah hidup berkecukupan. Isteri dan anak-anakanya sudah dapat dipenuhi segala kebutuhannya, namun selalu “takut “ kekurangan, takut sewaktu-waktu kemiskinan akan mendera anak cucunya hingga tujuh turunan. 

Akil Vs Ibrahim

Andaikata Akil tahu akan hal itu, agar menyembelih segala ketamakannya, tidak mungkin tergoda untuk menerima suap dari seorang calon pejabat kepala daerah. 

Namun nasi sudah jadi bubur, pintu taubat bagi Akil harus dibayar mahal terpisah dengan sanak keluarganya, penjara sudah menanti untuk merenungi segala ketamakannya. Bahwa menjalankan amanat konstitusi untuk kemaslahatan bersama memang penting ketulusan dan keikhlasan untuk selalu ditumbuhkan.

Siapa yang rela menyembelih di hari kurban, janji Allah sudah lama menanti. Namanya akan selalu diabadikan sepanjang masa. Hingga kini nama Ibrahim as berulang kali namanya disebut dalam bacaan shalat tahiyatul awal dan akhir. Akil justru sebaliknya, malah abadi sepanjang masa bukan karena “kebaikannya”. Nama Akil “abadi” pertama kali tertoreh dalam sejarah dunia, mencatatkan diri, culas bermain mata, menjual keadilan untuk menumpuk harta.

Terakhir, kerelaan dan diskusi bersama antara Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail sebelum menjalankan “titah” Tuhan. Tidak hanya bisa hadir dengan sendirinya, bukan hadir karena perjuangan pribadi semata. Melainkan dibutuhkan dukungan dan semangat keluarga pula. Siti Hajar tidak pernah melarang Ibrahim menyembelih anakanya, demikian pula Ismail taat atas wayu Tuhan. Semuanya diserahkan kepada Tuhan yang maha Pengasih dan penyayang. Pada akhirnya Ismail diganjar sebagai Nabi yang bisa meneruskan jejak langkah ayahnya. 

Seandainya ada pejebat saat ini meneladani Ibrahim, tidaklah sulit kita mencari negarawan yang bisa menahkodai “kapal” Republik Indonesia. (*)








Kamis, 10 Oktober 2013

Mahkamah Korupsi Negeri Konstitusi

Mahkamah Korupsi Negeri Konstitusi
Gunarto  ;  Ketua Program S-3 Ilmu Hukum Fa­kultas Hukum Unissula Se­ma­rang
SUARA MERDEKA, 09 Oktober 2013






“Kita harus memandang hukum sebagai manifestasi dari nilai-nilai luhur yang bisa jadi penerang jalan hidup”

BEGITU heboh berita berita penangkapan Ketua Mahkamah Konsti­tusi Akil Mochtar sampai-sampai media-media inter­nasional terkemuka, seperti The New York Times, Washington Post, termasuk kantor berita Reuters dan Aljazeera pun memberitakan. NYT mi­sal­nya, memberi judul berita itu dengan ”Top Indonesian Judge Held in Corruption Case”. Korupsi bukan lagi harus diberantas secara hukum melainkan dunia hukum itu sendiri telah dipenuhi praktik-praktik korupsi.

Bila selama ini korupsi itu diidentikkan dengan “mencuri” uang negara, yang terjadi dalam dunia penegakan hukum justru korupsi berupa upaya kontrapenegakan hukum itu sendiri. Makin kuat praktik korupsi di sebuah negara, penegakan hukumnya pun makin lemah. Bahkan, korupsi dan penegakan hukum itu bermetamorfosis secara simbiotik. Karena itu, hukum tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya alat pemberantas korupsi.

Apalagi kalau hukum itu hanya dimaknai sebagai perangkat undang-undang, formal justice, atau legal justice. Pemaknaan semacam itu hanya menganggap hukum tak lebih dari sekadar aturan dan teks-teks yuridis untuk mengukur perilaku dengan standar kaidah boleh atau tidak boleh. Jika itu yang terjadi maka hukum akan terdeviasi ke titik terendah sebagaimana dikhawatirkan Rothwax, mantan hakim Amerika yang melontarkan keprihatinannya dengan mengatakan, ”hukum hanyalah tempat permainan untuk mencari menang atau kalah”.

Penyakit Hukum
Adalah pakar-pakar hukum semacam Alan Dershowitz dan Marc Galanter yang sudah sejak lama selalu menunjukkan sisi kelam dari modernisasi sistem penegakam hukum. Secara absolut para teoretisi dan praktisi hukum selalu menahbiskan nilai-nilai keadilan dan kebenaran sebagai ruang suci bagi persemaian dunia hukum. Tapi keduanya justru ‘’mencurigai’’ postur dan praktik sistem penegakan hukum modern dipenuhi dengan ambisi-ambisi ekonomis yang sejatinya justru antikeadilan

Bahkan Dershowitz dengan penuh keyakinan mengatakan, ìironisnya adalah bahwa makin maju dan makin canggih praktik hukum maka makin besar pula peluang untuk mendayagunakan hukum secara antikeadilanî.

Hipotesis (saya sebut demikian supaya batin dan nurani kita tidak runtuh) ini seakan-akan menemukan ruang yang sangat aktual berkait rangkaian fakta di negara kita. Berapa banyak polisi, jaksa, hakim, dan advokat menampilkan sisi-sisi antikeadilan dalam menerapkan penegakan hukum. Penangkapan aparatur penegak hukum karena praktik penistaan hukum seperti menimpa Akil hanyalah fenomena pucuk gunung es.

Karena itu, kenaifan terhukum harus mulai dihapus secara kritis dengan memandang hukum bukan lagi sekadar perangkat aturan atau undang-undang. Kita perlu memandang hukum sebagai manifestasi dari nilai-nilai luhur yang dapat menjadi penerang jalan hidup bersama menuju kedamaian, harmoni, dan keadilan secara individual dan sosial.

Celakanya, mengutip antro­polog besar Indonesia Koentja­raningrat, masyarakat kita memiliki empat karakter yang cenderung negatif. Pertama; sikap tak sadar akan arti dan kualitas. Sikap ini menjadikan perilaku sosial kita menjadi minimalis dan asal-asalan. Memandang hukum pun asal-asalan. Memangku jabata, serta mengangkat dan menempatkan orang pada jabatan/posisi tertentu juga asal-asalan, sehingga menjadikan semua kualitas perilaku sosial kita juga asal-asalan dan minim kualitas.

Kedua; sikap untuk mencapai tujuan secepatnya tanpa berproses secara kerja keras. Sikap ini menjadikan kita cenderung menghalalkan segala cara meski itu dila­kukan dengan cara paling naif seka­lipun. Misalnya, seorang yang seharusnya menegakkan hukum, karena kepentingan eko­nomi atau kepentingan lain, justru membonsai hukum itu sendiri asalkan tujuannya cepat tercapai.

Ketiga; sikap tak bertanggung jawab. Sikap inilah yang paling merusak sebab orang tidak pernah mengaku bersalah dan karena itu tidak mau bertanggung jawab atas kesalahannya. Bagaimana mung­kin orang yang sudah disumpah untuk memegang jabatan tertentu dan dia diberi fasilitas atas jabatannya itu, justru merusak sumpah dan jabatan itu sendiri.

Keempat; sikap apatis dan le­su. Sikap ini sebuah ketidakpedulian dan mudah menyerah terha­dap keadaan, bahkan cenderung me­ngeluh. Sikap ini tidak meng­gambarkan etos kuat, dedikasi tinggi, dan penuh komitmen terhadap tugas dan cita-cita bangsa. Jika elite bangsa, termasuk juga elite penegak hukum yang dimanjakan dengan fasilitas negara, ternyata lahir dari sikap-sikap ini, sesungguhnya negara ini tengah dipimpin orang-orang yang salah.

Kembali ke Moral
Sudah saatnya kita menyadari bahwa poros kehidupan ini adalah manusia. Manusia yang baik mam­pu menampilkan kehidupan yang baik. Begitu juga dengan dunia hukum. Penegak hukum yang baik, mampu menjalankan roda penegakan hukum yang baik pula. Sebaliknya, sebaik apa pun sistem, jika dikendalikan orang-orang yang tidak baik maka akan menghasilkan produk penegakan hukum yang tidak baik pula.

Setidak-tidaknya, ada tiga tujuan penting memberi fondasi moral. Pertama; kemunculan kesadaran internal secara autentik bahwa kejujuran, kebenaran, dan keadilan merupakan nilai-nilai yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi. Kesadaran ini bersifat self-control atau ibda’ binnafsi. Semua itu membangun kematangan jiwa dan kedewasaan paripurna yang tumbuh secara alami. Sikap ini akan imun terhadap godaan dan rayuan yang bersifat materalistik.

Kedua; terbangun kesadaran transsendental bahwa jabatan itu merupakan kesementaraan dan harus dipertanggungjawabkan baik secara awam maupun secara kha­liqi di hadapan Tuhan. Per­tang­gungjawaban secara tran­sen­detal tidak mungkin diselesaikan secara suap atau gratifi­kasi. De­ngan kesa­daran sema­cam ini, peluang untuk terjadi pe­nyim­pangan semakin kecil. Dengan de­mikian kita bisa ber­ekspektasi bahwa pe­negakan hukum akan lebih murni, jurur, adil, dan dijiwai semangat kebenaran. ●

SANTET DAN KPK

SANTET DAN KPK
Serangan Tidak Akan Mengurangi Semangat KPK
Khaerudin  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 09 Oktober 2013






PENGALAMAN di bawah ini diceritakan salah seorang komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi periode kedua, 2007-2011, hampir dua tahun lalu. Dari sebuah rekaman penyadapan telepon terungkap, seorang perempuan cantik politikus tengah menghubungi dukun yang berada tidak jauh dari Jakarta. Perintah perempuan politikus ini kepada sang dukun cukup jelas. Santet pimpinan KPK!


Syukur kepada Tuhan. Tidak ada satu pun hal aneh yang menimpa pimpinan KPK jilid kedua tersebut. Perempuan cantik politikus yang meminta bantuan dukun santet tersebut kini justru masih mendekam di penjara. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan dia terbukti korupsi.

Upaya KPK memberantas korupsi memang menjadikan mereka sasaran serangan para koruptor, dari yang kasatmata sampai tidak. Kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dan penyidiknya hanya menjadi salah satu bentuk serangan yang mudah diihat. Serangan kasatmata lain bisa berupa pelemahan KPK melalui upaya revisi sejumlah undang-undang. Lihatlah, misalnya, revisi UU yang mencoba menghapus kewenangan KPK menyadap atau diperhalus dengan meminta izin penyadapan lebih dahulu ke pengadilan.

Kriminalisasi dan pelemahan KPK lewat revisi UU mudah dilihat sebagai jenis serangan yang kasatmata. Serangan seperti ini mudah dilawan karena rakyat selalu berada di belakang KPK. Namun, bagaimana dengan serangan yang tidak jelas, misalnya dengan menggunakan kekuatan supranatural yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang. Bahkan cenderung magis sifatnya. Antara percaya dan tidak percaya, tetapi serangan-serangan seperti itu nyata adanya ke KPK.

Pernah di suatu sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, terdakwa sampai menghadirkan dukun dan paranormal di ruang sidang. Entah apa yang dilakukan sang dukun dan paranormal di ruangan sidang. Satu hal yang pasti, saat itu terdakwa adalah salah seorang bupati yang dikenal sangat berkuasa di daerahnya. Penegak hukum lain tidak pernah mampu mengungkap dugaan korupsi yang dilakukan kepala daerah ini. Namun, KPK berhasil menyeret bupati ini hingga dinyatakan bersalah karena korupsi oleh hakim. Belakangan setelah jadi pesakitan, dia malah dikabarkan terkena stroke.

Ada cerita menarik saat penyidik KPK hendak melakukan penyidikan di daerah asal si bupati. Ketika itu si bupati statusnya masih sebagai tersangka. Setelah sampai di hotel, salah seorang penyidik KPK tidak bisa melakukan apa pun. Tubuhnya seperti lumpuh. Penyidik KPK ini baru sembuh seperti sediakala setelah dibawa keluar dari daerah kekuasaan si bupati.

Ada juga kisah lain yang menimpa pegawai KPK ketika menyidik sebuah perkara korupsi. Suatu ketika, pernah hampir satu lantai pegawai KPK mengalami sakit yang sama berbarengan. Seorang pejabat KPK bahkan sempat seperti black out, tidak ingat apa yang harus dilakukan. Namun, serangan-serangan aneh seperti itu akhirnya hilang dengan sendirinya.

Cerita ini belum termasuk anggota satuan pengaman yang sering kali menjumpai ada orang-orang berperilaku aneh di sekitar Gedung KPK. Dari mulai menanam sesuatu di sekitar gedung sampai menaburkan barang-barang aneh.

Namun, seperti kata Ketua KPK Abraham Samad, selama KPK tetap berada pada jalan Tuhan, membersihkan negeri ini dari para pencuri uang rakyat, serangan seperti apa pun akan dapat dipatahkan. Serangan seperti itu tidak akan pernah mengurangi semangat KPK karena kebenaran selalu menang atas kebatilan. ●

Mahkamah Konstitusi dan Keadaan Darurat Korupsi di Indonesia

Mahkamah Konstitusi
dan Keadaan Darurat Korupsi di Indonesia
Taruna Ikrar  ;  Staf Akademik University of California, Amerika Serikat
dan Wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Internasional
DETIKNEWS, 09 Oktober 2013





Sudah berbulan-bulan, media massa memberitakan tentang kasus korupsi. Dari pemberitaan itu, terlihat jelas sangat banyak elit dan pemimpin kita yang terlibat korupsi. Mulai elit di pusat pemerintahan nasional hingga daerah. Demikian pula melibatkan elit politik DPR RI, birokrat, dan pengusaha.

Berita yang sangat mengejutkan, bahkan Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi) tertangkap tangan melakukan korupsi. Suatu lembaga yang sangat terhormat dengan kekuasaan yang sangat besar, justru terbukti melakukan tindakan korupsi.

Sebagaimana diketahui, fungsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah: berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), memutus sengketa kewewenangan lembaga negara yang kewewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum. Berkewajiban memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam: menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, berkewenangan-nya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu, dan berbagai kekuasaan yang sangat urgen bagi kepentingan Nasional.

Dengan wewenangnya yang luar biasa, sudah seharusnya, Mahkamah Konstitusi bisa menjaga diri dari berbabagai kelemahan, terlebih lagi terhadap korupsi. Tetapi kenyataannya, Mahkamah Konstitusi terlarut kedalam pusaran masalah korupsi. Sehingga korupsi telah merajalela di semua sektor kehidupan, baik di yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Sehingga tidak salah kalau dikatakan, bahwa Indonesia berada dalam kondisi, “Darurat Korupsi”.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hampir semua lini kehidupan di Indonesia dewasa ini, harus diselesaikan dengan 'sogokan dan berbagai uang pelicin' lainnya. Mulai dari mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk) di Kelurahan, mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi), KK (Kartu Keluarga), masuk sekolah, sampai urusan yang besar, seperti memenangkan tender suatu proyek, ataupun untuk promosi dan lain sebagainya. Semuanya membutuhkan sogokan dan uang pelicin.

Sehingga tidak salah kalau para investor yang mau menanamkan modalnya di Tanah Air harus melalui semua proses tadi. Akibatnya biaya investasi yang tertulis tidak sebanding dengan real cost (biaya nyata) yang harus dibayar, karena panjangnnya birokrasi dan semua tahap harus mengeluarkan uang. Akhirnya, membuat malas para investor untuk menanamkan modalnya di Tanah Air, dan berpindah ke negara tetangga seperti Malaysia misalnya kasus pendirian RIM, pabrik BlackBerry.

Untuk membasmi korupsi dan pungutan liar tersebut, sangat tidak mudah bahkan mustahil, karena kondisi ini telah berurat, berakar dan telah menjadi budaya. Padahal untuk kemajuan suatu bangsa di zaman modern, budaya korupsi dan pungutan liar menjadi penghabat yang sangat besar untuk kemajuan. Hampir semua negara maju di dunia dewasa ini, sangat rendah tingkat korupsi dan pungutan liarnya. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama yaitu: 1) Sistem yang transparan, 2) Pemimpin yang kuat dan disiplin serta antikorupsi.

Sebetulnya Indonesia, mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, aman, dan sentosa. Olehnya bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat dan anti korupsi, artinya: pemimpin yang benar-benar berjuang untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Yang bertekad membumihanguskan korupsi dan pungli (pungutan liar) dengan cara memperbaiki sistem pemerintahan menjadi transparan, dan terkontrol, sehingga orang akan sulit melakukan korupsi karena dengan sistem yang transparan dan terkontrol maka orang yang korupsi akan langsung ketahuan.

Transparansi sistem keuangan negara, bisa dilihat pada negara maju, seperti contohnya Amerika Serikat, pengelolaan keungan dan sistem perpajakan, sangat transparan. Sehingga dalam mengawasi bukan saja tugas pemerintah, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Semua pejabat publik, mulai tingkat terendah hingga presiden diawasi secara langsung oleh masyakat. 

Hal ini karena sistem transparansi keuangan dan perpajakan begitu modern. Semua transaksi keuangan, pembayaran pajak, sampai pemenangan tender serta distribusi pembangunan dan penggajian dilakukan secara online dan transparan. Sehingga terjadi kebocoran sekecil apapun, cepat terdeteksi, sehingga bisa dilakukan pencegahan. 

Demikian pula hukum ditegakkan secara maksimal tanpa pandang bulu dan strata sosial. Dengan kondisi tersebut, keungan Negara bisa diberdayakan sebesar-besarkan untuk kepentingan pembangunan nasional, sehingga Amerika Serikat, menjadi negara maju dan superpower seperti sekarang ini. 

Belajar dari kondisi tersebut, sudah saatnya Indonesia menerapkan system keuangan yang transparan. Untuk mencegah terjadinya kebocoran keuangan negara akibat korupsi.

Efek dari tidak adanya korupsi, akan menyebabkan keseimbangan dan pemerataan pembangunan. Sehingga akan terbuka lapangan pekerjaan yang mencukupi, sehingga setiap orang di Tanah Air akan mempunyai pekerjaan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteran seluruh masyarakat Indonesia. ●

Korupsi dan Nasib Apes

Korupsi dan Nasib Apes
Indra Tranggono  ;  Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS, 10 Oktober 2013




BEBERAPA hari yang lalu, ramai diberitakan Ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ketua MK Akil Mochtar diduga menerima suap Rp 3 miliar untuk penyelesaian kasus pilkada. Jika hal itu benar dan terbukti di pengadilan, angka Rp 3 miliar untuk sekaliber Ketua MK berarti tidak mahal. Murah. Ya, Rp 3 miliar jumlah yang sangat kecil bagi pembeli keadilan yang akan meraup keuntungan puluhan, bahkan ratusan miliar rupiah jika mampu menjadi kepala daerah.

Kasus ini hanyalah contoh sangat remeh dan tidak bermartabatnya ”pendekar hukum” di negeri ini. Siapa berani menjamin Akil satu-satunya penegak hukum paling kotor?

Di republik ini, persoalan korupsi lebih dipahami secara teknis, bukan etis. Karena itu, jika ada penyelenggara negara yang korupsi dan tertangkap, ia bisa disebut sedang ”apes”.

Betapa parah peradaban bangsa ini jika pemberantasan korupsi lebih berurusan dengan soal teknis dan bukan etis. Problem teknis dikaitkan dengan malang- mujurnya ”nasib” koruptor.

Korupsi pun bisa tereduksi jadi problem kejahatan mistis. Apes dan mujur menjadi idiom semiotiknya. Hal ini persis dengan pemahaman klasik jagat permalingan dalam masyarakat tradisional yang relatif tidak mengenal sistem pemberantasan pencurian. Jika ada maling ditangkap, ucapan yang muncul biasanya berupa permakluman, ”Ya, maling itu sedang apes saja. Bayangkan jika tidak apes, semua harta orang bisa digaruk!”

Analoginya, jika kenyataan buram itu yang terjadi, kita bisa menyimpulkan betapa sangat tidak amannya negeri ini dari ancaman koruptor. Juga, betapa minimnya kekuatan lembaga penegak hukum kita. KPK cenderung bermain sendirian. Ketika jumlah koruptor mengalami ledakan yang spektakuler di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, KPK pun akan terkucil, menggigil kesepian.

Ditangkapnya Akil Mochtar menunjukkan virus korupsi telah bersarang di kepala, jantung, hati, paru-paru, dan sel-sel darah bangsa ini. Virus atau bakteri yang menyebar dan meruyak di organ-organ penting negara ini sangat berpotensi mempercepat pembusukan tubuh bangsa.

Hancurnya kebanggaan
Mantan Ketua MK Mahfud MD bilang, gaji Akil Mohtar sekitar Rp 100 juta. Take home pay itu dihitung dari gaji pokok hingga berbagai uang tunjangannya. Menjadi sangat mengherankan jika dengan gaji sebesar itu, Akil Mochtar masih ngompreng.

Fenomena Akil Mochtar menunjukkan: korupsi bukan hanya soal uang, melainkan juga mental ”selalu kurang dan tidak pernah puas”. Pengidap kemiskinan mental-spiritual seperti itu bukan hanya tidak memiliki rasa syukur, melainkan juga mengalami sindroma ”bisa menelan dunia”. Orang macam ini merasa perutnya seluas alam raya. Ia tidak punya konsep berpikir bahwa dalam dunia ini juga perlu ruang hidup bagi orang lain atau liyan (the others). Maka ketika mendapat posisi dan jabatan, orang macam itu tidak berpikir untuk mendistribusikan kesejahteraan dan keadilan.

Egoisme yang besar, keras, dan keji telah meluluhlantakkan martabatnya. Kedudukan, jabatan, atau peran sosial tidak dipahami dan dihayati sebagai pencapaian nilai yang membanggakan dirinya. Orang dengan ambisi kekuasaan yang nggegirisi macam ini tidak lagi memiliki obsesi menjadi orang baik (minimal) dan orang besar (maksimal). Ukuran orang baik bisa sangat sederhana: keberadaannya bermakna bagi publik. Ukuran orang besar pun bisa dirumuskan secara bersahaja, yakni peran sosial dan kultural yang dilandasi etik/ etos dan memberi kontribusi penting bagi peradaban bangsa.

Para penegak hukum, para politisi, dan para penyelenggara pemerintahan yang sering mengaku sebagai negarawan itu mestinya punya obsesi jadi orang besar. Jika tidak mampu mencapainya, minimal menjadi orang baik.

Namun, sangat sulit menjadi (dan mencari) orang baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kebaikan hanya berhenti pada jagat simbol, seperti tampak pada jargon-jargon yang menggelikan: bersih, peduli dan santun (tapi ya tetap nyolong). ●

Tangan-tangan Kotor

Tangan-tangan Kotor
F Budi Hardiman  ;  Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara
KOMPAS, 10 Oktober 2013





BOLEHKAH melakukan sogok, intimidasi, atau manipulasi dalam pemilu? Kita semua tahu, jawabannya adalah TIDAK, karena hal-hal itu tidak bermoral (immoral). Namun, mengapa praktik-praktik itu selalu saja terjadi?

Baru saja Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan ketua Mahkamah Konstitusi untuk kasus macam itu. Dapat dipastikan, Pemilu 2014 juga tak akan bersih dari politik uang. Jawabannya harus dicari bukan pada moralitas, melainkan pada politik. Di sana kita temukan sebuah paradoks kuno: apa yang tidak dapat dibenarkan oleh moral kerap kali dibenarkan oleh politik. Paradoks itu sudah ada dalam buku Plato The Republic sebagai ”dusta putih” dan buku Machiavelli The Prince sebagai ”tujuan membenarkan cara”. Di dalam etika politik kontemporer hal itu didiskusikan kembali di bawah istilah ”masalah tangan kotor” oleh John M Parrish dalam bukunya, Paradoxes of Political Ethics (2007).

Argumentasinya akan saya pakai di sini untuk menerangi politik uang sebagai masalah etis-politis. Parrish menjelaskan paradoks itu sebagai ”konflik dua tanggung jawab”. Tanggung jawab politis seorang politikus partai adalah memenangkan partainya, tetapi tanggung jawab moralnya adalah memenangkan dengan tangan bersih. Padahal dalam politik, tangan kotor ada di mana-mana, maka politikus justru merasa immoral jika tidak memenangkan partainya dengan tangan kotor juga.

Urgensi tentu dapat menghadapkan politikus pada dilema moral. Seorang presiden yang harus memilih antara memerintah aparatnya untuk menyiksa seorang teroris agar rencana pengeboman dapat dibongkar atau tidak memerintahkan hal itu sama sekali menghadapi dilema moral: jika perintah itu diberikan, dia salah, dan jika tidak diberikan, dia salah juga. Ada ”residu moral” setelah pilihan diambil. Kasus politik uang kehilangan faktor urgensi itu, tetapi tentu saja seorang politikus tidak akan kehabisan dalih untuk membenarkan tindakannya.

Tiga macam pertimbangan
Pertimbangan pertama, utilitarianisme, berkecamuk di kepala banyak politikus. Mereka berkeyakinan bahwa politik uang memang bukan hal terpuji, tapi cara itu perlu dilakukan agar mayoritas orang akan mendapat manfaat dari kemenangan partainya. The greatest happiness of the greatest number, begitu dalilnya. Idealisme demokrasi adalah kebahagiaan bagi semua, tetapi realisme demokrasi adalah kebahagiaan bagi sebagian, maka para politikus yang merasa dapat membahagiakan sebagian besar dapat mengira telah mendekati idealisme itu. Bagi mereka tangan kotor bukanlah masalah dilematis.

Pertimbangan kedua, etika deontologi, kerap dikaitkan dengan integritas moral. Kecurangan adalah kejahatan dan kejahatan tetaplah kejahatan meski ada alasan baik untuk itu. Tangan kotor adalah immoral. Tiada dilema di dalamnya. Para politikus deontologis akan mempertahankan asas kaku ini sampai mati. Para politikus kawakan akan mencibir mereka sebagai naif dan tak tahu politik. Bukti yang bisa dibawa adalah orang seperti Oskar Schindler yang telah menunaikan tanggung jawab moralnya dengan menyelamatkan seribu orang Yahudi lebih dengan sogok dan dusta. Keberatan ini beralasan, tapi tak bisa digeneralisasi karena etika deontologi menjadi dilematis hanya dalam ”keadaan luar biasa”. Di dalam demokrasi yang dicemari politik uang, pendirian deontologis tetap merupakan wujud integritas moral yang tinggi.

Kedua pertimbangan sebelumnya tidak bisa dimutlakkan, maka pertimbangan ketiga—disebut pluralisme nilai—akan mengatakan bahwa di dalam politik ada banyak nilai yang membuat tangan kotor tidak bisa dinilai dengan satu skema nilai, entah manfaat atau integritas saja. Politikus dengan tujuan baik sekalipun akan terdesak untuk memakai sarana-sarana bermasalah. Dalam Politik als Beruf Max Weber berpendapat bahwa tidak seperti birokrat yang tunduk pada satu kriteria administratif, seorang politikus menghadapi banyak kriteria moral. Dalam pluralisme nilai tangan kotor paling nyata muncul sebagai dilema moral. Namun jika pluralisme menjadi relativisme nilai, tangan kotor tidak disadari sebagai masalah etis, tetapi masalah teknis belaka. Koruptor, misalnya, tidak merasa ”bersalah”, tetapi merasa ”sial” karena tertangkap tangan. Mengapa sogok selalu terjadi? Di Indonesia jawabannya bahkan tidak ditemukan pada politik, yang agaknya masih terlalu luhur, melainkan pada nafsu loba beyond good and evil yang dipacu gaya hidup hedonis konsumtif.

Solusi sistemis?
Tangan kotor tidak bisa diatasi secara etis, seperti disarankan dalam ketiga pertimbangan di atas, karena para egois itu lebih memuja nafsu daripada mematuhi kesadaran moral. Masalah ini harus diatasi secara politis. Masyarakat modern memberi sebuah solusi sistemis dengan model hukum atau model pasar. Solusi Thomas Hobbes dalam Leviathan adalah contoh model hukum: jika tangan kotor ada di mana-mana, buatlah sebuah ”aturan main” yang memaksa tangan-tangan kotor saling membatasi sedemikian rupa sehingga berpolitik dengan tangan kotor justru akan merugikan kepentingan diri.

Tak seperti model hukum yang mengandalkan otoritas negara dalam memaksakan sistem aturan main, model pasar mengandalkan kompetisi bebas. Solusi ini diberikan Adam Smith, penulis The Wealth of Nations: biarlah pasar sendiri, yakni voters, mengeliminasi partai bertangan kotor, karena mekanisme pasar mencari efisiensi. Kecurangan adalah inefisiensi. Seperti halnya penjual buah busuk akan kehilangan pembeli, demikian pula, partai bertangan kotor akan ditinggalkan pemilih. Tangan-tangan kotor akan disingkirkan ”tangan-tangan tak kelihatan”.

Solusi sistemis menyerahkan masalah tangan kotor tidak pada kesadaran moral individu, tetapi pada ”mekanisme” hukum dan pasar. Kita tahu solusi sistemis ini adalah penegakan hukum. Mengapa juga kurang meyakinkan? Di Indonesia solusi ini akan menghadapi dua masalah. Pertama, oligarki-oligarki bisnis-politis masih bermain dalam demokrasi elektoral sehingga formasi dan eksekusi aturan main pemilu tidak bisa mewujudkan fairness dan kesetaraan yang selalu diandaikan untuk sebuah sistem yang berfungsi baik. Kedua, figur pemimpin masih berperan lebih besar daripada mekanisme sistemis sehingga sistem mana pun cenderung bergantung pada ketokohan. Pemimpin korup bisa menghasilkan sistem korup.

Masalah tangan kotor dalam pemilu tidak dapat diatasi hanya dengan ”mekanisme hukum” karena hukum kerap direlatifkan dengan kuasa dan uang. Menyerahkan pada ”mekanisme pasar” juga absurd karena di bawah oligarki dan kleptokrasi kompetisi tidak pernah bebas dan setara. Sistem bukanlah obat mujarab karena sistem justru memfasilitasi tangan kotor dan menjadi alat predatoris para bandit. Alih generasi juga terbukti tidak memperbaiki keadaan karena buah-buah baru juga membusuk dalam kulkas yang rusak. Sanksi keras seperti pernah disarankan Akil Mochtar yang kini bisa terarah pada dirinya, yaitu ”pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor”, juga tak akan membuat jera para bandit. Yang dibutuhkan Indonesia adalah kepemimpinan berkarakter yang berani mengganti sistem predatoris dengan sistem baru yang mampu menghasilkan fairness dan transparansi publik. Tidak ada cara lain untuk menghasilkan kepemimpinan seperti itu selain lewat pemilu. Jadi, waspadailah tangan-tangan kotor pemilu mulai dari hulu sampai hilir prosesnya atau para bandit tetap bercokol dalam sistem yang melayani mereka.

Ongkos Pertarungan Ideologis

Ongkos Pertarungan Ideologis
R William Liddle  ;  Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University,
Columbus, Ohio, AS
KOMPAS, 10 Oktober 2013




ENAM puluh tahun lalu, sebuah kritik akademis menggegerkan dunia politik Amerika. Kritik itu dilontarkan pengurus American Political Science Association, asosiasi dosen ilmu politik paling terhormat.

Keluhannya: platform atau program dua partai kami kurang ideologis. Kesimpulan APSA: ”Alternatif usul kebijakan dalam banyak hal dikaburkan dalam platform kedua partai, dengan akibat sulit diketahui apa yang dikehendaki para pemilih dalam pemilihan umum”.

Saya teringat pada kecaman itu ketika Pemerintah AS ditutup, minggu lalu. Delapan ratus ribu pegawai federal dicuti tanpa gaji berkat kegagalan Kongres meloloskan anggaran belanja negara untuk tahun fiskal baru mulai 1 Oktober. Kemungkinan besar krisis ini berlanjut sampai pertengahan Oktober, tatkala Kongres diharuskan oleh UU untuk menaikkan batas utang negara. Tanpa kenaikan itu, pemerintah akan pailit, dalam pengertian tidak mampu melunasi semua kewajiban finansialnya. Mengingat pentingnya peran dollar AS di mancanegara, Indonesia pasti bakal kena getahnya.

Penyebab utama krisis ini adalah bahwa politik Amerika kini justru kelewat ideologis. Persisnya, Partai Republik, salah satu dari dua partai besar kami, tercengkeram oleh segelintir aktivis kanan. Kelompok ini, yang terdiri hanya sekitar 30 anggota House of Representatives, Dewan Perwakilan, menjunjung kebebasan individu di atas semua nilai sosial lain dan tidak bersedia berkompromi dengan kelompok lain. Sejak Pemilu 2012, Dewan Perwakilan dikuasai Partai Republik (233 dari 435 kursi), sementara Demokrat, partainya Presiden Obama, mayoritas di Senat.

Kegiatan para aktivis kanan itu terpicu oleh lolosnya UU Pelayanan Kesehatan Terjangkau, pada Maret 2010, ketika Dewan Perwakilan masih dikuasai Partai Demokrat. Meyakini bahwa UU itu, yang mereka juluki Obamacare, ancaman besar terhadap kebebasan individu, mereka langsung menggalang dukungan. Pada pemilu paruh waktu 2010, yang hanya menyangkut Dewan Perwakilan dan sepertiga anggota Senat, mereka menang di Dewan Perwakilan, tapi kalah di Senat.

Pola itu diteruskan pada Pemilu 2012, ketika Obama dipilih kembali untuk masa jabatan kedua. Kini Fraksi Partai Republik di Dewan memanfaatkan kekuatannya selaku mayoritas di badan itu untuk menuntut agar pemerintah tidak membiayai Obamacare atau setidaknya menunda pelaksanaannya selama satu tahun. Imbalannya, persetujuan pada anggaran belanja negara dan kenaikan batas utang yang selama ini mereka blokir. Semua orang tahu, seandainya Obama tunduk tahun ini, ia akan menghadapi tuntutan yang sama setiap tahun ke depan.

Kenapa 30 orang berhasil menutup pemerintah dan mengancam kebangkrutan negara? Kegigihan berdasarkan keyakinan ideologis, yang memang unsur baru dalam politik di AS, adalah faktor penting. Semua percaya bahwa para aktivis itu mean what they say, betul-betul bersedia membiarkan kebangkrutan negara demi tercapainya cita-cita mereka. Selain itu, lebih dari 100 anggota lain di Dewan dari Partai Republik takut kehilangan kursi pada pemilu berikutnya kalau pencalonan mereka digugat oleh kelompok paling kanan.

Dalam hal itu, sejumlah LSM ekstrem kanan, seperti Club for Growth dan Heritage Foundation, terkenal mampu dan bersedia mengadakan kampanye negatif terhadap calon-calon moderat dari Republik. John Boehner, Ketua Dewan Perwakilan dan pemimpin Fraksi Republik, dianggap tokoh moderat yang enggan menyetujui strategi penutupan pemerintah, apalagi pembangkrutan negara. Namun, Boehner sadar bahwa ia pasti ditumbangkan dari kursi Ketua Dewan oleh fraksinya sendiri kalau ia tak tunduk pada kemauan anggotanya yang paling kanan.

Dari awal masa krisis ini, Presiden Obama bersitegas bahwa ia tidak bersedia diekstorsi (begitu istilah dia) oleh Fraksi Republik. Dia mengaku belajar dari pengalaman dua tahun lalu, ketika tawarannya untuk bernegosiasi ditolak oleh Ketua Boehner. Lebih pokok, Obama menganggap kenaikan batas utang sebagai kewajiban Kongres yang tak tertawarkan demi keselamatan bangsa. Dalam hal itu, ia didukung sebagian besar pengamat dan pemain, termasuk kaum moderat di Partai Republik.

Bagi masyarakat Indonesia, mungkin ada dua pelajaran yang berguna. Pertama, ada baiknya bersikap eling lan waspada terhadap Pemerintah AS, mengingat pengaruhnya terhadap ekonomi Indonesia. Kedua, ada baiknya memikirkan kembali peran ideologi di negara modern, termasuk Indonesia.

Para pakar dalam negeri, kiri maupun kanan, suka menyuruh partai-partai politik menjadi lebih ideologis. Namun tujuan mulia, seperti kemakmuran yang merata, lebih mungkin tercapai melalui penentuan kebijakan negara secara pragmatis. Pragmatis dalam pengertian tidak berat sebelah kepada salah satu teori besar seperti kapitalisme atau sosialisme. ●