Selasa, 11 Juni 2013

Jeda Rezim Suku Bunga Rendah

Jeda Rezim Suku Bunga Rendah
A Tony Prasetiantono ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi 
dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 10 Juni 2013
 
 
 

Majalah Infobank baru saja merilis proyeksinya bahwa industri perbankan akan mengalami stagnasi dalam empat tahun mendatang. Ada indikasi pertumbuhan kredit yang lebih kencang daripada pertumbuhan dana pihak ketiga membuat rasio kredit terhadap dana pihak ketiga perbankan tahun 2017 diprediksi hampir menyentuh 100 persen (Kompas, 4/6). Situasi tidak sehat ini tentu agak merisaukan.

Beberapa data ekonomi makro belakangan ini memang menunjukkan tanda-tanda pelambatan ekonomi. Kinerja pertumbuhan ekonomi triwulan I-2013 hanya 6,02 persen. Karena itu, semula pemerintah hanya berani menargetkan pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 6,2 persen, sebelum kemudian diralat DPR menjadi 6,3 persen.

Inflasi tahunan (year on year) memang masih nyaman pada 5,47 persen. Namun, bakal segera melesat ke 6 persen atau 7 persen sesudah harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan, ditambah peristiwa musiman bulan Ramadhan dan Lebaran. Pemerintah memperkirakan inflasi per akhir tahun 7,2 persen, sementara Bank Indonesia (BI) memproyeksikan 7,76 persen.

Pada industri perbankan, gejala melambat terlihat dari penurun sejumlah indikator utama. Pertumbuhan kredit triwulan I-2013 sebesar 22 persen, turun dari 24 persen periode yang sama tahun 2012. Kredit sektor pertambangan turun dari 34 persen ke 19 persen; kredit pertanian turun dari 30 persen ke 26 persen; kredit konstruksi turun dari 22 persen ke 17 persen.

Namun, ada yang menggembirakan. Rasio kredit bermasalah bruto turun dari 2,29 persen menjadi 1,97 persen. Indikator efisiensi yang ditunjukkan oleh rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional membaik sedikit dari 76,7 persen menjadi 75,5 persen.

Persoalan terkini industri perbankan ada dua. Pertama, rezim suku bunga rendah belum sepenuhnya berhasil. Suku bunga acuan BI Rate memang turun hingga 5,75 persen, terendah dalam sejarah perekonomian Indonesia, tetapi belum diikuti dengan penurunan bunga kredit secara proporsional.

Kedua, ekspansi kredit mulai melambat. Hal ini disebabkan turunnya tingkat kepercayaan pelaku ekonomi terhadap prospek perekonomian Indonesia. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak sehat karena terbebani subsidi BBM, defisit neraca perdagangan, cadangan devisa melorot, yang menggerogoti kepercayaan investor dan bank yang lalu sama-sama mengerem ekspansinya.

Data industri perbankan menunjukkan gejala pertumbuhan melambat. Aset total perbankan sejak akhir tahun 2012 cenderung datar ke level Rp 4.200 triliun, dana pihak ketiga Rp 3.200 triliun, dan kredit Rp 2.700 triliun. Situasi ini mirip kasus di Amerika Serikat saat Kepala Fed (Bank Sentral AS) Alan Greenspan menerapkan rezim bunga rendah dengan memangkas Fed Rate dari 9 persen jadi 5,75 persen pada Mei 1989-Juli 1991 (Fleckenstein dan Sheehan, 2008).

Meski secara positif mendorong konsumsi dan investasi, kebijakan ini juga menyebabkan migrasi dana dari perbankan komersial ke pasar modal sehingga harga saham di Wall Street melambung. Namun, hal ini lebih bersifat artifisial, bukan fundamental. Kelak, pada September 2008, ketika harga saham sudah terlalu menggelembung, indeks harga saham Dow Jones pun terkoreksi hampir 50 persen saat krisis subprime mortgage. Krisis ekonomi terbesar AS sejak depresi besar pada 1930-an.

Kejadian ini nyaris sama dengan kondisi kita kini. Harga saham naik hingga indeks menyentuh di atas 5.200 per akhir Mei 2013, bisa jadi disebabkan oleh suku bunga simpanan di bank yang tak menarik. Dengan bunga acuan 5,75 persen berbanding ekspektasi inflasi 7 persen, dapat dipahami jika banyak orang yang memburu imbal hasil di pasar modal. Namun, karena kenaikan harga saham ini sifatnya artifisial (tidak fundamental), IHSG pun mudah terkoreksi menjadi 4.865 pada akhir pekan lalu, Jumat (7/6).

Tampaknya likuiditas dalam hari-hari ini masih cenderung mondar-mandir antara sektor perbankan dan pasar modal. Sementara itu, sebagian likuiditas rupiah juga ”lari”, dibelikan dollar AS. Akibatnya, kurs rupiah cenderung melemah. Sejauh ini BI memang masih bisa mengintervensi pasar dengan cara melepaskan cadangan devisanya. Namun, sampai kapan mereka kuat? Cadangan devisa saat ini, 105 miliar dollar AS, jelas bukan level ideal dan aman karena sudah mendekati batas psikologis 100 miliar dollar AS.

Untuk mengurangi beban intervensi agar rupiah stabil, saya sarankan BI mulai menaikkan BI Rate menjadi 6 persen. Memang, rezim suku bunga rendah pada era Darmin Nasution cepat atau lambat akan ada limitnya. Saya duga batas itu kini dijumpai. Harga BBM bersubsidi ”harus” naik, inflasi merangkak ke 7 persen, sehingga BI Rate 5,75 persen pun kini mulai tidak relevan lagi. Kalau BI Rate tetap, bisa berdampak buruk pada volatilitas rupiah dan IHSG.

Kenaikan suku bunga memang akan memaksa pelambatan ekspansi kredit perbankan. Namun, di sisi lain, dana masyarakat yang ”gentayangan” membeli valas dan saham akan mulai mengalir kembali ke bank. Saya tetap yakin bahwa industri perbankan tidak stagnan, tetapi masih akan terus tumbuh meski lebih lambat.

Meski begitu, kebutuhan terus menyuntik modal bagi bank-bank kita masih akan menjadi persyaratan yang harus dipenuhi para pemilik bank jika ingin banknya terus eksis di industri. Bank yang bermodal kecil harus memperkuat struktur modalnya dengan cara anorganik, misalnya berkonsolidasi, merger, dan akuisisi dengan bank lain. Hanya bank bermodal besar yang tetap tangguh dan mampu bertahan di industri yang haus modal dan sarat teknologi ini.

Rezim suku bunga rendah untuk sementara harus jeda dulu. Tekanan krisis global dan APBN yang tidak sehat merupakan dua hal yang memaksa BI harus segera menaikkan BI Rate. Jika kelak tekanan mulai berkurang, rezim tersebut dapat dilanjutkan kembali. Suku bunga rendah adalah strategi jangka menengah dan panjang yang harus kita capai, tetapi menaikkan BI Rate adalah realitas taktik jangka pendek yang semoga tidak terlalu lama kita jalani.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar