Senin, 10 Juni 2013

Membaca Manuver PKS

Membaca Manuver PKS
Gun Gun Heryanto ;    Direktur Eksekutif the Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
KORAN SINDO, 08 Juni 2013
 
 
Jika kita menyusuri jalanan utama di Jakarta hingga berbagai kota di seluruh pelosok negeri ini, pemandangan yang kita temukan akhir-akhir ini adalah maraknya spanduk Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pesannya ganda, di satu sisi kalimat verbal agresif yang mengkritik keras rencana pemerintahan menaikkan harga BBM, hal lainnya adalah memperkenalkan sosok-sosok calon anggota legislatif (caleg) PKS mulai caleg DPR hingga DPRD kabupaten/kota.

Pilihan strategi political publicity yang mengail di tengah keruhnya rencana kenaikan BBM. Ada dua persoalan yang menarik diulas, menyangkut tepat tidaknya strategi publisitas politik PKS, dan soal relasi kuasa PKS dengan mitra utamanya SBY dan Partai Demokrat.

Publisitas Politik
Sebenarnya publisitas politik itu sah-sah saja dilakukan oleh siapa pun yang bertarung dalam rivalitas demokrasi elektoral. Hal ini sangat lumrah dilakukan di tengah bauran pemasaran politik untuk memersuasi pemilih. Publisitas berbeda dengan pendekatan advertising yang mengalokasikan anggaran khusus, karena pendekatan ini biasanya justru memanfaatkan momentum situasi atau kejadian bernilai berita plus tanpa biaya; jikapun ada anggaran, sifatnya low cost.

Saya pernah mendefinisikan publisitas dalam buku saya Public Relations Politik (2012) sebagai teknik penyiaran berita tentang peristiwa yang diatur atau diciptakan terlebih dahulu untuk kepentingan seseorang atau lembaga, yang dalam tahap pertama tidak memerlukan biaya. Seorang pakar publisitas Howard Stephenson (1960) secara ringkas menyebut publisitas sebagai news about events that are planned.

Ada empat tujuan publisitas, yakni memalingkan perhatian, memperoleh penghargaan, good will (niat baik), dan popularitas. Dalam konteks bertebarannya spanduk-spanduk PKS di jalanan, jelas sudah bahwa spanduk-spanduk tersebut sedari awal bukan tindakan sporadis yang dilakukan oleh kader-kader PKS. Ini merupakan kerja sistematis yang barang tentu dipersiapkan, dihitung dampak dan risikonya serta kemungkinan besar dimasifikasi melalui struktur partai dari pusat hingga daerah.

Tujuannya bukan semata-mata pada kritisisme PKS atas kenaikan BBM, melainkan tindakan masif ini menjadi “panggung” tersendiri bagi pencitraan mereka. Publisitas PKS lewat “banjir” spanduk ini di satu sisi memperlihatkan kepiawaian dan kenekatan PKS dalam menjalan strategi pencitraan.

Indikatornya; pertama, PKS sudah memalingkan perhatian publik dalam kasus kenaikan BBM. Lewat spanduk yang tidak seberapa harganya, mereka menjadi news maker. Serangan PKS mendapat reaksi dari pemerintah SBY, elite Demokrat, plus bonus gaung berita di media massa. Berhari-hari spanduk PKS ini menjadi nilai berita yang banyak dikupas media, karena dikaitkan dengan sikap politik PKS dengan mitra koalisinya yakni SBY.

Kedua, PKS mengubah spanduk yang biasanya hanya menjadi pure publicity atau publisitas melalui kejadian sehari-hari dan apa adanya itu, menjadi tie-in publicity yakni publisitas melalui extra ordinary news atau kejadian yang tidak biasa. Dengan anggaran murah, PKS sesungguhnya sedang “menghunjam” kesadaran publik dengan mengenalkan sejumlah nama kader mereka yang akan nyaleg sekaligus memopulerkan brand PKS menjelang 2014. 
 
 Ketiga, PKS juga secara sadar sedang memecah perhatian publik atas opini negatif yang akhir-akhir ini dialamatkan ke partai mereka karena intensifnya pemberitaan kasus LHI dan Ahmad Fathanah. Dengan spanduk yang terkesan garang tersebut, PKS sedang membangun pesan bahwa partainya masih ada, dan tetap kritis serta mengesankan diri sebagi partai prorakyat.

Tujuannya sudah bisa ditebak, yakni manajemen kesan agar memfasilitasi good will warga, terutama pemilih. Mengubah persepsi negatif ke netral dan akhirnya ke positif. Pada saat berbarengan, PKS sedang menguji untuk ke sekian kalinya reaksi SBY dan Demokrat atas pilihan berseberangan yang diambilnya.

Konsistensi Sikap

Setelah membanjiri ruang publik dengan pernyataan-pernyataan menggugat atas rencana kenaikan BBM, konsistenkah PKS atas pilihan sikap mereka? Ini yang wajib dicermati oleh publik! Paling tidak ada dua catatan penting atas sikap PKS tersebut. Pertama, masih ada potensi PKS bermain peran dalam konteks kenaikan BBM ini. Ada elite PKS yang memerankan diri sebagai penentang kenaikan BBM dan kelompok ini lantang menyerang di media arus utama (mainstream) maupun di sosial media.

Jika mendengar komentar-komentar seperti Fahri Hamzah, Andi Rahmat dkk, yang setiap saat mengekspresikan penolakan secara gamblang, kita seolah-olah melihat PKS akan berseberangan dengan pemerintah. Tetapi saat bersamaan, kita juga menerima pesan bernada dukungan terhadap kenaikan BBM dari elite PKS lain seperti Tifatul Sembiring dan elite Majelis Syura.

Kenaikan BBM sendiri bukan persoalan enteng. Ini akan memengaruhi nasib jutaan rakyat Indonesia. Publik akan menjadikan spanduk-spanduk yang bertebaran dan kalimat yang berhamburan dari para elite PKS itu sebagai bukti otentik pilihan sikap PKS. Jika mereka bermain-main dengan wacana retoris, tentu partai ini memang layak di hukum di Pemilu. Dalam waktu dekat, kita akan mengetahui seperti apa sesungguhnya sikap PKS.

Jika akhirnya mereka menjilat lidahnya sendiri dan bersepakat dengan kebijakan yang ditentangnya, publik akan menilai tidak konsistennya partai ini. Ini bukan soal tepat tidaknya rencana kenaikan BBM, melainkan lebih pada pilihan-pilihan sikap politik partai dan para elite yang harus konsisten.

Kedua, yang harus dikritisi dari PKS adalah konsistensi pilihan sikap politik dengan konsekuensi atas eksistensi mereka di kabinet yang dinakhodai SBY. Jika PKS berseberangan dan tidak lagi satu orientasi dengan SBY, seharusnya PKS juga mengembangkan sikap yang jelas yakni keluar dari koalisi. PKS yang meletakkan satu kaki di pemerintahan dan menikmati “kue lezat” kekuasaan serta satu kaki lainnya, seolah-olah berada di luar kekuasaan menjadikan posisi PKS ambigu, tidak etis, dan pragmatis.

Politik itu soal pilihan dan konsistensi atas sikap yang sudah diambil. Jangan berperan ganda terlebih mempermainkan persepsi publik dengan strategi manipulasi psikologis berbasis retorika belaka. Jalan panjang dan terjal akan dilalui PKS pada Pemilu 2014. Di luar persoalan hukum yang membelit LHI dan berpotensi menyeret sejumlah nama elite PKS lainnya di ranah hukum, PKS juga dihadapkan pada realitas pemilih kita yang kian rasional dan melek informasi.

Publisitas politik di jutaan spanduk yang bertebaran tak akan bermanfaat apa pun, jika orientasinya hanya pencitraan dan konsistensi sikapnya hanya bualan. Jangan sampai publik menilai “tong kosong nyaring bunyinya”, semoga PKS tidak!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar