Senin, 10 Juni 2013

Tuntutan Transformasi

Tuntutan Transformasi
Toeti Prahas Adhitama ;    Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 07 Juni 2013
 
 
LEMBARAN sejarah Indonesia mencatat lengsernya Presiden Soeharto setelah memerintah lebih dari 31 tahun tidak terlepas dari pengaruh keputusan 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin) yang menyatakan tidak bersedia bergabung dalam kabinet baru. Ginanjar Kartasasmita (GK), menko ekuin waktu itu, tak pelak dituding menjadi penggerak sikap yang akhirnya menutup babak pemerintahan Orde Baru. Tanggapan GK tentang hal itu terungkap dalam buku Managing Indonesia's Transformation, An Oral History (2013) terbitan World Scientific Publishing Co Pte Ltd yang diluncurkan akhir minggu lalu di Jakarta.

GK dikenal sebagai tokoh yang selalu ada dalam lingkaran kekuasaan Soeharto. Kesetiaan dan kepatuhannya pada pimpinan Orde Baru dan kebijaksanaan politik maupun ekonominya tidak diragukan. Karena itu, sikapnya pada ujung masa Orde Baru itu tidak terduga. Dalam forum peluncuran bukunya, dia menyatakan, “Loyalitas jangan mengorbankan kepentingan yang lebih besar.“ Sebuah pernyataan yang mencoba menjelaskannya.


Bagi GK, kalimat sederhana itu tentunya mengandung beban berat secara batiniah, baik bagi masa lalu yang ditinggalkannya maupun masa depan yang belum menentu. Namun, itulah bagian dari tuntutan transformasi. Sebab sikap politik yang maju-mundur, seperti tari Poco-Poco (meminjam istilah Christianto Wibisono) hanya akan menambah keruwetan; sementara faktanya sistem sosial politik waktu itu dirasakan oleh sebagian orang tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman yang meyakini asas demokrasi sebagai ciri masyarakat modern.

Bahwa persoalannya amat kontroversial sampai sekarang bisa kita mengerti mengingat suatu pemerintahan selalu memiliki sisi pahit maupun manisnya. Maka, tiap diskusi mengenai hal itu masih saja membangkitkan sikap emosional; lebih-lebih sekarang, ketika reformasi belum menemukan pijakan yang mantap dan belum menimbulkan rasa nyaman bagi seluruh rakyat. Tuntutan perubahan terus bergulir, sedangkan konsep perubahannya masih perlu perumusan dan sosialisasi.

Membangun masyarakat modern
Apa sebenarnya batasan untuk konsep masyarakat modern? Alex Inkeles (1920-2010), profesor sosiologi, selama hampir seperempat abad di Universitas Harvard dan diakui kepeloporannya dalam pemikiran tentang modernisasi, pernah menyatakan bahwa mengusahakan tercapainya taraf penghidupan yang layak bagi segenap rakyat merupakan tujuan pokok pembangunan ekonomi. Namun, kemajuan bangsa tidak bisa diukur hanya dari GNP (gross national product) per kapita rakyatnya semata.

Pembangunan juga mencakup ide mendewasakan kehidupan politik, seperti tecermin dalam proses pemerintahan yang stabil dan tertib, yang berlandaskan kemauan rakyat banyak. Juga menyangkut pendidikan yang menyeluruh bagi rakyat, pengembangan seni budaya, sarana komunikasi dan penyuburan segala bentuk rekreasi. Artinya, ide pembangunan demokrasi mensyaratkan perubahan pada sikap dan perilaku manusia, suatu transformasi yang disebut modernisasi.

Yang kita alami sekarang, kita kelihatan sering kebingungan dalam menanggapi modernisasi, termasuk dalam usaha pembangunannya. Masalahnya, pertama-tama kita harus mengubah pikiran dan perasaan yang telah kita kenal puluhan tahun; atau bahkan ratusan tahun yang dikenal nenek moyang kita. Selain itu, bersikap modern sering ditafsirkan sebagai bersikap Barat karena banyak konsep modern dipelopori oleh bangsa-bangsa Barat. Banyak yang dianggap tidak sesuai dengan budaya serta keyakinan agama sebagian besar masyarakat kita.

Mungkin paparan itu menjelaskan mengapa tidak selesai-selesainya proses transformasi kita. Selain itu, di samping kaum idealis yang jujur dan tekun, banyak pecundang yang mengail di air keruh, yang mengakibatkan semaraknya korupsi dan berbagai bentuk penyelewengan lain; demikian rupa sehingga partai-partai politik sebagai pilar-pilar demokrasi pun terkontaminasi dan kehilangan kepercayaan rakyat.
Singkat kata, sekalipun lingkungan eksternal menunjukkan terjadi perkembangan modernisasi, secara internal kita masih jauh dari sikap modern karena nilai-nilai, perasaan, maupun sikap kita masih tradisional kalau bukan kolot.

Perguruan tinggi dan transformasi

Tidak ada perumusan tentang manusia modern yang bisa disetujui semua pihak. Tetapi menurut Inkeles, yang mencirikan manusia modern ialah kesediaannya membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi, dan perubahan. Orang modern memiliki orientasi lebih demokratis karena dia menyadari keragaman sikap dan pendapat yang ada di lingkungannya. Dia tidak bersikap otokratis dan hierarkis.

Lalu, apa atau siapa yang dapat kita andalkan memotori transformasi? Tentunya pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Apakah perguruan tinggi kita sanggup menghasilkan para lulusannya untuk kepentingan modernisasi?

Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang memproduksi tamatan universitas secara massal. Sistem pendidikan yang demikian tidak mungkin membekali lulusannya dengan pendidikan bermutu tinggi yang memadai untuk modernisasi. Alasannya, jumlah pendidik bermutu yang tersedia tidak mencukupi, begitu pula sarananya.

Kondisi ekonomi maupun politik tidak mendukung moral para mahasiswa untuk cinta belajar dan motivasi profesional. Yang lebih kita sesalkan, kecurigaan politisi terhadap kampus sebagai sumber sikap menentang pemerintah tidak menolong keadaan.

Di Asia, Malaysia dan India terkenal sebagai pengelola pendidikan tinggi dengan mutu paling baik. Dalam forum ASEAN, itu akan banyak berpengaruh terhadap posisi Malaysia vis-a-vis Indonesia di masa mendatang, lebih-lebih ditinjau dari sisi ekonomi. Yang patut kita cemaskan, nantinya di kawasan ini kita hanya menang dalam jumlah lulusan perguruan tinggi, tetapi dalam modernisasi kita ketinggalan; fakta yang tidak membantu kelancaran mengatur transformasi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar