Rabu, 12 Juni 2013

Rezim Buta dan Tuli?

Rezim Buta dan Tuli?
Asmadji AS Muchtar ;   Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta dan Unsiq Wonosobo
SUARA KARYA, 11 Juni 2013
 
 
 



Rezim sekarang layakkah dikatakan mengalami kebutaan dan ketulian kronis, apabila tidak peduli terhadap dampak kenaikan harga sembako dan biaya hidup yang makin menyengsarakan rakyat akibat (rencana) kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)? Tahun 2005, Profesor Mubyarto pernah mengatakan hal serupa terkait kenaikan harga BBM.

Ketika rezim buta dan tuli terhadap nasib rakyat, jajaran eksekutif dan legislatif bisa jadi justru merasa gembira. Mereka mungkin malah berkomentar, "Biarlah semakin banyak anak putus sekolah, agar di kemudian hari tidak menjadi mahasiswa yang suka unjuk rasa dan merepotkan kita. Dan, biarlah semakin banyak rakyat miskin yang mati, agar angka kemiskinan bisa berkurang dengan sendirinya."

Sekarang, jajaran pers Indonesia selayaknya memang rajin menyajikan "berita duka" yang semakin jelas membeberkan kasus-kasus penderitaan rakyat akibat rezim buta dan tuli. Berita duka demikian, meskipun tidak akan diperhatikan oleh rezim, tetap perlu dilansir agar masyarakat kita tidak ikut-ikutan membuta-tulikan diri sendiri.

Dengan sering membaca berita duka, masyarakat kelas menengah ke atas bisa berpeluang ikut prihatin. Sebab, rakyat miskin sekarang hanya bisa berharap kepada tetangganya sesama rakyat yang sudah makmur untuk bersedia menolong. Sedangkan rezim (legislatif dan eksekutif) bisa saja tidak peduli, karena rumah-rumah mereka berpagar tinggi dan setiap melakukan perjalanan ke kantor atau ke mana saja selalu dengan menggunakan mobil berkaca gelap yang melaju kencang di jalan raya.

Dengan kata lain, rezim buta dan tuli hanya mampu memperhatikan angka-angka di atas kertas kerja, dan tidak melihat langsung sebenarnya berapa jumlah rakyat miskin yang sengsara akibat buruknya kinerja mereka.

Judul-judul berita di koran-koran sejak delapan tahun terakhir mungkin sudah bisa dikatakan semakin vulgar dan menyentuh kalbu. Tapi, jika rezim tidak memiliki kalbu maka kevulgaran judul-judul berita akan sia-sia saja.

Kini, seandainya semua koran di Indonesia mengumpat-umpat rezim pun barangkali mereka tetap tidak akan peduli karena mereka buta dan tuli. Dalam hal ini, janji-janji akan menyejahterakan rakyat dan membuat sekolah gratis sulit dibuktikan oleh rakyat kecil. Bahkan, janji-janji tersebut hanya semakin menyakitkan hati rakyat miskin.

Ibarat seorang ibu yang menanak batu ketika anak-anaknya sedang kelaparan, maka tidak akan ada acara makan sampai anak-anaknya tewas. Inilah tamsil apabila rezim terus menerus mengalami buta dan tuli. Mungkin, jajaran legislatif dan eksekutif akan tersinggung oleh tamsil ini, tetapi apa gunanya jika tamsil itu hanya bisa membuat mereka sekadar tersinggung? Ada enam indikasi yang bisa menjelaskan suatu rezim layak diduga buta dan tuli.

Pertama, suka memakai kacamata hitam seperti turis-turis yang sedang menikmati sengatan matahari di Bali. Dalam hal ini, rasa malu adalah sesuatu yang amat sederhana yang bisa diatasi hanya dengan memakai kacamata hitam.

Kedua, suka memakai kacamata hitam ketika mendengar laporan bawahan. Dengan memakai kacamata hitam, mata terpejam atau melek sama saja. Biar saja bawahan menyampaikan laporan dengan mimik serius, meski sebenarnya hanya laporan bohong alias tidak sesuai dengan kenyataan.

Ketiga, suka memakai kacamata hitam ketika membaca angka-angka kemiskinan yang telah disusun oleh para pemerintah terdahulu pada era-era sebelumnya. Dengan demikian, salah baca menjadi wajar-wajar saja, alias bisa dimaklumi.

Keempat, suka memakai kacamata hitam ketika tampil di depan rakyat miskin, agar mimik duka rakyat miskin tidak akan terlihat jelas. Atau, jika ada rakyat miskin yang meneteskan airmata, maka akan dianggap sebagai meneteskan keringat yang berarti sangat sehat.

Kelima, suka memakai kacamata hitam ketika meninjau sekolah-sekolah, sehingga jika ada dinding yang retak bisa dianggap sebagai hiasan dinding, dan jika melihat atap atau plafon bolong bisa dianggap sebagai lubang ventilasi. Atau, jika melihat banyak murid sekolah yang bertubuh kurus akan bisa menganggapnya cukup langsing.

Keenam, suka memakai kacamata hitam ketika dikerubungi kamera pers, agar jika dimuat di koran atau ditayangkan di televisi akan mirip gambar-gambar bos mafia. Dengan demikian rakyat tidak akan melihatnya, bahkan tidak akan mengenal siapa mereka. Bukankah bagi rezim yang buta dan tuli lebih baik tidak dikenal oleh rakyat miskin yang hanya merepotkan saja?

Enam indikasi yang membutatulikan diri sendiri tersebut bersifat simbolistik. Artinya, bisa saja jajaran legislatif dan eksekutif tidak perlu memakai kacamata hitam, karena hati nuraninya sudah gelap gulita.
Buta dan tulinya rezim mungkin akan berkelanjutan, kecuali jika diterapi dengan sebuah revolusi. Namun, karena tidak ada tanda-tanda akan munculnya revolusi, agaknya rezim akan terus-menerus buta dan tuli, atau pura-pura buta dan tuli.

Selebihnya, silahkan menilai diri sendiri, baik jajaran legislatif maupun eksekutif. Apakah keduanya benar-benar buta dan tuli atau sekadar pura-pura buta dan tuli terhadap kesengsaraan rakyat, kembali ada pada nurani orang-orang yang duduk di sana.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar