Kamis, 13 Juni 2013

Membaca 10 Calon Walikota Makassar


 Membaca 10 Calon Walikota Makassar
  Asri Abdullah;   Peneliti IDEC
Ketua Dewan Pengawasan Yayasan Timur Indonesia Bangkit
Tribun Timur, 12 Juni 2013
 
 
 
 

Kini kandidat Wali Kota Makassar mengerucut menjadi sepuluh pasangan. Kesepuluh kandidat yang telah resmi mendaftar di KPU melalui partai politik adalah Supomo Guntur-Kadir Halik, Danny Pomanto-Syamsu Rizal, Apiaty Amin Syam-Zulkifli Gani Ottoh, Tamsil Linrung-Das’ad Latief, Adil Patu-Isradi Zainal, dan Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah.

Sementara kandidat yang menempuh jalur independen yakni Rusdin Abdullah-Idris Patarai, St. Muhyina Muin-Syaiful Saleh, Erwin Kallo-Hasbi Ali dan Herman Handoko-Latif Bafadhal.
Ketidakhadiran incumbent menjadi salah satu faktor banyaknya kandidat yang hadir. Hal ini diperkuat dengan hasil survey IDEC pada April 2013, tak satupun elektabilitas kandidat yang mencapai angka 30 persen sehingga pertarungan lebih terbuka bagi pendatang baru sekalipun.

Back Stage
Pilwali Makassar memang menyisakan banyak pertanyaan dibenak pemilih mengenai kandidat yang akan bertarung. Olehnya itu, ada baiknya teori Dramaturgy, Erving Goffman kita pinjam untuk melihat panggung belakang (back stage) setiap kandidat.

Goffman memandang dunia sebagai sebuah arena pertunjukan. Pilwali Makassar seperti halnya arena pertunjukan yang memiliki cerita dan desain sebelum pertunjukan dimulai. Cerita ini dibuat dan ditata sedemikian rupa di tempat yang tak nampak di arena pertunjukan. Inilah yang menurut Goffman, panggung belakang Pilwali Makassar.

Kehadiran berbagai calon yang sebelumnya tak diprediksi sebagian kalangan, seperti Irman Yasin Limpo membuat konstalasi politik Makassar berubah drastis. Bukan saja di tingkat elit partai politik, tapi juga di basis pemilih.

Kehadiran Irman, yang akrab disapa None, justru tidak menguntungkan pasangan yang diusung partai Golkar yakni Supomo Guntur–Kadir Halid. Apalagi Syahrul Yasin Limpo selaku ketua DPD Partai Golkar Sulawesi Selatan telah menyatakan dukungan keluarganya kepada None yang merupakan adik kandungnya.
Keputusan DPP Partai Golkar yang menetapkan Kadir Halik sebagai pasangan Supomo Guntur dinilai banyak kalangan sebagai pemicu pecahnya suara Golkar. Perpecahan tampak saat deklarasi pasangan Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah dan Supomo Guntur-Kadir Halik yang digelar pada saat yang bersamaan. Kehadiran beberapa elit partai Golkar pada deklarasi yang dikenal dengan pasangan NoAh mengindikasikan terpecahnya kader Golkar. Apalagi Irman adalah tokoh sentral yang memenangkan Syahrul Yasin Limpo Pada Pilgub 2013 melalui tim pemenangannya Kapal Induk dan Sampan Induk, serta organisasi kemasyarakatan FKPSM.

Pasangan lain yang tidak diuntungkan dari kehadiran pasangan Noah adalah Kandidat Rusdin Abdullah (Rudal)-Idris Patarai. Pasangan ini memang jauh hari telah bekerja di tingkat kelurahan, RW dan RT untuk menggalang dukungan. Berdasarkan hasil Survey IDEC, elektabilitas Rudal berada pada posisi kedua setelah Supomo Guntur. Hal ini menunjukkan kemampuan penetrasi tim sukses Rudal cukup efektif.
Dukungan suara Rudal juga datang dari pasangannya, Idris Patarai yang didukung salah satu tim pemenangan Syahrul pada Pilgub 2013 yakni Kapal Induk. Idris Patarai adalah Ketua Kapal Induk Makassar pada Pilgub 2013 di bawah kendali None. Dukungan Rudal-Idris Patarai bisa saja terbagi, karena simpatisan Syahrul di Kapal Induk mungkin saja akan mengalihkan dukungannya ke pasangan NoAh setelah kepastian maju melalui deklarasi.

Kehadiran pendatang baru lainnya yakni Danny Pomanto-Syamsu Rizal juga tak bisa disepelekan. Apalagi pasangan yang dikenal dengan ‘DiA’ ini telah resmi mendapatkan dukungan partai Demokrat dan Ilham Arief Sirajuddin (Walikota Makassar). Perlu dicatat, pada Pilgub 2013, Ilham melalui Demokrat berhasil memenangkan suara di Makassar dengan angka 50.2 persen. Walaupun hanya berbeda 5.1 persen dengan suara Syahrul yakni 45.1 persen (sumber: LSI).

Pasangan lainnya adalah Muhyina Muin dan Syaiful Saleh juga patut diperhitungkan. disebabkan karena pasangan ini dikenal memiliki modal yang cukup besar. Selain itu, Syaiful Saleh merupakan salah satu tokoh senior organisasi Islam di Sulsel, yakni Muhammadiyahyang memiliki pemilih ideologis yang cukup besar di Makassar. Jika Syaiful Saleh memaksimalkan posisinya, maka bukan tidak mungkin suara pasangan dengan tagline ‘Makassar Bergerak’ ini akan mendulang kemenangan.

Pertarungan Godfather
Kehadiran tokoh besar di panggung belakang kandidat Pilwali Makassar tidak lepas dari pertarungan merebut kekuasaan di Makassar. Penetapan Kadir Halik sebagai pasangan Supomo tidak bisa dipisahkan dengan Nurdin Halik selaku Koordinator Wilayah (Korwil) Pemenangan Sulawesi DPP Golkar. Kadir merupakan adik kandung Nurdin Halik. Nurdin dikenal sebagai tokoh Golkar senior yang memiliki pengaruh dalam kancah perpolitikan nasional.

Kandidat yang populer dengan nama pasangan DiA juga tidak lepas dari bayang-bayang Ilham Arief Sirajuddin selaku Wali Kota Makassar 2 periode. Ilham tentunya belajar pada Pilgub 2013 dengan mendukung pasangan DiA sebagai satu-satunya kandidat yang mampu menjaga pengaruhnya di Makassar selama 10 tahun terakhir.

Syahrul Yasin Limpo juga telah membuktikan pengaruhnya yang luas di Makassar pada Pilgub 2013 lalu. Dukungan syahrul terhadap pasangan NoAh tak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi Sosok Irman yang dikenal dekat dengan banyak orang dan bermasyarakat serta memiliki ide brilian bisa menjadi ancaman serius bagi semua kandidat.

Kandidat lainnya usungan partai Keadilian Sejahtera, Tamsil Linrung-Das’ad Latief tak bisa dianggap remeh. Loyalitas kader PKS yang juga tak sedikit jumlahnya bisa mengantar pasangan ini memenangkan Pilwali Makassar. Apalagi menjelang bulan Ramadan, pasangan ustaz ini mungkin menjadikan momentum tersebut sebagai ajang mendekati pemilih melalui kegiatan keagamaan.

Hadirnya beberapa tokoh berpengaruh di Sulsel yakni, Syahrul, Yasin Limpo, Ilham Arief Sirajuddin, dan Nurdin Halik yang berada di belakang beberapa kandidat menjadi bukti bahwa pertarungan Pilwali Makassar adalah pertarungan elit politik Sulsel. Hal ini juga semakin menegaskan dominasi raja-raja kecil di daerah semakin menguat. Dengan demikian, Pilwali Makassar hanya menjadi arena memperbesar dan mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya para elit politik.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar