Rabu, 12 Juni 2013

Waspadai Pergerakan Rupiah

Waspadai Pergerakan Rupiah
Leo Herlambang ;   Dosen dan ketua Pusat Studi Keuangan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
JAWA POS, 11 Juni 2013
 
 

MENYIMAK perdagangan saham tiga minggu terakhir, dapat dicatat penurunan IHSG mencapai 7 persen dari kisaran 5.200 ke 4.750. Sebuah angka yang wajar karena IHSG juga naik sangat tajam sebelumnya. Namun, di pasar uang, terjadi keanehan pada transaksi 10 Juni kemarin. Sejak pagi, ada pihak-pihak yang berusaha mengangkat USD atau melemahkan rupiah untuk ditembuskan di atas Rp 10.000 per USD. Rupiah diinformasikan sudah sampai Rp 10.175, terus turun lagi Rp 9.800 per USD. Naik turun yang sangat cepat dengan volatilitas yang tinggi. Range-nya sekitar 3 persen. Itu menunjukkan adanya pertarungan perdagangan rupiah kelas tinggi.

Yang perlu diwaspadai, angka Rp 10.000 per USD itu adalah angka keramat alias angka psikologis. Kalau menembusnya dalam waktu cukup lama, bisa membahayakan perekonomian secara umum. Hal tersebut terkait dengan persepsi. Karena harga adalah persepsi, kalau rupiah melemah, bisa dipersepsikan perekonomian Indonesia melemah. Jadi, senyampang masih potensi, harus secepatnya ditangani sebelum menjadi masalah.

Banyak analisis dilakukan. Di antaranya, pertama, pelemahan rupiah itu terjadi karena pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Di media massa, Menteri Keuangan Chatib Basri juga menyatakan, dengan menaikkan harga BBM, rupiah akan menguat. Namun, sampai kemarin, harga BBM belum naik. Jadi, spekulator ekonomi bisa jadi melakukan aksi jual rupiah.

Memang, memberikan subsidi itu penting, bagi yang tidak mampu khususnya. Bagi yang mampu pun penting. Sebab, dengan subsidi, aktivitas ekonomi bisa bergerak lancar sekaligus menciptakan kelas menengah baru, bahkan kelas atas baru. Masalahnya, yang memberikan subsidi, alias pemerintah, mulai tidak mampu. Alasannya, anggarannya banyak terbuang hanya untuk memberikan subsidi BBM. BBM adalah masalah pelik pemerintah yang dipimpin partai apa pun. BBM lebih menjadi komoditas politik daripada komoditas ekonomi.

Kedua, informasi dan data yang ada menyatakan bahwa cadangan devisa sampai Mei 2013 tersisa USD 105 miliar, turun USD 7 miliar dibanding akhir Desember 2012 yang sekitar USD 112 miliar. Itu menunjukkan bahwa BI telah bertempur luar biasa untuk mempertahankan rupiah.

Ketiga, indikasi kebutuhan USD meningkat karena memasuki Ramadan. Keempat, selama minggu pertama Juni 2013, investasi yang keluar dari pasar modal lebih dari USD 800 juta. Kelima, kebijakan Quantitative Easing AS bisa mengakibatkan aliran dana keluar dari emerging market, termasuk Indonesia. Keenam, neraca pembayaran minus lebih dari USD 6 miliar. Ketujuh, prediksi peta politik 2014.

Kedelapan, adanya rumor forced sell atas transaksi margin, yang mungkin juga pelakunya asing, sehingga mereka keluar dari Indonesia tapi tidak ingin rugi. Jadi, mereka melakukan transaksi forward rupiah di pasar gelap. Tentu masih banyak faktor lainnya.

Jadi, penurunan itu lebih banyak disebabkan faktor eksternal karena mata uang regional turun semua. Faktor internal, pro-kontra BBM menjadi komoditas politik itu menimbulkan ketakutan investor, sehingga mereka menghindar dulu.

Dalam manajemen risiko, dikenal hukum Pareto. Filosof Italia Vilfredo Pareto menyatakan, hanya sekelompok orang yang menguasai sebagian besar kekuasaan dan uang. Ada keyakinan bahwa hampir di semua negara, 20 persen orang atau sekelompok orang menguasai 80 persen uang yang beredar. Itu mirip dengan 20 persen orang atau sekelompok orang secara umum mengontrol 80 persen kekuasaan negara.

Contohnya di pasar modal Indonesia saat ini. Ada 478 total efek yang diperdagangkan, yang mayoritas adalah saham. Namun, 10 saham saja menguasai 40 persen kapitalisasi pasar atau 2 persen menguasai 40 persen. Bisa jadi, bila dihitung, juga hanya 20 persen saham menguasai 80 persen kapitalisasi pasar. Jadi, Pareto bisa menjadi acuan untuk mengukur risiko. Jadi, menaikkan atau menurunkan IHSG bergantung pada siapa pemegang saham emiten yang listed di BEI yang menguasai 80 persen kapitalisasi pasar, yang mungkin hanya sekitar 90 emiten, bahkan kurang.

Di pasar uang, siapa yang mengendalikan? Secara de jure, Bank Indonesia memiliki kewajiban menjaga stabilitas mata uang rupiah di Indonesia. Sayangnya, ada pula pasar mata uang rupiah yang berada di luar Indonesia, yakni di Singapura. Melalui transaksi NDF (non deliverable forward), kita yang di Indonesia menganggap pasar gelap, tetapi fakta itu ditransaksikan oleh perbankan di sana.

Jadi, apakah pasar rupiah bisa dikendalikan? Sulit dikendalikan di saat-saat tertentu, yakni saat-saat kritis. Apalagi, rupiah bukanlah mata uang utama atau hard currency. Poundsterling yang hard currency pun mampu ditumbangkan Soros. Soros-Soros kecil atau besar tetap akan ada, mencari kesempatan pada saat yang tepat, baik direncanakan maupun tidak.

Untuk menyenangkan hati, bisa saja ada jawaban: yang turun nilainya bukan hanya rupiah, tetapi juga mata uang lain seperti peso Filipina, rupee India, dolar Singapura, ringgit Malaysia, dolar Taiwan, dan won Korea. Intinya, USD sedang menguat ke mayoritas mata uang Asia. Jadi, serangan spekulator itu tidak hanya ke rupiah.

Itu benar sebagian. Sebab, pada saat bersamaan, di negara-negara Asia yang mata uangnya juga sedang turun, pasar modalnya naik, sedangkan pasar modal Indonesia justru turun. Ada anomali.

Sebagai pokok risiko, salah satu cara mengendalikan rupiah, Bank Indonesia harus segera berkomunikasi dengan bank sentral kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara, untuk mengendalikan spekulator.

Kedua, pemerintah segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi risiko pelemahan rupiah, baik karena pengaruh eksternal maupun internal. Dan kalau mengikuti hukum Pareto, peganglah 20 persen pemilik dana dan kekuasaan yang diindikasikan menguasai 80 persen dana dan kekuasaan di Indonesia. Itu salah satu cara mengatasi risiko krusial -seperti pergerakan liar rupiah- yang paling efektif.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar