Kamis, 13 Juni 2013

Nasib Rupiah di Tangan BBM

Nasib Rupiah di Tangan BBM
Denni Puspa Purbasari ;   Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
KOMPAS, 13 Juni 2013 
 
 
 
Rupiah gonjang-ganjing. Pada dua pekan lalu, rupiah masih di bawah Rp 9.800 per dollar AS. Selasa (11/6) pekan ini, menurut catatan BI, rupiah mencapai Rp 9.860 per dollar AS. Di pasar non-deliverable forward, rupiah bahkan menyentuh angka psikologis Rp 10.000 per dollar AS. Sejalan dengan itu, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta melorot 3,5 persen dalam perdagangan hari itu saja, dari 4.777 menjadi 4.609.

Secara kumulatif IHSG sudah melorot sebanyak 9,2 persen sejak 16 Mei ketika rupiah belum menyentuh angka Rp 9.800 per dollar AS. Di pasar obligasi tekanan jual juga terjadi. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun dan 20 tahun meningkat sekitar 35 basis poin dalam sehari dan harga obligasi pemerintah jatuh. Penurunan ini disebabkan asing menarik dananya keluar dari Indonesia yang dipicu oleh ketidakpastian perihal kebijakan harga BBM, selain itu juga karena membaiknya rapor ekonomi Amerika Serikat.

Pasar mulai menghukum
Situasi ini sesungguhnya tidak mengejutkan. Penulis (”Bermain Api dengan BBM”, Kompas, 16/2) telah memprediksi yang akan terjadi dengan rupiah bila harga BBM tidak segera dikoreksi. Sikap ”santai” yang ditunjukkan pemerintah dengan mengoper bola BBM ke Senayan jelas membuat pasar tidak nyaman. Meskipun dalam beberapa hal pasar paham politik, pasar sungguh tidak peduli pada hitung-hitungan politik. Pasar hanya melihat angka-angka dan kecenderungan.

Persoalannya, pemerintah tidak merasa harus beradu cepat dengan memburuknya ekspektasi pasar terhadap ekonomi Indonesia. Dan hari ini, pasar menghukum Indonesia. Bagi mereka, Indonesia bukanlah satu-satunya tempat menanamkan modal dan mereka pun mulai menarik dananya keluar dari Indonesia.

Pasar tampaknya merasa sudah cukup memberikan toleransi melihat perkembangan ekonomi Indonesia. Ini bisa dilihat dari pergerakan rupiah ataupun IHSG yang relatif stabil meskipun perusahaan pemeringkat utang Standard and Poor’s (S&P) menurunkan rapor prospek ekonomi Indonesia, disusul oleh ”kosongnya” kursi menteri keuangan selama beberapa saat, serta jebloknya laporan neraca pembayaran Indonesia dan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2013. Pasar panik karena pemerintah tidak kelihatan panik. Sikap tenang pengambil kebijakan membuat pasar bertanya-tanya, apakah pemerintah betul-betul memahami situasi yang terjadi.

Pasar bisa jadi menganggap Pemerintah Indonesia tidak peka dengan ”alarm krisis” yang sudah berbunyi. Angka defisit neraca transaksi berjalan, misalnya, melonjak hampir 70 persen dari 3,1 miliar dollar AS pada kuartal I-2012 menjadi 5,2 miliar dollar AS pada kuartal I-2013. Lebih buruk lagi, angka neraca modal yang semula masih surplus pada kuartal IV-2012—dan menjadi penambal defisit neraca transaksi berjalan—kini sudah berubah menjadi defisit 1,3 miliar dollar AS.

Dengan berubahnya neraca modal menjadi defisit, ini berarti pertahanan keseimbangan eksternal Indonesia sudah jebol, dan satu-satunya sumber penutup defisit neraca transaksi berjalan dan transaksi modal adalah cadangan devisa.

Keseimbangan eksternal
Cadangan devisa Indonesia pada akhir 2012 ditutup sebesar 112,7 miliar dollar AS. Namun, dalam waktu tiga bulan, cadangan devisa kita sudah melorot ke tingkat 104,8 miliar dollar AS. Ini membuat posisi rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa Indonesia naik menjadi 50,6 persen—memburuk dari kuartal sebelumnya, yaitu 48,5 persen.

Artinya, jika terjadi kepanikan di pasar dan seluruh utang luar negeri jangka pendek ditarik oleh investor, cadangan devisa kita akan turun 50,6 persen atau hanya tertinggal sekitar 52 miliar dollar. Dengan jumlah ini kita hanya bisa membiayai impor dan utang luar negeri pemerintah kurang dari tiga bulan. Pemerintah dapat mengatakan apa pun mengenai ekonomi Indonesia, tetapi angka-angka ini tidak bisa berbohong bahwa kondisi keseimbangan eksternal Indonesia memburuk.

Dengan semua kecenderungan ini, cepat atau lambat investor akan mencabut dananya. Bila ini terjadi secara masif dan cepat seperti yang terjadi pada Selasa lalu, ekonomi Indonesia yang telah dibangun secara susah payah sejak 2001 bisa kembali tersungkur. Bagi orang kebanyakan, prediksi ini barangkali dianggap terlalu pesimistis atau mengada-ada. Namun, apa yang terjadi pada seminggu terakhir semestinya lebih dari cukup dari sekadar peringatan.

Dan semua masalah ini bersumber dari BBM. Sejak 2008 harga BBM tidak dinaikkan meskipun harga minyak mentah mengalami lonjakan. Harga BBM murah ikut menyumbang pada membengkaknya konsumsi BBM nasional, yang sebagian besar dipenuhi dari impor. Akibatnya, pada kuartal I-2013 kita mengimpor minyak 10,8 miliar dollar AS (naik dari 9,9 miliar dollar AS pada kuartal I-2012) dan menciptakan defisit neraca minyak sebesar 6,5 miliar dollar AS.

Investor semakin galau ketika beberapa partai politik/politisi justru menggunakan isu BBM sebagai panggung untuk kepentingan elektoral. Para politisi ini yakin APBN tidak akan jebol bila harga BBM tidak dinaikkan. Mereka berpegang pada argumen bahwa kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat karena harga-harga akan menyusul naik. Kenyataannya, kebijakan subsidi BBM itu sendiri secara inheren keliru dan perlu dikoreksi. Jadi, persoalannya bukan lagi hanya soal cukup atau tidaknya uang pemerintah untuk membayar subsidi. Selain itu, memang tidak ada alternatif solusi lain yang dapat mengatasi krisis APBN ini dengan cepat dan tuntas kecuali menaikkan harga BBM.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar