Senin, 10 Juni 2013

Membangun Keadaban Isra Mikraj

Membangun Keadaban Isra Mikraj
Masduri ;    Peneliti di Jurusan Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin,
Pustakawan Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya
MEDIA INDONESIA, 07 Juni 2013
 
 
ISRA Mikraj menjadi tonggak sejarah peradaban Islam. Karena pada saat itulah Nabi Muhammad menerima perintah salat lima waktu secara langsung dari Allah SWT. Salat menjadi sangat istimewa sebagai satu-satunya ibadah yang perintahnya disampaikan secara langsung oleh Allah. Berbeda dengan perintah zakat, puasa, dan haji, yang perintahnya melalui perantara Malaikat Jibril.

Sebagai ibadah istimewa, salat memiliki banyak sekali nilai-nilai filosofis yang bisa kita ambil hikmahnya. Salat menjadi media untuk mencapai kesalehan spiritual-sosial dalam berhubungan dengan Allah dan sesama. Salat juga menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan tatanan masyarakat yang egaliter, beradab, santun, berkeadilan, dan penuh kedamaian.

Salat yang khusyuk seperti digambarkan Allah dalam ayat suci Alquran surah AlAnkabut ayat 45, yaitu dapat mencegah perbuatan yang keji dan mungkar sehingga tercipta kehidupan harmonis dan penuh kedamaian. Menurut Seyyed Hossein Nasr, salat adalah mikrajnya orang-orang Islam. Pengalaman rohani yang dialami Nabi saat Mikraj mencerminkan hakikat spiritual dari salat yang dilakukan umat Islam sehari-hari. Mikraj dalam salat, jika dihayati secara mendalam, akan melahirkan manusia yang cerdas spiritual-sosial.

Sebab, serangkaian ibadah dalam salat menandai ketertundukan hamba kepada sang Khalik, serta sikap untuk menghadirkan kemanfaatan bagi sesama. Tuhan menekankan kasih sayang menjadi spirit tingkah laku keseharian umat Islam. Salat mengajarkan nilai-nilai kasih sayang, keegaliteran, keadaban, kesantunan, keadilan, kedamaian, dan segenap perbuatan ideal lainnya.

Maka sejatinya, memperingati Isra Mikraj nabi berarti kita sedang memperingat proses pemberian perintah salat dari Allah kepada Nabi Muhammad. Sudah barang tentu, salat menjadi penyangga tegaknya keadaban umat Islam. Dalam hadisnya, Nabi menggambarkan salat sebagai tiang agama (imaduddin). Tiang adalah imajinasi penyang si penyangga yang kokoh bagi suatu bangunan. Begitu pula dengan salat menjadi penyangga tegaknya Islam sebagai agama rahmatallil `alamin, yang mestinya dijalankan di muka bumi untuk menebar cinta dan kasih sayang.

Tingkah laku keji dan mungkar yang ditunjukkan umat Islam menandakan salat yang selama ini mereka lakukan belum memberikan sinergi laku ibadah antara spiritualitas dan sosial. Sebab, Alquran sudah memaparkan salat yang khusyuk mampu membuat manusia jauh dari perbuatan destruktif.

Ajaran pokok
Alexis Carrel, seorang ilmuan kelahiran Prancis, pernah mengatakan pengabdian, salat, dan doa yang tulus kepada sang Maha Pencipta dising kirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat. Hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut. Pernyataan Carrel mempertegas laku spiritualitas yang sebenarnya mendorong manusia agar berbuat baik dan mencegah keburukan (amar ma'ruf nahi mungkar). Pernyataan ini sudah 15 abad yang lalu menjadi bagian dari ajaran pokok Islam. Sebab, salat merupakan laku spiritual yang menghadapkan seorang hamba dalam Mikraj dengan Tuhannya.

Oleh karena itu, salat menjadi laku ibadah spiritual-sosial, penting kiranya momentum peringatan Isra Mikraj dilakukan bukan sekadar melihat kemahabesaran Allah SWT. Lebih dari itu, kita harus mampu membaca peristiwa ini sebagai perjalanan suci yang mengantarkan Islam menuju keadabannya sehingga peristiwa peringatan Isra Mikraj menjadi titik balik kebangkitan umat Islam.

John Renerd dalam In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience menyebut Isra Mikraj sebagai salah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Nabi selain perjalanan hijrah dan haji wadak. Isra Mikraj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan spiritual yang kemudian membawa perintah salat ke muka bumi sebagai kewajiban bagi umat Islam.

Ibadah salat tentu tidak cukup hanya menjadi laku spiritual. Salat harus hadir dalam ma syarakat modern yang hari ini kekeringan spiritualitas sebagai laku sosial yang kehadirannya menggerakkan keadaban suatu masyarakat. Salat itu tidak cukup hanya dengan melakukan gerakan takbiratul ihram hingga salam.

Salat, seperti bahasa Seyyed Hossein Nasr, adalah mikraj umat Islam yang harusnya enghadirkan kesadaran menghadirkan kesadaran eksistensial sebagai khalifah fil ard, yang memiliki tanggung jawab sosial membangun keadaban dunia. Aris toteles menyebut manusia sebagai zoon politicon, tidak lain sebagai gambaran bahwa manusia sejatinya tidak bisa hidup sendiri. Manusia butuh orang lain agar keadaban dunia terba ngun. Berbuat destruktif sebagai antitesis dari salat adalah jalan yang akan menjauhkan kita dari orang lain sehingga menyulitkan terbangunnya tatanan masyarakat yang berkeadaban.

Eksistensi diri
Manusia dengan kemampuan berpikirnya, menurut Descartes, akan mengantarkan dirinya pada kesadaran eksistensial yang utuh sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. Cogito ergo sum, `aku berpikir maka aku ada', merupakan ikhtiar menemukan makna hidup yang sejati. Ketika manusia cogito, aku berpikir, ia akan menemukan eksistensi dirinya secara utuh. Bahkan bukan hanya dirinya sendiri yang ditemukan, tetapi juga orang lain akan hadir dalam diri mereka ketika melakukan cogito. Kesadaran akan diri sendiri dan juga orang lain kemudian disebut filsuf eksistensialisme, Jean-Paul Sartre, sebagai humanisme. Bahwa manusia bukan hanya memiliki tanggung jawab atas individualitasnya sendiri, melainkan bertanggung jawab atas semua umat manusia.

Nilai-nilai spiritual salat sebagai gado dalam perjalanan Isra Mikraj Nabi, perlu kembali diteguhkan umat Islam. Karena itu, ibadah agung ini tidak sekadar melahirkan capek yang berkepanjangan karena umat Islam terjebak pada ritualitas-formalis, dan mengabaikan makna spiritualitas-sosial, yang sejatinya menjadi spirit setiap ibadah dalam Islam.

Sebab itulah, Hassan Hanafi selalu mewanti-wanti agar umat Islam lebih dewasa dalam menjalankan aktivitas ibadah. Sehingga setiap ajaran Tuhan yang melangit, benar-benar membumi dan mampu menjawab setiap persoalan dan tantangan umat Islam yang kita hadapi saat ini. Semoga peringatan Isra Mikraj benar-benar membawa perubahan besar menuju keadaban masyarakat!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar