Selasa, 11 Juni 2013

Sandra Politik Koalisi Semu


Gun Gun Heryanto ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MEDIA INDONESIA, 10 Juni 2013
 
 



MANUVER Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak rencana penaikan harga BBM kembali menghadirkan polemik seputar efektivitas koalisi pemerintahan yang dinakhodai SBY. Untuk kesekian kalinya, publik memaknai SBY `tersandera' oleh koalisi semu yang selalu dipertahankan olehnya atas nama politik harmoni dan perimbangan peta kekuatan nyata di DPR. Indikatornya mitra koalisi yang jelas-jelas berseberangan dengan SBY dan kebijakan strategis pemerintahannya pun dibiarkan melenggang menjalankan modus permainan politik mereka. Menarik mencermati apa sesungguhnya masalah mendasar dalam pola koalisi penyokong kekuasaan SBY tersebut.

Manuver PKS
Banjir spanduk di jalanan serta komentar elite PKS di berbagai media menunjukkan adanya keberanian dan kenekatan PKS untuk vis-a-vis dengan mitra utama mereka, yakni SBY dan Partai Demokrat. Benarkah PKS konsisten menolak penaikan harga BBM ataukah mereka sedang melakukan simulasi realitas sekaligus manipulasi psikologis khalayak dalam konteks manajemen isu dan manajemen konflik? Dalam waktu dekat, publik akan mengetahui sikap resmi PKS atas rencana penaikan harga BBM tersebut. Jadi, kita bisa mengevaluasi konsisten-tidaknya PKS atas pilihan dan sikap politik mereka.

Posisi PKS memang sangat dilematis bagi SBY. Jika dikeluarkan, PKS berpotensi menjadi masalah baru, tetapi jikapun dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi kohesivitas mitra koalisi. Segala kemungkinan masih bisa terjadi dan sangat bergantung pada berbagai kalkulasi politik SBY di fase akhir kekuasaannya. SBY punya obsesi melakukan soft-landing di 2014. Dia tak ingin adanya turbulensi yang bisa mengancam keselamatan diri dan reputasi politik yang sudah dibangunnya selama ini.

PKS menyadari benar bahwa mereka memiliki posisi penting dalam skema perimbangan kekuasaan ala SBY. Meski Golkar dan PKS sama-sama dalam kekuasaan, keduanya kerapkali memiliki agenda politik sendiri-sendiri. SBY sadar benar, modal 423 kursi atau 75,54% kekuatan mitra koalisi di DPR itu hanyalah bersifat semu, dan bukan kekuatan loyalis. Golkar yang menguasai 106 kursi (18,93%) dan PKS 57 kursi (10,18%) merupakan kursi-kursi panas yang setiap saat bisa saja berubah dukungan. Jadi, tarik ulur dalam pengendalian kedua partai itu menjadi penting bagi SBY.

Jika dalam kasus penaikan harga BBM Golkar satu hati dengan Demokrat, di lain saat bisa saja Golkar berseberangan sehingga posisi PKS menjadi strategis untuk perimbangan kekuatan, mirip sais kuda yang bisa ditarik dan diulur sesuai dengan kebutuhan kusirnya. Mitra loyalis seperti PAN yang memiliki 46 kursi (8,21%), PPP 38 kursi (6,79%), dan PKB 28 kursi (5%) tidak cukup kuat sebagai basis dukungan bagi Demokrat. Hal itu pernah terjadi saat kasus Century yang berakhir dengan opsi C di Rapat Paripurna DPR.

Golkar dan PKS saat itu berbeda dengan Demokrat dan fakta politiknya sangat merepotkan posisi politik SBY. Jika PKS ditendang dari kekuasaan, sudah pasti posisi daya tawar Golkar akan sangat kuat karena setiap saat bisa saja Golkar menginisiasi permainan yang mereka inginkan. Penaikan harga BBM belum menjadi `lembar penutup' dari eksistensi pemerintahan SBY. Masih ada kasus Century, Hambalang, dan sejumlah kebijakan strategis milik pemerintah yang membutuhkan dukungan DPR di fase akhir kepemimpinan SBY.

Dia tentu saja tak ingin memiliki ketergantungan kuat pada Golkar sehingga dibutuhkan partai penyeimbang dalam koalisi dan pilihannya ada di PKS, meski sikap PKS juga kerap menjadi buah simalakama.
Hal lain yang dikalkulasi SBY ialah kapitalisasi isu jika PKS ditendang dari koalisi. PKS menyadari jika dikeluarkan, mereka bisa membangun pencitraan sebagai pihak yang dizalimi karena perjuangan mereka menolak penaikan harga BBM. Artinya, PKS pasti akan mengidentifikasi diri mereka sebagai simbol perlawanan terhadap rezim SBY. Dengan demikian, PKS mungkin akan tetap bertahan di koalisi hingga
diturunkannya `talak tiga' oleh SBY. Jika PKS secara sukarela keluar dari koalisi, tentu opini akan landai dan mereka tak bisa mengail publisitas politik di tengah isu strategis tersebut.

Kekeliruan mendasar
Sedari awal, kekuasaan SBY memang dibangun dengan modal investasi politik dari sekelompok partai berpola oligarki. Meski mengantongi 60,85% suara pemilih, SBY tetaplah presiden yang tersandera oleh politik representasi.

Meski hak prerogatif berada dalam genggaman SBY, sesungguhnya kekuasaan dipertukarkan dalam skema politik harmoni berbasis kepentingan partai. Sejumlah kasus hukum dan pengambilan kebijakan menjadi penanda nyata, bahwa tiap pihak yang menjadi investor politik dalam kekuasaan KIB II bukan fokus pada optimalisasi peran menyukseskan pemerintahan, melainkan pada tawar-menawar posisi dalam kekuasaan.

Sejak KIB II bergulir 22 Oktober 2009, sudah diprediksi laju pemerintahan SBY tak akan lebih baik daripada periode pertamanya. Bukan karena kurangnya modal politik SBY, melainkan lebih pada distribusi dan alokasi kekuasaan yang tak mendukung efektivitas kinerja. Mitra koalisi setengah hati yang merasa berjasa dan menjadi investor politik justru menjadi pangkal utama persoalan. Relasi kuasa SBY dengan para mitra koalisi berjalan liar, keras, menyandera performa, sekaligus menggerus produktivitas pemerintahan.

Ada dua problem mendasar dalam koalisi saat ini. Pertama ialah cacat bawaan konsep koalisi dalam sistem presidensial. Dinamika multipartai ekstrem di Indonesia hingga sekarang masih menyisakan problem pada penguatan dan pelembagaan politik, terutama dalam mendukung efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan dalam sistem presidensial. Idealnya, dalam presidensialisme basis legitimasi presiden bersumber dari rakyat, bukan dari parlemen. Presiden diberi hak prerogatif dalam membentuk kabinet sebagai konsekuensi presiden sebagai pemimpin tertinggi eksekutif. Namun, praktiknya berbeda 180 derajat.

Siapa pun presiden di Indonesia akan mengalami situasi pelik, mengakomodasi kekuasaan DPR dan kerap secara terpaksa berada dalam `labirin' kekuasaan. Cara yang dianggap paling praktis untuk mempertahankan kekuasaan ialah membangun koalisi besar di DPR, dan melupakan idealitas pembentukan zakenkabinet karena dianggap utopia. Formula koalisi untuk efektivitas kekuasaan pun kerap mendapatkan fakta berbeda karena justru koalisi menjadi beban bahkan sandera politik yang efektif.

Masalah kedua ialah leadership SBY. Di berbagai momentum politik, SBY terbiasa mengedepankan soft-strategy, politik harmoni, dan meminimalkan ketidakpastian (uncertainty) serta ketidaknyamanan (anxiety). Daya adaptasi SBY terhadap keberbedaan melahirkan permakluman politik atas beragam sikap oposisional mitra koalisinya. Presiden kerap tersandera untuk menyelaraskan basis dukungan para mitra. Terlebih, jika mitra koalisi memiliki kartu truf yang bisa dibuka dan ditutup sesuai dengan momentumnya untuk bargaining position atas celah-celah kelemahan masing-masing. Mitra koalisi disibukkan beragam strategi saling mengunci tiap pihak agar kepentingan politik mereka aman dan tidak disentuh. Jikapun tetap disentuh, akan dibarter dengan kasus atau momentum tekanan lain.

Jika melihat benang merah sikap SBY, rasanya PKS masih akan tetap aman. SBY itu tipikal penguasa yang menginginkan adanya kohesivitas politik. Hal itu menyebabkan kuatnya batasan afiliatif. Menurut Dennis Gouron dalam The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constratins (1998), batasan afiliatif berarti bahwa seseorang memilih menahan diri daripada mengambil risiko. Keengganan mengambil risiko itu menyebabkan SBY lebih memilih opsi memberi pemakluman-pemakluman. Jika SBY kembali memilih jalan tak berisiko, mungkin posisi PKS akan aman tetap berada dalam kekuasaan.

Demokrasi kolusif
Pola koalisi seperti yang dipraktikkan sekarang sesungguhnya hanya akan meneguhkan praktik demokrasi kolusif. Majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, dalam laporan yang berjudul SBY's Feet of Clay, mengutip Ash Center for Democratic Governance and Innovation dari Harvard Kennedy School telah memopulerkan kembali terminologi dan praktik demokrasi kolusif di Indonesia.

Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik yang lebih memilih `koopsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Penanda nyata demokrasi kolusif tampak dalam akomodasi politik di kabinet sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir tiada parpol oposisi yang efektif di parlemen dan terjadi hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hubungan promiscuous itu memiliki residu, yakni aliansi politik yang tidak pernah mapan.

Parpol-parpol yang tergabung dalam koalisi sangat mudah berubah arah. Jadi, kita kerap mendapatkan perilaku parpol pendukung pemerintah bercita rasa oposisi. Hal lain yang sangat krusial dalam aliansi parpol ialah akar konsolidasi yang sangat rapuh. Koalisi dibangun semata-mata karena pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan ideologis serta kerap mengingkari konstituen mereka. Hasilnya pemerintah yang terbentuk tak lagi leluasa menciptakan prestasi karena akan disibukkan berbagai pilihan strategi kolaborasi, akomodasi, atau kompromi dengan kekuatan-kekuatan lain. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah persoalan dan kelemahan lawan sehingga orientasi tindakan politik akan bertemu dalam misi penyelamatan kepentingan masing-masing.

Terlepas dari substansi tepat-tidaknya penaikan harga BBM, publik saat ini sedang mengamati konsistensi sikap para elite politik di partai maupun di birokrasi pemerintahan. Jika SBY dan PKS sudah tak lagi nyaman dalam perahu yang sama, seharusnya ada ketegasan dari kedua pihak untuk berpisah secara baik-baik. Selain itu, koalisi ke depan harusnya dipolakan sebagai koalisi substantif berdasarkan kesamaan garis perjuangan partai, bukan mekanisme abal-abal yang saling menyandera dan merugikan rakyat banyak!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar