Kamis, 13 Juni 2013

Polemik Alih Daya

Polemik Alih Daya
Hilmy Konstantinus Deo Amal ;   Pekerja Outsorcing BUMN
SUARA KARYA, 12 Juni 2013
 
 




Terminologi alih daya (outsourcing) sebenarnya tidak pernah secara gamblang disebutkan dalam regulasi ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Banyak kalangan menilai dan berpendapat bahwa UU No 13 Tahun 2003 dan Kepmen No 220/Men/X/2004 menjadi titik tolak basis regulasi praktik alih daya di Indonesia. Sejak saat itu, praktik alih daya menjadi trend baru korporasi di Tanah Air. Baik instansi pemerintah, korporasi swasta, hingga BUMN berlomba-lomba meningkatkan produktivitas dan efisiensi dengan menggunakan jasa tenaga alih daya (outsourcing).

Pada awalnya tenaga alih daya diperuntukkan bagi pekerjaan-pekerjaan penunjang (non core job), namun dalam perjalanannya tenaga alih daya juga digunakan pada kegiatan inti perusahaan (produksi).

Pada instansi pemerintah tenaga alih daya biasa disebut pegawai honorer, pada perusahaan multi nasional (MNC) kerap menggunakan terminologi kontraktor. Namun, pada prinsipnya sama, baik honorer, kontraktor, maupun tenaga alih daya (outsourcing). Mereka adalah pekerja yang pada intinya mengandung pengertian sama, yaitu pekerja yang dipekerjakan dengan kontrak kerja dalam waktu tertentu. Regulasi terbaru tentang alih daya ialah Permenakertrans (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) No 19 Tahun 2012 yang mengatur mengenai jenis pekerjaan yang boleh menggunakan jasa outsourcing (alih daya) dan jenis pola hubungan kerja. Berdasarkan regulasi ini, terdapat lima jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga alih daya meliputi: jasa keamanan, jasa transportasi, jasa katering, jasa pembersihan, serta jasa migas dan pertambangan. Dari segi substansi sebenarnya aturan baru mengenai alih daya ini tidak membawa perubahan signifikan dan substansial dari pangkal persoalan tenaga alih daya, yaitu kesejahteran tenaga kerja.

Beberapa waktu lalu, di depan kantor Kementerian BUMN, Serikat Pekerja 'Outsourcing' BUMN yang menamankan diri Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi demonstrasi besar-besaran dengan mengerahkan sekitar 15 ribu orang. Aksi tersebut menuntut dua hal penting.

Pertama, masalah pendapatan atau upah tenaga outsourcing di BUMN saat ini, yang dinilai terjadi gap yang sangat jauh dibandingkan dengan karyawaan tetap (permanent employee). Padahal, di lapangan beban kerja dan tanggung jawab karyawan outsourcing kadangkala sama atau bahkan melebihi dari pegawai tetap. Tentu, hal ini menimbukan kecemburuan dan kegelisahaan di antara para karyawan outsourcing.

Kesenjangan pendapatan mengakibatkan pemenuhan hak-hak tenaga alih daya terhadap pendidikan, kesehatan dan hak-hak dasar lainnya menjadi sangat terbatas. Kedua, jenjang karier para tenaga outsourcing di banyak BUMN juga sering tidak ada kejelasan, karena tidak adanya sistem promosi bagi para tenaga outsourcing untuk menjadi karyawaan tetap (permanent employee). Tentu, tak seorang pun ingin menjadi karyawan outsourcing sepanjang hidupnya. Di banyak BUMN dapat kita jumpai banyak karyawan outsourcing dengan masa kerja sudah tahunan dan bahkan puluhan tahun, namum tak kunjung diangkat menjadi karyawan tetap.

Kedua soal utama ini oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan juga diamini dan akhirnya masalah ini dibawanya ke Senayan dalam kesempatan bersidang dengan anggota DPR. Tujuan Menteri Dahlan Iskan tentu agar terbit regulasi baru dari dewan soal polemik outsourcing BUMN.

Tidak Adil

Pancasila adalah salah satu pilar penting dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila juga menjadi norma dasar (ground norm) yang mengatur segala tindak-tanduk kita sebagai manusia Indonesia. Bila kita renungkan secara lebih mendalam, Pancasila dan praktik alih daya sesungguhnya sangat berjarak dan bisa dikatakan saling menjauh.

Sila kelima Pancasila mengamanatkan kita semua untuk senantiasa mengusahaan 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'. Tanpa memandang apakah dia pegawai tetap atau tenaga alih daya, mamun jika ia tercatat sebagai warga Indonesia wajib memperoleh keadian sosial (kesejahteraan). Praktik alih daya memang tidak memiliki argumentasi logis yang cukup kuat untuk dihapuskan karena praktik alih daya telah menjadi kebiasaan internasional yang dipraktikkan oleh perusahaan-perusahaan internasioal di seluruh dunia. Tetapi, kiranya upaya korektif yang substansial perlu terus-menerus diupayakan para pemangku kepentingan demi keadilan sosial rakyat Indonesia.

Praktik MNC
Di sejumlah perusahaan multi nasional (MNC) pun, pihak manajemen banyak menggunakan jasa tenaga alih daya. Mereka pada umumnya disebut sebagai kontraktor (contractor), baik yang masuk melalui pihak ketiga (vendor) ataupun masuk secara mandiri (independent contractor).

Ada dua perbedaan mendasar antara praktik alih daya pada MNC dan BUMN/instansi pemerintah lainnya.
Pertama, tenaga alih daya pada MNC memiliki penghasilan yang layak untuk memenuhi hak-hak dasarnya dan gap penghasilan antara tenaga alih daya/kontraktor dan karyawan tetap (permanent employee) tidaklah terlampau jauh. Dengan demikian kesenjangan sosial di MNC tidaklah terlalu mencolok.

Kedua, pada MNC kinerja (performance) para tenaga alih daya dimonitor secara berkala oleh perusahaan. Sehingga, tenaga alih daya yang punya track record performa yang dinilai baik oleh perusahaan, dapat dipromosikan untuk menjadi karyawaan tetap. Model pengelolaan alih daya pada MNC dapat dikatakan cukup baik dan harusnya bisa menjadi pelajaran penting bagi BUMN dan perusahaan swasta lainnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar