Kamis, 13 Juni 2013

Masih Perlukah Berwisata ke Bali ?

Masih Perlukah Berwisata ke Bali ?
Wayan Windia ;   Wartawan dan Wakil Ketua PWI Bali
SINAR HARAPAN, 12 Juni 2013 
 
 
 
 
Pulau Bali sudah mulai dikenal sejak awal abad ke-20, berkat buku karya Miguel Cavarubias, yang terbit pada 1937. Judulnya, The Island of Bali. Duo-sejoli, Covarubias dan Walter Spies (pelukis), berjasa besar dalam pengembangan pariwisata di Bali.

Mereka telah membangun image Bali yang spesifik dan mampu mengundang minat wisatawan untuk berkunjung. Atas jasa-jasanya, kemudian Bali dikenal dengan puja-puji sebagai the island of God, the thousand of tamples, the last paradise of the world, visit Bali before you are die, dan lain-lain.

Gelombang wisatawan mulai bertubi-tubi, sejak awal l970-an, yang diawali dengan beroperasinya Hotel Bali Beach di Sanur. Sejak saat itu, kedatangan investor dan wisatawan ke Bali sudah sangat sulit dikendalikan. Nilai investasi dan jumlah kedatangan wisatawan ke Bali bahkan dijadikan ukuran sukses-tidaknya sebuah pemerintahan.

Apa yang kini terjadi di Bali? Banyak kegelisahan sosial, sebagai dampak dari kapitalisme pengembangan kepariwisataan di Bali. Ketua Bali Tourism Board (BTB), Ida Bagus Wijaya menyatakan, perkembangan pariwisata di Bali akhir-akhir ini telah menjadi pariwisata yang kapitalistis.

Wisatawan yang datang ke Bali memang masih meningkat, namun para wisatawan itu cenderung dikuasai kapitalis. Sementara itu, peneliti di FE Unud, Prof Suyana Utama, membenarkan jumlah wisatawan ke Bali masih meningkat. Namun, persentase peningkatannya mulai menurun.

Dalam bahasa ekonomi disebut dengan deminishing return. Sementara itu, lama-tinggal wisatawan di Bali sudah jauh menurun. Sepuluh tahun lalu, lama tinggal wisatawan di Bali rata-rata dua minggu. Namun, saat ini lama tinggalnya hanya 2-3 hari.

Gejala yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa wisatawan memang mulai enggan datang ke Bali. Mulai banyak keluhan wisatawan, yang menyatakan Bali sudah mulai banyak berubah. Hal itu memang sebuah kenyataan.

Pemandangan sawah sudah mulai langka, gedung-gedung tinggi mulai bertebaran, gedung yang memakai arsitektur Bali mulai lenyap, macet total sudah mulai sering terjadi, kejahatan (pembunuhan, perampokan, pencurian) yang menimpa turis sudah semakin sering terjadi, HIV/AIDS merajalela, intrusi air laut sudah meleleh ke mana-mana, sempadan pantai sudah mulai banyak dijarah, sempadan sungai dan jurang juga dijarah, dan berbagai ketidaknikmatan lainnya mulai bermunculan.

Semua hal ini terjadi karena daya dukung Bali sudah melampaui ambang batas. Tim Sceto Prancis sudah sejak lama (l985) menyatakan bahwa Bali hanya perlu 24.000 kamar hotel internasional.

Namun, saat ini jumlah hotel bertaraf internasional di Bali sudah mencapai 80.000 kamar. Bahkan, kini pembangunan hotel (city hotel) semakin merajalela. Tampak tidak ada usaha pengaturan dari pemda, misalnya mengadakan moratorium. Hal ini mungkin karena pemda masih silau dengan besaran PAD, APBD, dan PDRB.

Pariwisata-kapitalis menyebabkan usaha-usaha kecil mati. Banyak toko kesenian, pasar seni, dan seniman kecil di kampung, dan lain-lain yang mati suri, karena dikalahkan pasar oleh-oleh kaum kapitalis. Secara makro, hal ini juga dibuktikan dengan semakin timpangnya pendapatan masyarakat di Bali. Ketimpangan pendapatan penduduk adalah salah satu ciri dari penerapan konsep kapitalisme.

Sementara itu, pemerintah semakin tergila-gila untuk melayani kaum kapitalis dengan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kepentingan pariwisata. Pembangunan jalan dan lain-lain telah memaksa nilai sawah semakin tinggi.

Kemudian nilai pajak (PBB) semakin meninggi, dan akhirnya petani tidak bisa membayar pajak, karena pendapatannya yang menurun atau stagnan. Terpaksa petani harus menjual lahan sawahnya karena tidak tahan terhadap intervensi pemerintah dan investor. Kondisi lahan sawah yang semakin menyusut, menyebabkan wajah Bali semakin bopeng, subak semakin hilang, dan budaya Bali semakin pudar.

Dengan kondisi seperti itu, apakah masih relevan untuk berkunjung dan berwisata ke Bali? Kalau masih mengasihani Bali, tampaknya Anda tidak perlu datang ke Bali, agar Bali tidak semakin rusak dan terjerembab. Silakan datang berwisata ke Makassar (Sulawesi), Lombok, Sumbawa, dan Flores.

Di pulau-pulau itu pasti masih lebih asri dan orisinal. Kedatangan wisatawan ke pulau-pulau itu (beyond Bali), akan lebih mendorong pemerataan pembangunan dan pemerataan pendapatan di Indonesia. Untuk itu modal yang akan digunakan untuk rencana pembangunan bandara di Bali Utara (Buleleng), sebaiknya dialihkan ke Flores.

Di sana masih ada objek wisata Danau Tiga Warna, Pulau Komodo, musim memburu paus, budaya sosial dengan latar belakang agama Katolik, rumah bekas tahanan Bung Karno, dan lain-lain.

Pemerataan pembangunan di Indonesia sangat penting, untuk mencegah kasus-kasus pemberontakan separatis yang pernah terjadi di awal kemerdekaan, dan masih terjadi hingga kini. Sudah banyak wacana yang ngiri terhadap pembangunan yang berlebihan di Jawa dan Bali.

Kalau pembangunan lebih difokuskan ke luar Jawa dan Bali, migrasi ke Bali akan sangat berkurang. Mantan Gubernur Bali Ida Bagus Oka mengatakan migrasi yang datang ke Bali adalah embrio dari kejahatan yang terjadi di Bali. Untuk itu, mari kita setop pembangunan fisik di Bali yang lebih menguntungkan kaum kapitalis, dan kemudian setop/kendalikan kedatangan kaum wisatawan ke Bali.

Wisatawan ke Bali perlu fokus hanya pada wisatawan yang mencintai kebudayaan. Tidak perlu banyak, namun lama-tinggalnya harus panjang, tinggal di pedesaan, dan menguntungkan pendapatan masyarakat desa. Tampaknya hanya dengan cara ini, eksistensi di Bali akan berlanjut.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar