Kamis, 13 Juni 2013

Tsunami Minimarket

   Tsunami Minimarket
  Ishak Salim;   Staf Pengajar Studi Ilmu Politik,
 Universitas Tekhnologi Sulawesi
Tribun Timur, 13 Juni 2013
 

 

AWAL April 2013, tercatat sudah 260 gerai Alfamart berdiri di kota Makassar. Ini tentu bilangan yang masih tergolong kecil begi pengusaha minimarket sekelas Joko Susanto, pemiliknya yang tinggal di Depok.

Namun di Makassar, bukan hanya gerai ini beroperasi. Salah satu pesaingnya yang mengekor dengan selisih jumlah yang tak begitu besar adalah Indomaret. Di mana ada Alfamart disitu berdiri Indomaret. Bahkan terkadang bukan hanya dua gerai ini yang mulai kerap berdiri di permukiman penduduk. Masih ada gerai lain semisal Alfa express, CircleK, dan gerai sekelas supermarket seperti Alfamidi, Giant, Indomode, dan lain-lain. Jumlah total gerai minimarket bisa mencapai lebih 500 gerai ditambah puluhan pasar modern lainnya.

Ekspansi pasar modern skala mini ini baru berlangsung kurang lebih dua tahun terakhir. Jumlahnya semakin membuncah lalu menyerupai bencana Tsunami. Menurut seorang pedagang di Pasar Lokal, “merebaknya minimarket di Makassar seperti tsunami, pedagang kecil seperti saya tak bisa berbuat apa-apa mengatasi dampaknya.

Kerisauan warga memang sudah terlihat. Pada 6 Januari 2012, puluhan pedagang pasar tradisional Parangtambung di Makassar menyegel sebuah Indomaret yang berjarak 50 meter dari lokasi mereka. Aksi mereka bukan sekedar ketakutan akan hadirnya gerai tersebut, namun juga berkaitan dengan rencana pemerintah memberi izin bagi pendirian enam gerai toko modern lainnya.

Sebelumnya, 2 Desember 2011, 9 perwakilan warga BTN Hartaco Indah mendatangi komisi I DPRD Kota Makassar. Agenda mereka adalah menyampaikan protes 300 warga dan pedagang Pasar Parangtambung. Menurut mereka, pemerintah kota Makassar belum mengeluarkan izin, tak ada lahan parkir dan berpotensi besar mematikan pedagang kecil di sekitar itu.

Aksi protes pedagang sebelumnya juga terjadi. Juni 2011, 37 pedagang kecil Manuruki berkumpul. Mereka saling menyampaikan keresahan atas beroperasinya dua minimarket—Alfamart dan Indo Maret—di lingkungan permukiman mereka, Kelurahan Parangtambung dan Kelurahan Manuruki, Kecamatan Tamalate. Sejak minimarket ini beroperasi, mereka kehilangan satu persatu pelanggan. Hari demi hari omzet penjualan pelaku usaha gadde-gadde atau pa’gadde-gadde pun berkurang. Akibatnya, upaya pemenuhan kebutuhan rumah tangga mereka mulai terasa sulitnya.

Di tengah keresahannya, mereka lalu bersepakat menulis surat keberatan kepada Walikota Makassar. Sayangnya, hingga kini keberatan mereka tak memperoleh respon memuaskan dari para pengambl kebijakan di Makassar.

Dampak Buruk

DAMPAK buruk bagi usaha mereka ini hadir dalam bentuk yang beragam. Beberapa menyebutkan bahwa terjadi perubahan pola belanja. Kalangan muda kini lebih memilih belanja di Alfamart atau Indomaret dengan alasan kenyamanan dan kemudahan akses belanja. Harga yang lebih murah juga menjadi alasan perpindahan tempat berbelanja. Bahkan beberapa produk seperti susu formula, minyak goreng kemasan, minuman bervitamin, yang sebelumnya dijual di gadde-gadde tidak tampak lagi. Menurut mereka, tak ada lagi pembelinya. Jadi, ketimbang berisiko tak laku akhirnya mereka memilih tak menjualnya lagi.

Dalam kenyataannya, di pasar-pasar moderen, baik sekelas mini, super, maupun hypermarket, seringkali produk seperti ini dipromosikan secara berlebihan dengan berbagai tawaran diskon yang tinggi. Dalam strategi bisnis, praktek seperti ini disebut predatory pricing atau mengambil resiko merugi beberapa waktu untuk membunuh pesaing yang bermodal kecil. Akibatnya, karena lebih murah dan lebih nyaman, pembeli lebih senang membelinya di pasar moderen ketimbang di gadde-gadde.

Praktek seperti ini kemudian mempengaruhi berubahnya market share, dimana sebelumnya omzet penjualan gadde-gadde tinggi, namun terus menerus menurun dan peralihannya menuju minimarket moderen seperti Alfamart, Indomart, dan Alfa Midi.

Dalam keadaan demikian, berdasarkan hasil survei AcSI, harapan pedagang kecil masih bertumpu kepada pemerintah kota. Mayoritas (86%) menuntut agar pemerintah bersegera membatasi pendirian minimarket moderen dan mengatur zonasinya. Bahkan, seorang responden dengan tegas menyatakan agar pemerintah membongkar paksa minimarket yang disinyalir tak memeroleh izin pendirian. Pandangan ini muncul mengingat adanya kemudahan dari pihak-pihak terkait dalam meloloskan izin pendirian kepada pemilik usaha ritel moderen tanpa mempertimbangkan dokumen analisa sosial ekonomi kemasyarakatan di daerah setempat.
Mengatasi Minimarket Di Makassar, regulasi bagi minimarket diatur dalam Peraturan Daerah no 15/2009 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern, yang mengacu pada Peraturan Presiden no 112/2007 dan Permendag nomor 53/2008. Untuk itu, salah satu upaya mendukung usaha mikro dan kecil di Makassar adalah melalui tindakan advokasi kebijakan.

Upaya ini diawali dengan pengorganisasian warga menuju gerakan sosial membela praktek ekonomi rakyat. Untuk itu, elemen-elemen penggerak sosial perlu mendorong agar pa’gadde-gadde berkumpul dan berserikat untuk kelak mereka bisa menyuarakan kepentingan sendiri. Lalu, penggerak sosial ini menggalang mitra aksi, khususnya dari kalangan mahasiswa dan ornop, serta anggota parlemen dan birokrat tertentu yang reformis yang siap memperjuangkan kepentingan pedagang kecil dalam upaya melakukan advokasi kebijakan melalui revisi peraturan daerah no.15 tentang pemberdayaan dan perlindungan pasar tradisonal dan penataan pasar modern.

Bila elemen ekonomi rakyat ini bisa bersatu padu, maka mereka bisa leluasa berhadapan dengan parlemen seleluasa dengan pengusaha, partai politik, dan kelompok kepentingan lainnya yang kerap bernegosiasi dalam menentukan poin-poin urgen dalam regulasi daerah. Dengan berserikat, mereka juga bisa berfungsi sebagai kelompok penekan melalui tindakan berkelompok (class action) sewaktu-waktu bila praktek ekonomi serupa tsunami ini semakin menenggelamkan pedagang kecil.

Untuk itu, beberapa langkah yang bisa ditempuh aliansi gerakan sosial ini adalah [1] menghilangkan diktum ‘pengecualian’ dalam persyaratan perizinan bagi minimarket modern. Kedua, penetapan zonasi minimarket harus segera diselesaikan Pemerintah Kota Makassar emi tata kelola ruang ekonomi yang lebih adil. Ketiga, Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) perlu lebih tegas dalam menegakkan keadilan dalam berusaha, khususnya menertibkan praktek politik dagang yang disebut predatory pricing dan membangun keseimbangan kekuatan pasar antara ritel modern dan ritel lokal. Dalam proses ini, maka sebaiknya pemerintah untuk sementara memberlakukan moratorium perizinan bagi pembukaan minimarket berjejaring ini mulai sekarang!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar