Senin, 10 Juni 2013

Kebebasan Pers

Kebebasan Pers
James Luhulima ;    Wartawan Kompas
KOMPAS, 08 Juni 2013
 
 
Pada saat pemerintahan Orde Baru berakhir dengan mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden 15 tahun lalu, pers Indonesia tidak lagi perlu khawatir bahwa surat kabarnya akan diberedel atau diberangus.
Diawali dengan Presiden BJ Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, presiden-presiden berikutnya pun berkomitmen kebebasan pers harus dipertahankan demi terjaganya keberlangsungan demokrasi. Tidak heran jika banyak yang menganggap kehidupan pers di negara ini sudah bebas.

Namun, dalam World Editors Forum yang berlangsung di Bangkok, Thailand, 3 Juni lalu, Executive Director Southeast Asia Press Alliance Thailand Gayathry Venkiteswaran menyebut Indonesia termasuk salah satu negara yang kehidupan persnya belum bebas. Banyak peserta yang seakan diingatkan kembali, kebebasan pers di negara ini masih bermasalah.

Apalagi, Gayathry, yang menjadi salah satu pembicara dalam sesi ”Kebebasan Pers dan Pengembangan Media”, mengingatkan, seperti di Filipina, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Meksiko, kehidupan pers di Indonesia belum bebas mengingat insan pers masih menghadapi gangguan atau ancaman dalam menjalankan tugasnya. Di negara-negara tersebut, risiko tinggi masih menghadang insan pers dalam menjalankan tugasnya. Mulai dari ditekan, diancam, dipukul, dirampas alat kerjanya, dirampas kendaraannya, diculik, bahkan hingga kehilangan nyawanya. Yang dimaksud dengan kehilangan nyawa dalam menjalankan tugas ialah tewas dibunuh, dan bukan karena kecelakaan sepeda motor. Meskipun demikian, tidak berarti kita tidak menyayangkan insan pers yang harus kehilangan nyawa saat mengendarai sepeda motor.

Apa yang dikatakan Gayathry itu benar. Pers Indonesia pada saat ini memang telah bebas dari kemungkinan akan diberedel pemerintah, tetapi jika dikaitkan dengan kebebasan dalam menjalankan tugasnya, pers Indonesia memang masih belum bebas. Masih banyak sekali gangguan atau ancaman yang harus dihadapi pers dalam menjalankan tugasnya.

Gangguan itu tidak hanya datang dari anggota institusi pemerintah, militer, kaki tangan pengusaha, terutama pengusaha kayu gelondongan ilegal (illegal logging), ataupun anggota kelompok masyarakat, tetapi juga datang dari pemilik penerbitan pers yang bersangkutan.

Ada dua kasus yang dapat diangkat ke permukaan kembali. Pertama, kekerasan yang dilakukan personel TNI AU terhadap tujuh wartawan yang berupaya meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 TNI AU di permukiman warga Pasir Putih, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Kamera para wartawan itu dirampas, dan mereka dipukuli (16 Oktober 2012). Kedua, personel Kepolisian Resor Kota Gorontalo yang melakukan kekerasan terhadap wartawan dalam insiden di Stasiun TVRI Gorontalo.

Gangguan ancaman yang dihadapi wartawan dalam menjalankan tugas menjadikan asosiasi atau perhimpunan wartawan, baik lokal maupun internasional, serta Perserikatan Bangsa-Bangsa (dalam hal ini UNESCO), tengah mengupayakan berbagai cara untuk membuat wartawan aman dalam menjalankan tugasnya. Baik itu pada masa damai maupun bertugas di medan perang atau meliput konflik. Dengan kata lain, tantangan bagi setiap wartawan adalah bagaimana meliput perang atau konflik bersenjata, tetapi tetap selamat.

Etika jurnalistik
Kebebasan pers tidak berdiri sendiri. Sama seperti satu keping uang logam yang mempunyai dua sisi, demikian juga kebebasan pers. Selalu ada etika yang menyertai kebebasan pers. Ini harus selalu diingat setiap insan pers dalam menjalankan tugasnya.

Itu pula yang dikemukakan pembicara lain, yakni Aiden White dari Ethical Journalism Network, Inggris. Ia mengingatkan, kebebasan pers itu bukan tanpa batas. ”Jurnalisme atau jurnalistik itu bukanlah kebebasan berbicara, melainkan ekspresi atas pernyataan (sikap) yang dibatasi,” ujarnya.

Pertanyaannya, apa yang membatasi ekspresi itu? Jawabannya, etika jurnalistik dan perundang-undangan. Dengan menerapkan etika jurnalistik dan memperhatikan rambu-rambu perundang-undangan dalam menjalankan tugasnya, seorang wartawan dapat menjaga profesionalismenya.

Namun, di dalam sesi ”Kebebasan Pers dan Pengembangan Media”, tidak hanya kebebasan pers dan etika jurnalistik yang dibahas, pembicara juga menyinggung tentang perlunya pers lebih terbuka terhadap kritik yang ditujukan kepadanya.

Harus diakui, selama ini pers sangat gemar mengkritik pihak lain tentang sesuatu yang dianggapnya tidak benar. Itu memang karena mengkritik merupakan salah satu tugas pers. Namun, ketika menghadapi kritik karena kekurangsempurnaan dalam pelaporannya, pers kurang bersikap terbuka. Sikap seperti itu tentunya sulit untuk diterima. Jika pers melontarkan kritik, tentunya juga harus bersedia dikritik.

Kebebasan pers memang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan demokrasi. Itu sebabnya semua pihak harus melakukan perannya agar kebebasan pers tetap terjaga. Dengan kata lain, baik pihak eksternal maupun pihak internal (dalam hal ini pemilik pers yang bersangkutan) jangan mengganggu atau mengancam insan pers dalam menjalankan tugasnya secara profesional. Sebaliknya, pihak pers pun harus bersedia menerima kritik. Dengan demikian, demokrasi di negara ini akan terjaga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar