Kamis, 13 Juni 2013

Deradikalisasi dengan Peta Buta

Deradikalisasi dengan Peta Buta
Muh Kholid AS ;   Jurnalis, Alumnus Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo
JAWA POS, 12 Juni 2013

POSO dua pekan terakhir meriang. Kemarin diberitakan ada penembakan terduga teroris, Nurdin, yang direaksi keras oleh warga. Gejala-gejala memilukan itu menjadi penanda bahwa program deradikalisasi terorisme berjalan kurang maksimal. Bom bunuh diri hingga baku tembak yang terjadi di wilayah ini menunjukkan bahwa rantai terorisme masih panjang meski pelaku teror dan kekerasan tersebut dilakukan oleh jaringan lama. Poso menjadi miniatur yang memperlihatkan bahwa program deradikalisasi belum mampu menjangkau benih-benih radikalis di kemudian hari.

Jika benar-benar dilakukan oleh ''jaringan lama'', seharusnya program deradikalisasi yang dilakukan BNPT berhasil menghentikan pergerakan yang bersangkutan sebelum bom meledak atau baku tembak. Jika jaringan dan tempat mereka sudah terdeteksi, logikanya mereka sudah tersaring dalam program deradikalisasi jauh sebelum meledakkan bom. Sayangnya, ajaran radikal terlihat lebih efektif sehingga muncul jaringan baru jika dibandingkan dengan pendidikan untuk mengurangi radikalisme.

Hasil mengecewakan deradikalisasi itu berbanding terbalik dengan kesigapan dan kejelian polisi dalam setiap menindak tindakan teroris. Kepolisian, berdasar setiap konferensi pascaoperasi, biasanya begitu meyakinkan telah memegang ''peta (calon) teroris''. Hanya, peta tersebut tampaknya kurang maksimal digunakan sebagai dasar melakukan upaya preventif sejak dini melalui deradikalisasi. Terbukti serangan terorisme terus terjadi secara berulang dan sering hanya mengandalkan upaya represif sebagai jalan penyelesaian.

Merujuk kepada makna deradikalisasi sendiri, program itu sesungguhnya perang merebut hati dan pikiran, dan bukan sekadar melaksanakan ritual program. Itu bisa dipahami dari awalan ''de'' di depan katanya yang berarti mengurangi atau mereduksi, dan kata ''isasi'' di belakang kata radikal berarti proses, cara, atau perbuatan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendefinisikan deradikalisasi adalah upaya menetralisasi paham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan para simpatisannya, serta anggota masyarakat yang telah ''terpapar'' radikalisme melalui reedukasi dan resosialisasi serta multikulturalisasi.

Pengertian itu menunjukkan sasaran deradikalisasi adalah segelintir anak bangsa yang terpapar dan tergabung dalam melakukan aksi terorisme secara individu maupun kelompok. Mereka adalah (mantan) pelaku terorisme, simpatisan teroris, serta anggota masyarakat yang terpapar paham radikalisme. Deradikalisasi bukanlah program yang tidak hanya ditujukan kepada para tersangka ataupun terpidana teroris, tetapi harus diarahkan kepada simpatisan dan anggota masyarakat yang kepincut radikalisme. Untuk simpatisan dan anggota masyarakat yang telah terekspos paham-paham radikal, program deradikalisasi semestinya membangun saling percaya dan saling menghormati.

Sayangnya, di antara tiga sasaran tersebut, praktis hanya mantan teroris yang baru ditangani secara serius ketika sudah keluar dari penjara. Sementara untuk dua sasaran lainnya masih jauh dari harapan sehingga mereka seperti tidak pernah kehabisan stok teroris. Yang tidak kalah lucunya, sebagaimana disebut Australian Strategic Policy Institute, ternyata 30 persen narapidana teroris di Indonesia tidak mempan deradikalisasi. Akibatnya, muncullah residivis teroris. Padahal, deradikalisasi model itu telah dilakukan lewat komunikasi yang baik dan mendidik antara aparat penegak hukum dan para tersangka ataupun narapidana teroris, bukan dengan cara-cara kekerasan dan intimidasi.

Jika sasaran deradikalisasi yang diseriusi saja masih belum menghasilkan sesuai harapan, tentu bisa dibayangkan sendiri bagaimana hasil deradikalisasi yang kurang maksimal. Ketidakseriusan deradikalisasi terhadap simpatisan teroris dan radikalis itu bisa dilihat dari mitra kerja yang dipilih BNPT. Alih-alih mitranya tersebut bisa memberikan pencerahan, justru ada yang dilabeli oleh sasaran program sebagai musuh dalam perang pemikiran (ghazwu al-fikr). Begitu juga ketika BNPT mendirikan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di tingkat provinsi, harus diakui bahwa tidak sedikit pengurusnya yang tidak punya akses komunikasi dengan sasaran program.

Jika ''akses'' merangkul saja tidak punya, bagaimana mitra tersebut mampu mencegah anggota masyarakat yang terpapar radikalisme agar tidak sampai menjadi teroris. Tak heran jika ribuan buku deradikalisasi dan ragam program hasil kerja sama BNPT-mitra tidak pernah tersampaikan kepada sasaran program. Kalaupun tersampaikan, bukannya mengurangi kadar radikalisme, justru malah membuat mereka semakin solid, lebih kompak, dan berhasil menggalang sentimental keagamaan sambil terus menabuh genderang perlawanan.

Bagaimana mitra BNPT bisa memenangi perang pikiran dan hati simpatisan terorisme dan anggota masyarakat yang terpapar radikalisme jika yang disasar sudah tidak mau berbicara dari hati ke hati? Jika keduanya sudah tidak saling percaya, lantas bagaimana pencerahan bisa dilakukan untuk membetulkan doktrin-doktrin cinta kekerasan? Bagaimana bisa merangkul jika sejak awal telah memosisikan diri berlawanan secara diametral tanpa ada saling percaya dan saling menghormati?

Selain memerangi secara intensif tindakan terorisme yang memang mengancam kehidupan, dialog dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh yang ''berpotensi'' atau tercitra menyebarkan paham radikalisme juga harus lebih diprioritaskan. Jika sikap respek tidak dikembangkan, kemarahan warga Poso terhadap polisi saat menembak Nurdin (10/6) menjadi pengingat bahwa deradikalisasi juga harus berdasar peta yang jelas. Jangan dengan peta buta.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar