Senin, 10 Juni 2013

Tren Bahasan Kampanye


 
  Tren Bahasan Kampanye
  Arifuddin;   Mahasiswa UIN Alauddin Makassar
Tribun Timur, 10 Juni 2013
 
 
 
 
Proses demokrasi di negara kita melalui pilkada layaknya sebuah hajatan besar. Dana sekian miliar bahkan trilunan rupiah siap digelontorkan. Media bahkan menyebutnya dengan sebutan tak kalah keren: pesta demokrasi.

Karena disebut sebagai pesta, maka tak tanggung-tanggung diwujudkan dalam berbagai mega proyek. Proyek paling menonjol adalah pembuatan baliho dengan kata-kata lebay, iklan pencitraan di koran dan televisi, serta pembuatan ribuan kaos oblong dengan aneka bahasa persuasif kampanye yang memaksa.
Elemen penting dari mega proyek baliho tersebut dalah unsur bahasa. Bahasa dalam masyarakat menduduki posisi yang istimewa. Pada berbagai bangsa di dunia nama sebuah negara dapat sama dengan nama bahasanya. Begitupun dengan suku. Umumnya nama sebuah suku juga berarti nama bahasanya, tak terkecuali bahasa Bugis-Makassar bagi suku Bugis-Makasar, bahasa Toraja bagi suku Toraja, bahasa Jawa bagi suku Jawa.

Dalam skop yang lebih besar yaitu negara, bahasa Indonesia dijadikan bahasa nasional bangsa Indonesia. Keududkan ini telah dipertegas lagi pada salah satu poin Sumpah Pemuda tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Dalam kaitannya dengan pikiran, hipotesis Sapir-Whorf menyebutkan jika bahasalah yang mempengaruhi pikiran manusia. Meski hipotesis tersebut mendapat bantahan dari ahli linguistik lainnya. Namun tampaknya dari hipotesis Sapir-Whorf inilah dapat menjadi rujukan upaya pembentukan pikiran masyarakat oleh para kandidat dengan memasang kata-kata pada baliho mereka.

Kota Baliho

Sudah bukan hal baru lagi, ribuan baliho memenuhi setiap sudut Kota Makassar. Setiap kali kita keluar rumah, dapat dipastikan mata kita akan dijejali dengan baliho-baliho aneka bentuk dan tujuan dan jangan lupa kata-kata persuasif khas kampanye.

Baliho makin menjadi-jadi terutama ketika menjelang pemilu seperti sekarang. Semenjak pilgub lalu hingga sekarang, Kota Makassar begitu ramai dengan baliho dan layak disebut kota baliho. Alhasil, Kota Makassar seolah kehilangan estetika.

Dari ribuan baliho kampanye yang mengotori kota Makassar, teridentifikasi keragaman bahasa yang digunakan. Mulai dari bahasa Bugis-Makassar, Bahasa Indonesia hingga Bahasa Inggris. Fenomena bahasa pada tiap pilkada sudah sejak lama terjadi.

Setiap baliho memiliki ciri khas perumusan kata tersendiri yang ditandai dengan jenis bahasa yang digunakan. Banyaknya baliho yang disebar mengindikasikan bagaimana kata-kata tersebut diharapkan dapat memberi penagruh pada masyarakat. Penentuan kata-kata menjadi salah satu startegi yang dianggap efektif.

Beberapa calon walikota yang sudah memastikan menuju Makassar 01, mulai bergerilya dengan menyusun bahasa kampanye mereka. Dalam penyusunan itulah seolah terjadi eksploitasi bahasa secara paksa dan persaingan tiga bahasa yaitu bahasa Bugis-Makassar, Bahasa Indoneisa, dan Bahasa Inggris. Jenis bahasa yang digunakan tentu diharapkan menjadi daya pengingat. Sehingga ketika menyebut kata-kata tersebut akan langsung disandingkan dengan si pemilik tagline.

Bugis-Makassar

Pada beberapa baliho atau spanduk besar atau kecil, beberapa kandidat menggunakan bahasa Bugis-Makassar sebagai media mempromosikan dirinya. Tersebutlah dalam daftar ini seperti kata kulle tonji, tabe. Khusus pada kata tabe sebenarnya kurang tepat, tepatnya salah jika dimasukkan dalam perbendaharaan kata baik bahasa Bugis ataupun bahasa Makassar sebab pada kenyataannya kata tabe adalah bahasa Belanda yang direduksi dalam bahasa Bugis Makassar.

Namun, kata tabe sudah menjadi identitas tersendiri bagi orang Bugis-Makassar maka tak apalah kita masukkan dalam golongan bahasa Bugis-Makassar atas nama pemakluman. Selain penggunaan kata-kata Bugis-Makassar, tersebutlah pula pengunaan gelar seperti ‘ anu daeng anu’, deng, hingga gelar karaeng. Secara sosiologis, bisa jadi sang kandidat seolah ingin menunjukkan identitasnya.

Bahasa Indonesia
Sebagai bahasa nasional yang dimengerti secara luas, tak heran jika bahasa lndonesia lebih banyak frekuensi penggunaannya. Penggunaannyapun lebih bervariasi, mulai dengan kata-kata Indonesia murni seperti ‘Makassar Bergerak’nya Muhyina Muin, ‘Rudal Peduli’nya Rusdin Abdullah, atau merujuk pada kata-kata sifat seperi ‘Jujur, teruji, dan Pengalaman’nya Supomo- Kadir dan lain-lain.

Ada pula yang menggunakan singkatan namanya seperti ‘Masa DPan Makassarnya’ Danny Purwanto. Penggunanaan simbol macam ‘Hatiku untuk Makassar’nya Apiaty Amin Syam yang menggantikan huruf a menjadi dengan symbol love (gambar hati yang sebenarnya adalah gambar jantung’.

Pelesatan ‘Jika di Jakarta ada Ahok, di Makassar ada Ahao’ nya Herman Handoko dan Latief Bafadal. Abrevasi seperti NOAH milik Irman Yasin Limpo dan Busrah Abdullah. Semua orang tahu NOAH adalah nama band digawangi Ariel yang pernah tersandung kasus perzinahan dan heran fansnya justru bertambah. Apakah pasangan kandidat ini berharap mendapat dukungan dengan mencatot nama NOAH meski kita tahu moral sang vokalis tak layak dijadikan panutan? Entahlah.

Bahasa Inggris
Tak kalah kerennya adalah baliho dengan menggunakan bahasa Inggris baik keseluruhan maupun parsial. Beberapa bahasa kampanye dengan Bahasa Inggris ful seperti In Rudal We Trust, No Fear. Bahasa kampanye lainnya dengan Bahasa Inggris parsial bahkan kombinasi tiga bahasa seperti ‘Inimi the Next Generation’.

Jika diperhatikan pula sebagian besar baliho menggunakan unsur Bahasa Inggris meskipun cuma sekedar preposisi for atau kata community. Pada pilgub yang lalu, Syahrul Yasin Limpo juga menggunakan tagline kombinasi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yaitu Don’t Stop Komandan.

Tren bahasa Inggris sebagai bahasa kampanye nampaknya memiliki dampak lebih besar dibandingkan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah (Bugis-Makassar). Barangkali karena Bahasa Inggris dianggap lebih trendy, modern, dan lebih menjual.

Adanya dominasi bahasa Inggris sebagai bahasa kampanye mengindikasikan melemahnya posisi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Di satu sisi ini juga berarti bahasa Inggris mengalami perkembangan dalam politik bukan lagi sekedar pada ekonomi dengan iklan-iklan yang keInggris-Inggrisan saja. Kita mestinya senang dengan fenomena tersebut karena menunjukkan kesadaran berbahasa Inggris sebagai bahasa dunia paling utama. Namun, bukan berarti bahasa Indonesia apalagi bahasa daerah dipinggirkan.
Apapun bahasa yang digunakan dalam baliho sebagai bahasa kampanye, kita semua berharap para kandidat tidak sekedar mempermainkan bahasa. Bahasa yang mereka gunakan pada baliho hendaknya representatif dengan dirinya. Semua kata yang digunakan dalam bahasa apapun mengandung makna yang baik.

Tapi tak perlu terlalu khwatir, masyarakat tidak dpat ditipu lagi dengan bahasa manis semanis madu sekalipun dikemas dengan bahasa Inggris. Pada akhirnya di dalam hati masing-masing ada ukuran kepantasan yang tidak diatur dalam undang-undang dan peraturaran perundang-undangan. Dan kita semua memiliki ukuran itu.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar