Kamis, 13 Juni 2013

Kemelut Politik Turki

Kemelut Politik Turki
Chusnan Maghribi ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 12 Juni 2013 
 
 


ATMOSFER politik di Republik Turki kembali memanas menyusul demonstrasi berskala besar secara terus-menerus sejak 31 Mei 2013, setelah sebelumnya berlangsung dalam skala kecil. Mereka memprotes rencana pemerintah membangun apartemen dan pusat perbelanjaan di Gezi Park, satu-satunya lahan terbuka hijau yang masih tersisa di Istanbul.

Protes itu kelanjutan sebelumnya, me­nyang­kut ketidaksetujuan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, seperti pembatasan (pe­ngetatan) promo dan penjualan minuman ber­alkohol, pembangunan bandara ketiga di Istan­bul, jembatan ketiga Bosphorus di atas Selat Istanbul, serta pembangunan kanal yang meng­hubungkan Laut Hitam dengan Laut Marmara yang dinilai makin memperparah kerusakan lingkungan di utara kota terbesar di Turki itu.

Namun kekerasan dari aparat kepolisian hingga menewaskan 4 demonstran dan melukai ribuan lainnya itu, menyulut kemarahan warga sehingga mereka ikut bergabung memprotes pemerintah pimpinan Perdana Menteri (PM) Recep Tayyip Erdogan.

Kemelut politik Turki berkembang menjadi lebih serius setelah pengunjuk rasa menolak permintaan maaf Wakil PM Bulent Arinc, dan demonstrasi merambah ke kota lain, semisal Ankara, Izmir, Mugla, dan Antaly. Pengunjuk rasa mencakup berbagai kalangan dan profesi: dari dokter, guru, pekerja seni, buruh pabrik dan tambang, hingga pekerja galangan kapal.

Perkembangan terbaru, pada 9 Juni 2013 ribuan suporter sepak bola ikut bergabung berunjuk rasa di Taksim Square, episentrum aksi demo menentang pemerintahan Erdogan yang dianggap antikritik. Tuntutannya pun meluas sampai pada pembubaran pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi/ AKP) berhaluan Islam di bawah PM Erdogan.

Akankah demonstrasi skala besar yang digalang kalangan sekularis-liberalis tersebut memaksa Erdogan membubarkan pemerintahan dan menyelenggarakan pemilu dini? Atau, aksi demo itu mengundang militer ''turun gelanggang'' mengudeta pemerintahan AKP?

Apabila situasi terus memburuk: satu sisi pemerintahan Erdogan ngotot bertahan, tidak menggubris kritik ataupun tuntutan demonstran, dan di sisi lain pengunjuk rasa terus me­lanjutkan demo, tak menutup kemungkinan militer ''turun gunung'' mengudeta pemerintahan Erdogan. Dengan dalih menyelamatkan ideologi sekuler negara, militer Turki diperkirakan tak sungkan terang-terangan memihak demonstran dan bertindak kontrademokrasi dengan mengudeta pemerintahan sah yang berda­sar­kan hasil pemilu Juni 2011. Dalam pemilu dua tahun lalu itu, AKP meraup 326 kursi parlemen (49,9%).

Pemilu Dini
Sepanjang sejarah Turki modern (sejak 1923), militer di republik seluas 780.576 km2 itu sudah kali keempat mengudeta pemerintahan sipil, yaitu tahun 1960, 1971, 1980, dan 1997. Semua dilakukan demi menjaga amanat konstitusi 1923, khususnya terkait kelangsungan sekularisme negara warisan pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk.

Erdogan tentu tak menghendaki kemungkinan buruk itu terjadi. Karenanya, meski berat hati Erdogan diperkirakan membubarkan pemerintahan sekaligus mengumumkan se­gera menggelar pemilu dini, terutama jika de­monstran terus menggelar unjuk rasa dalam skala besar.

Kurang lebih sama seperti keputusan yang pernah dilakukan pada pertengahan 2007, saat menghadapi keputusan kontroversial pengadilan konstitusi yang membatalkan kemenangan jago AKP Abdullah Gull dalam pemilihan presiden (pilpres) putaran pertama di parlemen. Keputusan pengadilan konstitusi kala itu didukung oposisi melalui rangkaian aksi demo yang dimotori partai sekuler Cumhuriyet Halk Partisi (CHP) pimpinan Kemal Kilicdaroglu. Dalam pemilu dini yang digelar 22 Juli 2007, AKP menang cukup telak, meraih 341 kursi legislatif, hampir dua per tiga dari 550 kursi parlemen.

Menggelar pemilu dini bisa mencegah militer bertindak kontrademokrasi, mengudeta pemerintahan Erdogan. Itulah opsi politik yang kemungkinan diambil PM Recep Tayyip Erdogan. Terutama bila sampai beberapa hari ke depan ribuan demonstran terus berunjuk rasa, guna mengakhiri kemelut politik Turki yang sejatinya merefleksikan kelanjutan pertarungan lama antara kalangan sekularis versus blok Islamis di negeri yang kini berpopulasi kurang lebih 76 juta jiwa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar