Selasa, 11 Juni 2013

Mengapa Turki Bergolak ?

Mengapa Turki Bergolak ?
(Respon terhadap Zacky Khairul Umam)
Coen Husain Pontoh ;   Editor IndoPROGRESS
IndoPROGRESS, 10 Juni 2013
 
 
 


DEMONSTRASI besar-besaran yang melanda Turki, khususnya ibukota Istanbul dalam seminggu ini, sebenarnya cukup mengagetkan banyak pihak. Turki, dalam satu dekade di bawah pimpinan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi, AKP), tengah menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, derajat redistribusi kemakmuran ekonomi yang relatif baik, hubungan luar negeri dengan Uni Eropa yang harmonis, hingga pengaruhnya di kawasan Timur Tengah yang terus menguat.


Selain itu, di tengah gencarnya Perang Melawan Terorisme (PMT) yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutunya pasca Peristiwa 11 September 2001, Turki dan AKP dianggap sebagai model yang pas mengenai hubungan yang niscaya antara Islam dan demokrasi. AKP sanggup merontokkan dogmatisme pendekatan kalangan orientalisme maupun neo-orientalisme yang mengatakan bahwa Islam sejak dari sononya memang tidak kompatibel dengan demokrasi. Sebagai partai Islamis yang moderat (AKP sering juga disebut sebagai partai yang berhaluan konservatif demokrat) AKP juga seakan membantah tesis intelektual Islam Bassam Tibi, bahwa kalangan Islamis ketika berkuasa pasti tidak akan sanggup menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan AKP sebagai penguasa hegemonik di Turki, para pengamat maupun intelektual sering mengatakan bahwa AKP bisa menjadi model dari partai Islam yang moderat dan terbuka pada ekonomi pasar.

Lalu, kenapa tetap muncul pergolakan? Para pengamat, termasuk rekan saya Zacky, sejauh ini mengatakan bahwa penyebab mendasar dari aksi demonstrasi itu karena rakyat Turki menuntut adanya kebebasan (freedom). Dalam bahasa Zacky, ‘Yang sedang dikritik para demonstran kini ialah paternalisme ala Turca yang diperagakan oleh tubuh pemerintahan Erdoğan. Alih-alih menciptakan politik toleransi yang luwes, ia belakangan ini memperbesar politik harga diri sebagai ‘sang ayah’ yang ingin mengatur anak-anaknya sesuka hati, tanpa ruang tanya dan wacana. Merasa diperlakukan bagaikan anak-anak, protes pun bergejolak.’

Daron Acemoglu profesor ekonomi di M.I.T Boston, AS, menilai bahwa kasus Turki menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak serta merta akan melahirkan demokrasi. Demokrasi lebih dari sekadar urusan pemilihan umum atau pencoblosan suara di kotak-kotak suara pada setiap periode pemilihan. Itu sebabnya, walaupun AKP dipilih oleh hampir 50 persen pemilih sah, tidak berarti ia bisa semena-mena mengatur kehidupan publik.

Good Muslim
Seperti yang saya kemukakan di atas, kasus Turki dan AKP telah melunturkan kesimpulan kaum orientalis dan neo-orientalis, bahwa Islam tidak akan pernah bisa beririsan atau berinteraksi secara erat dengan Barat. Justru sebaliknya, Turki dan AKP merupakan contoh sukses dari apa yang disebut oleh Mahmoud Mamdani sebagai ‘Good Muslim.’

Menurut Mamdani, cara pandang orientalisme yang hitam putih kini tidak lagi pas dalam menilai hubungan antara Islam dan Muslim dengan Barat. Melalui ideologi baru Islamohobia yang merebak pasca Perang Dingin, mayoritas pemerintahan maupun intelektual di Barat melihat Islam secara lebih kompleks, yang tercemin dalam pemilahan antara ‘Good Muslim and Bad Muslim.’ Dari judulnya, di dunia Islam katanya terdapat dua kelompok: Pertama, kelompok yang memang sejak awal mengusung ideologi politik anti-Barat (produk dan nilai-nilainya), anti Yahudi-Kristen, atau anti-Amerika. Kelompok ini tujuan utamanya adalah menghapuskan nilai-nilai demokrasi dan ekonomi pasar yang telah membuat Barat mencapai kemakmuran ekonomi dan stabilitas politik selama ini, dan menggantinya dengan negara Islam yang berlandaskan pada Shariah Islam. Untuk mewujudkan cita-citanya ini, maka mereka harus bertempur di seluruh lini, ekonomi, politik, militer, maupun budaya. Semua yang berbau Barat harus diganti, karena kafir dan karena itu baik Islam dan Barat pasti saling bertentangan. Dalam perang panjang ini, salah satu harus menang dan yang lain harus dikalahkan.

Namun dalam kenyataannya, apa yang disebut Islam dan Muslim itu beragam, baik karena wilayah dan populasi persebaran Islam yang sangat luas, pertemuan budaya dan bahasa antara Arab dengan yang non-Arab, atau karena perbedaan latar belakang kelas-kelas sosial dari penganutnya. Merefleksikan kenyataan ini, maka kalangan Islamophobia mengatakan bahwa ada juga kelompok yang ‘Good Muslim.’ Mereka ini tidak anti Barat, atau anti Yahudi-Kristen, tidak anti ekonomi pasar, bahkan juga tidak anti-Amerika.

Sebaliknya, kalangan ini aktif mempromosikan perlunya kerjasama ekonomi, pendidikan, budaya, politik dan militer dengan Barat. Mereka melihat bahwa nilai-nilai Islam justru akan semakin terealisasi dalam kehidupan nyata, jika negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim menerapkan sistem pemerintahan demokrasi. Bahkan ada yang mengklaim jika ingin melihat dimana nilai-nilai Islam diterapkan dalam masyarakat, maka pergilah ke Barat.

Dengan kategorisasi ini maka kalangan Islamophobia merekomendasikan bahwa dalam konteks PMT, maka Barat (khususnya AS), harus membangun kerjasama yang erat dengan kelompok ‘Good Muslim’ sembari mengeliminasi kelompok ‘Bad Muslim.’ Jika PMT ini diterapkan dengan bersandar pada pandangannya kaum orientalis maupun non-orientalis maka dipastikan akan menemui kegagalan.

Masalahnya, siapa yang mesti menentukan bahwa kelompok Muslim ini adalah ‘Good’ dan yang itu adalah ‘Bad?’ Pertama-tama tentu saja adalah kaum Islamophobic tersebut, berdasarkan nilai-nilai yang mereka tentukan sendiri baik secara arbitrer maupun tidak. Dan kedua, ini yang tak kalah penting, kalangan Islam itu sendiri mesti membuktikan dirinya sebagai ‘Good Muslim.’ Kelompok ini harus menunjukkan bahwa mereka memang sungguh-sungguh bisa menerima nilai-nilai Barat dan tidak menunjukkan permusuhan dengannya, sehingga layak untuk mendapatkan bantuan dan kerjasama ekonomi, sosial, politik, dan militer. Dalam konteks ini, Turki dan AKP menunjukkan komitmennya sebagai ‘Good Muslim.’
Perkawinan Islamisme dan neoliberalisme

Profesor Taner Akan dari Kocaeli University, Turkey, mengatakan bahwa AKP adalah partai yang lahir dari kompromi antara kekuatan negara sekuler Turki yang otoritaian dan partai-partai Islam sebelumnya yang sangat anti Barat dan bertujuan menegakkan negara Islam yang berlandaskan syariah. Karena itu, AKP merupakan partai yang paling sukses membangun koalisi lintas kelas, dibandingkan dengan partai-partai Islam lainnya.

Konsekuensinya, AKP dari segi politik berwatak reformis, dalam pengertian menerima demokrasi sebagai medan pertarungan politik sekaligus menjadikan syariah sebagai nilai-nilai yang diterapkan dalam masyarakat tanpa berambisi untuk menjadikan Turki sebagai negara Islam. Sementara dari segi ekonomi, AKP dengan terang-terangan mengadopsi kebijakan neoliberal yang telah diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya, bahkan semakin mengintensifkannya. Liberalisasi ekonomi, privatisasi badan usaha milik negara, independensi bank sentral, pasar tenaga kerja fleksibel, merupakan kebijakan utama pemerintahan AKP di bidang ekonomi.

Dari segi dukungan sosial, basis utama AKP adalah kalangan pengusaha kecil menengah yang berhimpun dalam MUSIAD. Dengan wataknya yang reformis dan pro-neoliberal, AKP kemudian mendapatkan basis pendukung baru dari kalangan borjuasi besar yang berhimpun dalam TUSIAD. TUSIAD ini pada mulanya merupakan pendukung tradisional dan setia dari pemerintahan nasional dan pro-Kemalis. Di luar kedua kelompok ini, bassis sosial AKP datang dari rakyat kebanyakan, termasuk para pentolan serikat buruh yang mendapatkan cipratan berkah dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Dengan penerapan kebijakan neoliberal yang pesat, dalam waktu singkat ekonomi Turki bertumbuh pesat. Kelompok-kelompok seperti MUSIAD dan TUSIAD merupakan penerima terbesar dari berkah ekonomi ini. Sementara mayoritas rakyat masih berkutat dalam kemiskinan. Sebagai contoh, pada akhir tahun 2007, tingkat pengangguran di Turki mencapai 20 persen, dan sejak 2003, 3,5 juta petani dan keluarganya jatuh bangkrut dan kemudian memutuskan untuk migrasi ke kota kecil dan kota besar. Di lain pihak, untuk menjaga basis dukungan dari kelompok masyarakat bawah dan serikat buruh, pemerintahan AKP memberlakukan kebijakan sosial yang bertujuan mendistribusikan berkah kemakmuran tersebut. Untuk waktu tertentu, kebijakan ini berlangsung sukses yang dibuktikan dengan hasil pemilu yang menempatkan AKP sebagai juara dengan perolehan suara mayoritas.

Namun, lama kelamaan kompromi antara reofirmisme politik dan neoliberalisme ekonomi ini mulai menujukkan tanda-tanda retak. Pada satu sisi, kebijakan neoliberal yang dianut pemerintah mensyaratkan minimalisasi peran negara dalam mekanisme pasar, sehingga kebijakan sosial yang dijalankan pemerintah pada akhirnya lebih bernuansa karitatif. Selain itu, budaya sadaqah yang bersifat sukarela, yang selama itu telah menjadi tiang penyanggah kesenjangan sosial, kini semakin mengalami marketisasi. Dan yang lebih penting lagi, kebijakan neoliberal ini telah menimbulkan kritisisme baru dari basis massa tradisional AKP, bahwa pemerintah kini telah menjadi kaki tangan imperialisme Barat. Selain itu, posisi Turki yang setuju tapi tidak setuju terhadap invasi AS ke Iraq, juga menjadi catatan tersendiri.

Untuk meredam kritisisime dari basis massa tradisionalnya yang menghendaki penerapan syariah Islam dalam kehidupan sosial, pemerintah kemudian mengusulkan untuk mengamandemen penggunaan jilbab oleh mahasiswi di kampus, yang sebelumnya dilarang. Pada 10 Pebruari, parlemen kemudian menyetujui amandemen ini dimana 411 dari 550 anggota memilih Yes. Tak lama berselang hasil amandemen itu ditandatangani oleh Presiden Abdullah Gül untuk menjadi UU.

Kebijakan baru ini dengan segera memicu polemik yang luas dalam masyarakat. Yang pro mengatakan bahwa kebijakan baru ini merupakan pengejewantahan nilai-nilai asli masyarakat Turki yang berakar pada Islam, sebagai pembeda dengan nilai-nilai Barat yang sekuler dan dekaden. Sementara, mereka yang menolaknya melihat bahwa kebijakan baru ini hanyalah upaya kalangan Islamis untuk menghegemoni dan mengontrol masyarakat Turki, dimulai dari cara perempuan berpakaian di dalam kampus, kemudian meluas hingga ke perikehidupan lainnya di luar kampus.

Polemik ini di satu sisi cukup berhasil meredam kritisisme dari kalangan garis keras dalam AKP terhadap pemerintah, dan di sisi lain sukses meredam kritik-kritik kalangan nasionalis-kemalis dan kiri terhadap penerapan kebijakan neoliberal. Kritik terhadap AKP, kini bisa dengan mudah diserang balik sebagai kritik terhadap Islam. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, maka dalam pemilu 2011, AKP muncul tanpa tanding dengan perolehan suara mencapai hampir 50 persen.

Namun kombinasi antara kebijakan neoliberal, serta kebijakan populis untuk menjaga dukungan basis massa, toh tak selamanya berhasil sukses. Neoliberalisasi ekonomi yang agresif melalui serangkaian kebijakan privatisasi dan liberalisasi ekonomi, pada akhirnya tak bisa lagi dijaga dengan serangkaian kebijakan yang bernuansa Islamis. Itulah yang menyebabkan mengapa kebijakan pemerintah untuk mengharamkan minuman beralkohol di ruang publik, tak mampu mendatangkan dukungan luas seiring dengan rencana pemerintah untuk memprivatisasi ruang publik. Hasilnya adalah aksi massa luas yang berlangsung hingga kini.

Penutup
Aksi massa di Turki saat ini, menurut saya memiliki beberapa dimensi yang penting untuk diperhatikan: pertama, agak berlebihan jika aksi ini disetarakan dengan peristiwa Arab Spring yang melanda sebagian Dunia Arab beberapa waktu sebelumnya. Pemerintahan AKP adalah pemerintahan demokratis yang berbeda dengan pemerintahan Tunisia atau Mesir yang otoriter dan militeristik. Artinya, rakyat Turki, pada derajat tertentu, mengalami iklim kebebasan yang cukup luas, sehingga tuntutan yang berkembang lebih pada pendalaman kebebasan itu.

Kedua, saya tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan bahwa karena kelompok yang terlibat dalam aksi-aksi massa ini datang dari beragam organisasi dan spektrum politik yang sangat berbeda bahkan bertentangan, maka masa depan gerakan ini akan berakhir seperti gerakan Arab Spring: karena gerakannya sangat longgar dan cair, aksi massa ini pada awalnya bisa menghimpun massa dalam jumlah yang sangat besar, tapi dalam jangka waktu yang lebih panjang, memiliki kelemahan organisasi dan politik yang sangat serius sehingga gampang dimanipulasi oleh kelompok lain yang lebih siap secara organisasional. Mesir menunjukkan bagaimana gerakan yang sanggup menjatuhkan Hosni Mubarak, tetapi karena tidak memiliki kepemimpinan politik dan organisasinya yang kuat, kemudian ditelikung oleh kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) yang kini bekerjasama secara erat dengan militer Mesir untuk melaksanakan kebijakan neoliberal.

Menurut saya, kesadaran akan pentingnya kepemimpinan politik dan organisasi dalam gerakan bisa muncul secara dialektik, tergantung pada bagaimana unsur-unsur termaju dalam gerakan bisa memenangkan pertarungan politik dan organisasi secara demokratis dalam gerakan tersebut. Artinya, kesadaran itu muncul dan dikelola secara bersamaan dalam gerakan itu sendiri. Kita tidak bisa berhenti bersuka-cita bahwa kini pada akhirnya muncul lagi gerakan massa yang luas di Turki. Justru ini merupakan titik berangkat untuk membangun kembali gerakan massa yang lebih kuat baik secara politik maupun organisasi. Meminjam kata-kata Fidel Castro, tindakan revolusioner itu hanya mungkin terjadi dalam situasi yang revolusioner.

Ketiga, kasus ini menjadi batu ujian yang menentukan bagi kalangan Islamis dimanapun, mengenai sejauh mana mereka bisa berkompromi dengan kebijakan ekonomi kapitalisme-neoliberal. Ini juga menjadi dasar bagi pentingnya kritik terhadap kalangan Islam Politik, bukan hanya dari segi cita-cita dan ideologinya untuk mendirikan negara atau shariah Islam, melainkan bagaimana kritik-kritik tersebut lebih menyentuh pada kritik ekonomi-politik. Kritik dari sisi inilah yang selama ini absen dalam diskusi publik di Indonesia mengenai keberadaan Islam Politik.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar