Kamis, 13 Juni 2013

Negarawan yang Humanis & Nasionalis

Negarawan yang Humanis & Nasionalis
Rokhmin Dahuri ;   Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan
KORAN SINDO, 12 Juni 2013
 
 
 


Di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang sedang melambat dan suhu politik yang kian memanas menjelang pileg (pemilihan legislatif) dan pilpres (pemilihan presiden) tahun depan, bangsa Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya, Bapak Dr (HC) Taufiq Kiemas yang berpulang ke rahmatullah pada Sabtu, 8 Juni 2013 pukul 18.05 WIB di Singapore General Hospital.

Almarhum Taufiq Kiemas— akrab dipanggil TK—meninggalkan sejumlah legacy (warisan) yang sangat berharga bagi kita generasi penerus bangsa dalam mewujudkan cita-cita luhur kemerdekaan yakni Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Menyaksikan kehidupan berbangsa yang semakin tercabik-cabik (fragmented) diwarnai oleh sepak terjang mayoritas elite pemimpin yang sangat transaksional, pragmatis, dan egois; serta pertikaian antarkelompok disertai aksi anarkisme yang makin sering mewarnai keseharian kehidupan bangsa Indonesia, TK memberikan solusi yang amat strategis: membumikan Pancasila.

Bagi TK, kekacauan kondisi bangsa ini, terutama disebabkan hilangnya internalisasi Pancasila dalam jiwa bangsa Indonesia. Peranan almarhum menjadi semakin sentral ketika mencetuskan gerakan Empat Pilar Kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan jati diri bangsa sebagai landasan dalam pembangunan Indonesia. Gerakan tersebut jelas merupakan ”cahaya” bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang selama ini redup karena banyaknya ”awan hitam” yang menyelimuti kehidupan kita.

Dalam sejumlah diskusi pribadi dengan saya, TK sering sekali cemas dan risau melihat kondisi bangsa yang tercabikcabik, munculnya terorisme di mana-mana, kerusuhan sara, kemiskinan yang makin meluas, dan kesenjangan ekonomi yang makin parah. Dalam pandangan TK, kondisi Indonesia tersebut sangat memprihatinkan karena bisa berujung pada disintegrasi bangsa.

Bila itu terjadi, persatuan Indonesia dengan nasionalismenya yang berketuhanan akan lenyap. Dalam keprihatinan melihat karut-marut kondisi bangsa Indonesia itulah, TK menyerukan perlunya kita berpegang teguh pada Empat Pilar Kebangsaan di atas. Dari situlah kita melihat betapa strategisnya perjuangan TK demi membangun kemandirian dan kesejatian Indonesia sesuai dengan cita-cita para founding fathers bangsa Indonesia.

Tidak semua orang bisa mengusung Empat Pilar Kebangsaan itu karena perjuangan tersebut membutuhkan kepribadian yang kompatibel dengan apa yang diperjuangkannya. TK mempunyai pribadi dan jiwa yang kompatibel dengan perjuangan tersebut. Beliau mempunyai passion terhadap ide-idenya itu sehingga tanpa lelah TK terus memperjuangkannya meski dalam kondisi tubuh yang lelah dan sakit.

Kepergiannya ke Ende, Flores, untuk tapak tilassepekan sebelum datangnya panggilan Ilahi merupakan upaya TK untuk merasakan denyut-denyut kelahiran Pancasila yang dibidani Bung Karno. Dengan totalitas jiwanya, sejak muda sampai kepergiannya, TK benar-benar ingin mewujudkan cita-cita Bung Karno, melihat Indonesia yang adil-makmur, mandiri, berdaulat, dan dihormati bangsabangsa lain di dunia.

Untuk meraih cita- citanya itulah, TK berusaha mempersatukan seluruh anak bangsa. Ia misalnya mensponsori Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) untuk merukunkan keturunan anak bangsa yang pernah bertikai pada masa lalu. TK berhasil mengumpulkan keturunan- keturunan Kartosuwiryo, Soekarno, Ahmad Yani, Soeharto, dan Aidit. Melalui TK, mereka diajak untuk saling memaafkan dan melupakan masa lalu serta kembali melihat ke depan untuk membangun Indonesia.

Mensponsori pertemuan semacam itu bukan perkara mudah jika orang masih terbelenggu sekat- sekat politik dan ideologis. TK berhasil mengatasi sekatsekat itu demi membangun Indonesia ke depan. Tidak hanya itu, dalam kondisi konflik politik nasional yang memanas belakangan ini, kejembaran jiwa TK itu berhasil meredamkan suasana gejolak. Ketika suasana panas muncul antara PDIP dan Partai Demokrat mengemuka, TK dengan strateginya mendatangi Istana bersama Puan Maharani. TK bahkan mewacanakan PDIP akan ikut dalam Kabinet Persatuan.

Wacana TK ini hanya sebuah strategi untuk mencairkan kebekuan hubungan antara partai berkuasa dan oposisi. Toh, bagi TK, baik ruling party maupun opposition party punya tujuan sama: untuk memakmurkan bangsa. Dalam konteks inilah TK berjalan lebih jauh. Ia misalnya membentuk semacam forum untuk mempertemukan para pimpinan lembaga tinggi negara.

Pertemuan para pimpinan lembaga tinggi negara yang digagas TK ini jelas amat bermanfaat untuk menghilangkan miskomunikasi atau misunderstanding yang sering muncul di antara mereka. Semua ini menggambarkan bahwa concern TK dengan persatuan sangat besar sehingga ia mencoba merangkul berbagai kalangan, dari yang paling ekstrem sampai yang paling liberal.

TK misalnya pernah berkunjung ke Pesantren Ngruki – sebuah pondok yang sering dituduh sebagai tempat penggodokan para teroris— untuk melihat langsung apakah benar tuduhan yang berkembang di masyarakat itu dan sekaligus melontarkan wacana Islam yang toleran dan damai di pesantren tersebut. Bagi TK, tak ada yang mustahil untuk didekati dan disatukan dalam kerangka berbangsa dan bernegara asal pendekatannya penuh sikap manusiawi (humanis).

Dalam posisinya sebagai ketua MPR, ”diplomasi kreatif” TK untuk menggalang kesatuan dan persatuan anak-anak bangsa yang terceraiberaikan perbedaan politik dan pandangan agama makin gencar dilakukan. Empat Pilar Kebangsaan— Pancasila, UUD45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika—tak akan terwujud jika para elite masih mempertahankan ego politik dan ideologinya.

Dari sisi inilah, TK—tokoh yang sering disalahpahami— memperjuangkan meleburkan perbedaan politik dan ideologi demi pembangun Indonesia ke depan. TK misalnya berhasil ”mengislamkan” wajah PDIP dengan mendirikan Baitul Muslimin– sesuatu yang dianggap terobosan kultural. Kenapa? PDIP dengan warisan Bung Karno dan Marhaenisme selama ini dicap sebagai kelompok abangan.

Clifford Geertz dalam buku monumentalnya, Religion of Java, misalnya menganggap kaum abangan tidak akan pernah bersatu dengan kaum santri. Stigmatisasi PDI Perjuangan sebagai partai kaum abangan ini kemudian dihancurkan oleh TK dengan membuat lembaga Baitul Muslimin dalam tubuh PDIP. Yang menarik dalam tubuh Baitul Muslimin duduk aktivis-aktivis Muhammadiyah dan NU.

Sekali lagi, TK tanpa disadari telah meleburkan perbedaan kelompok Islam tradisional (NU) dan modernis (Muhammadiyah). Dengan gagasan TK ini, stigma PDIP sebagai partai wong cilik dan orang abangan lenyap sudah. Sebaliknya, PDIP berhasil menyatukan kelompok Islam tradisional dan modernis dalam satu wadah. Terkumpulnya kelompok Islam tradisionalis dan modernis dalam wadah Baitul Muslimin ini, kata Prof Bambang Pranowo, merupakan sebuah kemewahan yang luar biasa yang sulit diwujudkan oleh lembaga lain.

Ibaratnya, dalam politik nasional, TK menggabungkan antara aktivis PKB (NU) dan PAN (Muhammadiyah) dalam satu wadah. Inilah strategi brilian TK dalam membangun PDIP sehingga suara azan dan pengajian sudah ”menyatu” dalam tubuh PDIP. Jangan heran bila spanduk-spanduk yang menyambut Maulid Nabi, Isra Mikraj, dan Ramadan misalnya kini bertebaran di kaki Gunung Lawu— sebuah tempat yang selama ini diidentifikasi sebagai pusat kaum abangan dan Marhaenis. Semua itu muncul karena gagasan kreatif TK sehingga PDIP menjadi partai yang akrab dengan kelompok Islam, baik tradisional maupun modern.

Tuhan memang telah menakdirkan TK sebagai pemersatu bangsa. Untuk mendukung takdir tersebut, Tuhan pun menganugerahiTKdengansifatsifat yang kompatibel dengan takdir tersebut di antaranya TK seorang yang sangat humanis. Semua orang disapanya, tidak hanya kawan, tapi juga lawan politiknya. TK juga menyapa, baik orang besar maupun orang kecil. Tukang sapu dan tukang sampah di sekitar rumah TK, Jalan Teuku Umar, menjadi saksi betapa sikap humanis dan kedermawanan TK terhadap mereka.

Kini tokoh pemersatu yang humanis dan Pancasilais itu telah tiada. Kita yang ditinggalkan merasa berutang budi kepadanya. Untuk itulah, sebagai penghargaan terhadapnya, kita harus meneruskan perjuangan TK yaitu mewujudkan obsesinya dengan melaksanakan empat pilar yang selalu diusungnya.

Selamat jalan Pak Taufiq. Semoga Allah memberikan tempat terbaik bagimu, di sisi-Nya. Amin!.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar