Selasa, 11 Juni 2013

Negeri Penuh Kekerasan

Negeri Penuh Kekerasan
Marwan Mas; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Rakyat Sulsel, 11 Juni 2013


Hampir setiap hari negeri ini dilanda kekerasan. Sepertinya kekerasan sudah jadi santapan sehari-hari yang kadang hanya dipicu hal sepele. Aksi kekerasan geng motor dan tawuran massa antarlorong dan antardesa, seakan belomba menanamkan eksistensinya. Begitu pula dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), mulai dari penentuan calon, masa kampanye, sampai penghitungan suara, semuanya tak luput dari aksi kekerasan. Para pendukung pasangan calon yang kalah dengan enteng melakukan kerusuhan. Sejumlah perkantoran pemerintah, kantor media massa, dan kantor partai politik luluh-lantak akibat dibakar massa.

Sejak pilkada pertamakali dilaksanakan pada 2005 sampai sekarang, tak terhitung jumlah kerusuhan dengan menelan korban sedikitnya 59 orang tewas (Kompas, 10/6). Tentu saja kita prihatin oleh keberingasan massa, termasuk yang dilakukan aparat keamanan terhadap mahasiswa HMI yang melakukan unjuk rasa terkait rencana kenaikan harga BBM di kantor Pertamina, Makassar. Main hakim sendiri sudah jadi trend, bukan hanya oleh massa tetapi juga aparat hukum.

Pemimpin Kosmetik
Kerusuhan dalam pilkada, antarlorong dan kampung hanyalah contoh. Bahwa masih banyak persoalan dalam masyarakat yang tidak dideteksi oleh aparat intelijen, bisa saja diambil-alih publik. Inilah yang marak terjadi, dan anehnya, negara acapkali hanya jadi pemadam kebakaran. Malah hanya dijadikan bahan analisis tetapi miskin antisipasi. Maraknya aksi bom molotov, geng motor, dan korban peluru nyasar di Makassar, juga bisa dijadikan pembenaran bahwa negara sedang dipermainkan oleh perusuh.

Tumpukan masalah yang terpendam dalam masyarakat butuh figur pemimpin yang total mengabdi. Bukan sosok yang sekadar mendompleng menjadi pemimpin. Para pemangku kekuasaan, mulai dari presiden, menteri, sampai kepala daerah (walikota) sebaiknya lebih fokus mengurus dan menjamin rasa aman masyarakat. Tidak justru membagi konsentrasi dengan nyambi menjadi ketua partai dan berbagai kepemimpinan organisasi massa yang terkesan hanya cari popularitas.

Publik menghendaki agar para pemangku kekuasaan memandang jabatan yang disandangnya “sebagai fungsi, bukan status”. Tetapi begitu mengherankan karena begitu banyak pemimpin yang kerjanya hanya mengoleksi aneka jabatan, tetapi fungsi utamanya menyejahterakan dan memberi rasa aman bagi rakyat terbengkalai. Kekhawatiran ini bukan tanpa makna, sebab realitas menunjukkan, pemimpin yang haus jabatan tidak bisa membedakan mana tugas utama dan tugas sambilan.

Pemimpin yang doyan menumpuk jabatan di luar jabatan utamanya, tidak lebih dari “pemimpin kosmetik” yang hanya garang di atas kertas, tetapi tidak mahir mememenuhi kebutuhan rakyat. Pengangguran yang terus membesar sebagai salah satu penyebab massa mudah marah, tidak menjadi perhatian serius. Pemimpin kosmetik hanya tampil dengan pernyataan prihatin, atau sekadar meninjau lokasi kerusuhan kemudian berbasa-basi meminta maaf, tetapi tidak ada aksi antisipasi yang brilian.

Begitu banyak elite negara dan kepala daerah yang doyan merangkap berbagai jabatan selain jabatan resminya yang diperoleh dengan harga mahal. Mereka merasa lebih terhormat karena banyaknya jabatan atau penghargaan yang diterima untuk kepentingan politiknya, tetapi pada akhirnya dikejar-kejar oleh KPK lantaran menyelewengkan uang rakyat untuk membiayai organisasi yang dipimpinnya. Jabatan terbengkalai bukan karena mengurus rakyat.

Kekerasan Aparat

Kekerasan aparat negara seperti yang dilakukan oknum TNI dan oknum kepolisian juga sering terjadi. Belum selesai proses hukum personel Kopassus yang diduga menyerang dan membunuh empat tahanan Lapas Cebongan, Yogyakarta, publik kembali dikejutkan oleh praktik main hakim sendiri. Lagi-lagi dilakukan oleh oknum TNI. Seorang warga sipil di Magelang yang dituduh bertindak tak senonoh menjadi korban penganiayaan hingga tewas oleh 14 personel TNI (Suara Merdeka, 16/4/).

Sekiranya tuduhan itu betul, tidak mesti dibalas dengan main hakim sendiri. Sebagai negara hukum, ada prosedur hukum yang mesti dilalui. Peristiwa itu tentu semakin menggelisahkan rakyat, sebab praktik main hakim sendiri justru dilakukan oleh aparat negara yang seharusnya melindungi dan mengayomi rakyat.

Pemerintah tidak bisa lepas tangan oleh semakin maraknya aksi kekerasan. Memang tugas menekan dan memberantas kekerasan tidak cukup hanya diserahkan kepada polisi, tetapi polisi juga harus berinisiatif membangkitkan partisipasi masyarakat. Tanggung jawab memberantas perilaku kekerasan tetap berada pada polisi, karena kemunculan mereka merupakan kegagalan polisi melakukan pencegahan.

Kalau aparat negara saja gemar melakukan kekerasan ilegal, bagaimana dengan warga sipil yang secara umum mudah terpicu. Main hakim sendiri yang dilakukan aparat negara tidak boleh dibiarkan terus terjadi, seolah-olah kita kembali pada masa Orde Baru. Praktik kekerasan kolektif harus segera diberantas dan diusut dengan perlakuan yang setara di muka hukum.

Untuk menekan praktik main hakim sendiri, harus menggunakan hukum yang bertenaga. Tidak boleh ada toleransi terhadap setiap aksi kekerasan ilegal dengan alasan apapun, negara harus memberi contoh yang baik. Jika negara gagal menegakkan hukum, risikonya amat berat. Kekerasan akan terus menghantui kehidupan rakyat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar