Sabtu, 08 Juni 2013

Mi’raj, Mukjizat, Merakyat

Mi’raj, Mukjizat, Merakyat
Azis Anwar Fachrudin ;    Pengajar di Pesantren Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta 
REPUBLIKA, 07 Juni 2013
 
 
Isra' Mi'raj adalah ritus simbolis. Ketika kita ingin memaknainya dalam konteks kekinian, maka dia adalah sebuah metafor dengan berbagai tafsiran. Di antara tafsir metaforis itu, misalnya, Isra Mi'raj merupakan perlambang bahwa Nabi Muhammad mau turun ke bumi setelah mencecap kenikmatan bertemu Tuhan di suatu tempat yang melampaui batas langit, Sidrah al-Muntaha. Perlambang itu memberi pesan bahwa seorang pemimpin, setinggi apa pun gelar atau jabatannya, semestinya mau turun ke bawah dan kembali ke kubangan lumpur dunia.

Nabi Muhammad adalah teladan yang baik, bukan bagi kaum Muslimin saja, melainkan juga seluruh umat manusia. Ia memimpin tidak dengan memanfaatkan hak istimewanya (privilise) sebagai Nabi. Banyak diceritakan dalam kitab-kitab Maulid, bahwa Nabi sering menjahit sendiri pakaian dan sandalnya, menggembala sendiri, dan hidup di rumah yang sederhana. Sikap hidup semacam ini juga ditiru oleh para sahabatnya. Umar hanya punya beberapa lembar pakaian. Utsman yang kaya, saat menjadi khalifah ternyata bajunya tidak sepi dari tambalan-tambalan.

Maka jika ada pemimpin Islam masa kini yang memakai jam tangan, mobil, dan rumah dengan harga ratusan juta, sekalipun dengan dalil `kepantasan' sebagai seorang pejabat, hal itu telah menyelisihi sikap hidup Nabi dan para sahabat.

Nabi adalah pemimpin yang juga `manusia' dan merakyat. Maka, kita baca dalam tarikh-tarikh, Nabi yang berdarah kena panah kala Perang Uhud. Nabi juga berdarah saat dilempari batu oleh Kaum Thaif (yang kemudian Nabi malah mendoakan anak cucu mereka). Juga Nabi yang ikut menggali parit saat perang Khandaq, sementara ia sangat lapar sehingga batu digunakan untuk mengganjal perutnya.

Nabi sangat `manusia'. Justru dengan sisi kemanusiaan Nabi itulah kita bisa meneladaninya. Ini satu pelajaran dari Isra Mi'raj yang bergelimang dengan berbagai hal irasional dan keajaiban (kemukjizatan). Pemahaman terbaliknya (dalam bahasa epistemologi fikih, mafhum mukhalafah): bagaimana manusia bisa meneladani Nabi jika yang diton- jolkan adalah sisi mukjizatnya (tentang burak, tentang ruh dan jasad sekaligus yang menembus langit, tentang bertemu para nabi lainnya, dan seterusnya)?

Sisi kemanusiaan itulah justru kemukjizatan Nabi. Dan memang, hal ini yang kerap terlupakan dalam kesadaran manusia, sebab orang kerap tertipu dengan kebiasaan, kelaziman. Padahal, Nabi justru mencontohkan sebaliknya, demikian pula ayat-ayat-Nya yang kerap memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta dan dirinya sendiri.

Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari mukjizat-mukjizat itu? Bukankah kita manusia yang tak bisa meniru mereka? Bukankah kita tak mungkin seperti Nabi Muhammad yang bisa naik ke langit ke tujuh? Bagi saya, mukjizat adalah tentang fenomena bahwa manusia bisa menembus (keter)batas(an) fisiknya.

Yang paling penting dari mukjizat adalah bahwa manusia bisa mampu melakukan `transendensi': melampaui sesuatu yang jasmani, menuju yang rohani, dari yang materi, ke spiritualitas.

Agama-agama semitik (Abahamic) menyatakan bahwa manusia diciptakan mengikuti citra Tuhan. Dalam Alquran, misalnya, disebutkan bahwa Tuhan mengembuskan "ruh"-Nya ke dalam ma nusia. Ada unsur ilahiah dalam diri manusia. Unsur inilah yang bisa dicapai manusia untuk bisa menembus fakultas mentalnya, memunculkan mukjizat bagi dirinya sendiri.

Mukjizat tidak harus berarti hal-hal fantastis sebagaimana dalam film-film semacam Superman dan Spiderman. Seorang tukang becak yang bekerja tak kenal lelah demi anaknya agar bisa menyabet gelar di universitas adalah mukjizat. Seorang pemuda yang mampu bertahan menjadi baik di lingkungan yang mendukungnya untuk berbuat tak baik adalah mukjizat.

Sebab, orang-orang itu telah mampu melampaui fakultas mental manusia yang bernama `kelaziman'. Kuli bangunan lazim memiliki anak yang tak berpendidikan tinggi, tapi jadi `ajaib' jika anaknya menjadi orang berprestasi di universitas. Kita kerap terpukau pada kemukjizatan gigantis para Nabi, tapi kadang lupa dengan mukjizat-mukjizat kecil yang bertebaran di sekitar kita.

Nabi Muhammad adalah yang men- contohkan itu. Jika ia mau, maka bisa saja Gunung Akhsyabin akan langsung dihantamkan ke penduduk Thaif yang menganiayanya. Tapi, Nabi tidak demikian. Ia tetap berjalan selaras dengan hukum alam: bahwa dengan usaha keras, maka hasil akan terasa manis. Mukjizat Nabi ada dalam kemanusiaannya. Yang susah adalah bagaimana melewati batas fisik itu. Maka, ajaran yang dibawa Nabi dalam kisah Isra Mi'raj adalah shalat. Shalat adalah media transendensi. Shalat adalah laku interupsi spiritual. Shalat adalah media agar seorang Muslim melakukan `penjarakan' terhadap realitas yang sering bikin penat.

Tapi, shalat bukan ritus untuk selalu bernikmat dalam `penjarakan' itu. Setelah shalat, seorang Muslim harus kembali ke masyarakat. Sebagaimana puisi Muhammad Iqbal: "Aku katakan, Tidak! Di bumi masih ada angkara dan aniaya."***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar