Rabu, 12 Juni 2013

Pork Barrel dan BBM

Pork Barrel dan BBM
Iwan Fauzi ;   Praktisi Politik, Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 11 Juni 2013
 
 
 
ISU politik gentong babi (pork barrel politics) akhir-akhir ini mencuat sejak pemerintah tarik ulur ingin menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Berbagai tanggapan miring timbul dilatarbelakangi prasangka bahwa bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang bersumber dari kompensasi penaikan harga BBM ditengarai bukan sekadar ingin menolong masyarakat miskin. Diduga, tersirat ada kepentingan politik pemerintah, atau partai politik (parpol) penguasa, untuk meraih simpati masyarakat dalam Pemilihan Legislatif 2014.

Diketahui, sejak enam kali pergantian presiden di Indonesia, memang berkali-kali terjadi penaikan dan penurunan harga BBM. Namun, sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penaikan harga BBM sering disertai kompensasi bantuan uang tunai kepada masyarakat. Dengan belajar dari pengalaman sebelumnya, kompensasi tersebut dianggap sarat muatan politis.

Meskipun sebagian besar parpol berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD) dalam sekretariat gabungan (setgab), di sisi lain terjadi pembiaran dari institusi partai koalisi kepada kader-kader kritis mereka bersuara sumbang menentang BLSM. Itu menunjukkan setgab yang selama ini solid tampaknya mulai mengalami keretakan. Sekurangnya ada tiga penyebab mengapa arus balik politik bisa terjadi.

Pertama, pada 2014 masa jabatan Presiden Yudhoyono akan berakhir. SBY telah menjalani dua periode menjadi presiden. UUD 1945 (amendemen) Pasal 7 mengisyaratkan seorang presiden hanya diperbolehkan dua kali mengikuti pemilu presiden (pilpres). Dengan demikian, tali pengikat kebutuhan porsi menteri Kabinet Indonesia Bersatu II mulai longgar sehingga parpol cenderung melakukan manuver politik dengan kandidat capresnya.

Kedua, mulai terjadi politik ambil untung. Terbukti beberapa kebijakan pemerintah yang kurang populer di mata masyarakat, termasuk penaikan harga BBM, dikritisi elite-elite politik koalisi demi pencitraan partai masingmasing.

Beberapa partai lainnya menggunakan politik belah bambu. Maksudnya, koalisi pendukung pemerintah secara taktis tampil rukun di depan publik, tetapi dalam hitungan strategi tak jarang menciptakan kekerasan horizontal antarparpol. Partai yang satu menginjak partai lainnya dan dalam kesempatan berbeda mengangkat derajat partainya sendiri.

Ketiga, partai penguasa, yakni PD, sedang mengalami guncangan karena kasus korupsi yang melilit beberapa elite pentingnya. Akibatnya elektabilitas PD berangsur mengalami penurunan. Lingkaran Survei Indonesia (2013) menyebutkan elektabilitas PD anjlok ke peringkat ketiga (14%), setelah Partai Golkar (21%) dan PDIP (17,2%).

Politik gentong babi
Dalam prediksi, masa musim semi akan berakhir, lalu arah angin politik akan bergeser. Akibatnya pemilu legislatif (pileg) dan pilpres menjadi media kompetitif dalam hajat bersama merebut kekuasaan politik. Kondisi tersebut yang mewarnai mengapa rencana program BLSM dari kompensasi penaikan harga BBM terus diganjal, lalu mewaspadai partai penguasa memainkan politik gentong babi.

Politik gentong babi adalah penggelontoran anggaran pemerintah yang digunakan dalam bentuk proyek atau kegiatan yang secara tidak langsung bertujuan untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dipertegas oleh Susan C Stokes (2009), politik gentong babi sebagai a government project or appropriation that yields jobs or other benefits to a specific locale and patronage opportunities to its political representative.

Meskipun politik gentong sapi populer sejak awal abad 19, terjadi pada era Wakil Presiden Amerika Serikat John C Calhoun, praktik curang itu masih terus berlangsung sampai sekarang. Termasuk Presiden AS Barack Obama ketika kampanye tak lepas dari tuduhan yang sama. Di Filipina kala Presiden Ferdinand Marcos menjabat, politik gentong babi juga menjadi sorotan.

Baik disadari atau tidak, program BLT 2008 menjadi imbas lonjakan suara PD pada Pileg 2009, serta jalan mulus SBY meraih kemenangan pilpres. Walaupun pandangan lain membantah, fakta menunjukkan masyarakat berduyun-duyun antre mengambil BLT.

Menggunakan anggaran dalam melanggengkan kekuasaan petahana sepertinya sudah lazim terjadi di Tanah Air. Tidak hanya tingkat nasional, di beberapa daerah juga acap kali ditemukan para gubernur dan bupati melakukan gelombang anggaran besar dadakan menjelang pilkada. Secara normatif dalihnya ialah program pemerintah, tetapi di lapangan kental oleh pencitraan figur politik.

Begitu pula dengan rencana pemerintah dalam waktu menaikkan harga BBM.
Dari pembahasan APBN dan RAPBN perubahan, jauh-jauh hari terungkap jelas nuansa penaikan harga BBM tidak dapat terhindari di tengah defisit anggaran akibat mem bengkaknya subsidi BBM dan merosotnya mata uang rupiah. Dari subsidi penaikan harga BBM, pemerintah mengambil ancang-ancang akan menyiapkan sekitar Rp30 triliun untuk program BLSM.

Politik BBM

Selama ini tarik ulur penaikan harga BBM membuat rakyat semakin berada dalam ketidakpastian. Situasi yang tidak menentu tidak saja membingungkan, tetapi jelas makan korban. Memang sebelum harga BBM dinyataka resmi naik, mafhum harga kebutuhan masyarakat di pasaran pun lebih dulu melonjak.

Sebenarnya masyarakat awam tidak begitu paham iktikad apa yang terjadi dibalik penaikan harga BBM. Jika bermaksud untuk menyelamatkan APBN, tentu semua orang akan memahami kesulitan yang sedang terjadi. Tetapi jika penaikan harga BBM dipakai alat hegemoni kekuasaan dalam bermain politik gentong babi, yang terjadi ialah kegagalan negara dalam pendidikan politik bangsa.

Beberapa ide muncul, sebaiknya kompensasi BBM diarahkan kepada kekuatan ekonomi rakyat melalui revitalisasi koperasi. Atau bisa juga pengalihan kompensasi untuk pengembangan energi alternatif pengganti BBM, serta bentuk program lainnya yang tidak bernuansa Sinterklas seperti pemberian uang tunai selama ini cenderung menimbulkan konflik baru di lapis masyarakat bawah.

Disamping itu, alangkah tidak etisnya bila parpol merekayasa penaikan harga BBM sebagai pendorong politik pencitraan. Sesungguhnya, rakyat itu bukan kuda tunggang politik.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar