Kamis, 13 Juni 2013

Legislasi Parlementer-Trikameral

Legislasi Parlementer-Trikameral
Mohammad Fajrul Falaakh ;   Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
KOMPAS, 13 Juni 2013
 
 



Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah tidak menempatkan Indonesia sebagai penganut tipe parlemen trikameral. Tak ada hubungan fungsional yang melembaga antara MPR, DPR, dan DPD yang menghasilkan suatu produk ketatanegaraan. Namun, secara khusus, ”legislasi bidang tertentu” melibatkan DPR, DPD, dan presiden.

Fenomena trikameralisme ini bersifat ganjil. Presiden-eksekutif dalam sistem presidensial ikut ambil keputusan untuk menghasilkan undang-undang bersama DPR, tanpa DPD. Peran DPD kian tereduksi sejak tahun 2004. Mahkamah Konstitusi sudah memulihkan peran DPD dan DPR berkoordinasi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai implikasinya (Kompas, 28/5/2013).

Sebetulnya MPR dapat meluruskan lebih lanjut melalui rekayasa konstitusional. Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia, yang dibentuk sebagai alat kelengkapan MPR 2012- 2014, dapat mendalami pilihan yang tersedia. Tulisan ini membahas dua di antaranya.

Legislasi trikameral

Hubungan fungsional ”legislasi bidang tertentu” berlangsung dalam sidang bersama DPR, DPD, dan presiden di DPR, yaitu saat DPD mengajukan atau ikut membahas rancangan undang-undang (RUU) bidang tertentu menurut Pasal 22D UUD 1945. Penentuan kompetensi DPD merupakan cara membagi beban kerja legislasi. Pelaksanaannya dapat membantu pencapaian target legislasi yang cenderung menurun pada 1999-2013.

Namun, legislasi khusus ini berwatak hibrida. Keterlibatan presiden-eksekutif dalam pengambilan keputusan adalah pola parlementer lewat pintu belakang, bukan sistem presidensial atau semipresidensial.
Proses bekerjanya legislasi khusus ini dapat dibedakan dalam tiga tahapan, yaitu perencanaan, pembahasan, dan pengambilan keputusan. Perencanaan program pembentukan UU atau program legislasi nasional (Prolegnas) adalah bagian dari kewenangan DPR, DPD, atau presiden untuk mengajukan RUU.
Akan tetapi, praktik di DPR telah mereduksi kewenangan DPD, yaitu rencana Prolegnas dari DPD diperlakukan sebagai masukan kepada Badan Legislasi DPR, seperti masukan dari fraksi-fraksi DPR. MK meluruskan (Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 tanggal 27/3/2013) bahwa rencana Prolegnas dari DPD berstatus sama dengan rencana pemerintah dan DPR.

Karena RUU tertentu dapat berasal dari DPR, DPD, atau presiden, maka tahap pembahasannya melibatkan ketiga lembaga. Putusan MK meniadakan pandangan masing-masing fraksi atas RUU usulan DPD meski MK masih membiarkan semua fraksi menyampaikan pandangan atas RUU usulan presiden.
MK juga menegaskan bahwa DPD berhak mengikuti rapat pengambilan keputusan untuk menghasilkan UU, tetapi tanpa hak suara. Hanya DPR (satu kamar parlemen) dan eksekutif yang memiliki hak suara (Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945).

Legislasi parlementer dengan hak suara pada presiden-eksekutif ini mewarisi praktik Orde Baru. Legislasi ini berpola parlementer dan mereduksi keutuhan lembaga perwakilan. Pola ini juga berpotensi memacetkan legislasi karena mengandung rumusan zero-sum game, yaitu ketika eksekutif mengganjal legislasi (seperti kemacetan RUU Peradilan Militer sejak 2009).

Pilihan MPR

MPR dapat mengubah legislasi trikameral yang ganjil ini, misalnya menyempurnakan trikameralisme atau memurnikan fungsi presiden-eksekutif. Prinsipnya adalah mengunggulkan suara lembaga perwakilan rakyat dalam legislasi, lebih-lebih mengaku bersistem presidensial.

Trikameralisme dapat disempurnakan dengan memberikan hak suara kepada DPD. Cara ini dapat menanggulangi potensi zero-sum game pada Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945. Penyempurnaan trikameralisme memungkinkan presiden berpihak kepada kepentingan daerah, yaitu saat partai-partai di DPR mementingkan diri sendiri. DPD dapat mendukung pemerintah menghadapi ”pembajakan” oleh partai-partai di DPR.

Permufakatan DPR-DPD dapat mencegah otoritarianisme presiden-eksekutif. Pencegahan otoritarianisme dapat dimentahkan ”koalisi presidensial” dengan parlementarianisme melalui pintu depan meski dapat dicegah melalui pemulihan hak-hak konstitusional di MK.

Pemurnian fungsi presiden-eksekutif dapat menempuh cara berikut. Pertama, RUU tertentu dapat berasal dari DPD, DPR, atau presiden, tetapi pembahasan dan pengambilan keputusan hanya dilakukan DPR dan DPD. Mekanisme pembahasan dan pengambilan keputusan DPR-DPD serta status hasil keputusan ini terhadap presiden-eksekutif juga ditentukan.

Apabila 30 persen suara abstain dan 30 persen suara menolak, maka dukungan 40 persen suara anggota DPR-DPD sudah menghasilkan UU. Akan tetapi, hasil persetujuan ini belum dapat diundangkan dan belum berdaya laku. Pengundangan dan efektivitas hukum bergantung pada sikap presiden, menerima atau menolak. Apabila presiden menerima, ia mengundangkannya.

Kedua, presiden dapat menolak UU apabila dukungan suara parlemen kurang dari 50 persen dari masing-masing jumlah anggota DPR dan DPD. DPR-DPD memulai kembali pembahasan atau pengambilan keputusan untuk meningkatkan dukungan suara. Proses dapat ditentukan berakhir, misalnya apabila keputusan didukung oleh lebih dari 50 persen dari masing-masing jumlah anggota DPR dan DPD. Dukungan suara dihitung untuk masing-masing kamar karena jumlah anggota DPD tak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.

Ketiga, jika proses legislasi akan diteruskan, presiden diberi hak tolak dan proses pengambilan keputusan diulang di parlemen agar diperoleh dukungan suara lebih tinggi. Dukungan suara sebanyak dua pertiga dari masing-masing jumlah anggota DPR dan DPD ditentukan final. Presiden tak dapat menolak dan harus mengundangkannya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar