Selasa, 11 Juni 2013

Fiskal, Resiliensi dan Ekonomi

Fiskal, Resiliensi dan Ekonomi
Firmanzah ;   Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan      
KORAN SINDO, 10 Juni 2013
 
 


Tantangan ganda ekonomi Indonesia saat ini adalah di satu sisi menjaga resiliensi (ketahanan ekonomi), tetapi di sisi lain terus membangun dan mempercepat pembangunan infrastruktur.

Resiliensi ekonomi menjadi penting ketika banyak negara di Eropa mengalami krisis ekonomi akibat persoalan defisit fiskal yang sangat tinggi. Dampak krisis ini membuat ekonomi Eropa tidak mampu menciptakan lapangan kerja, kemiskinan meningkat, investasi negatif, dan di sejumlah negara seperti Yunani dan Italia berdampak ke masalah politik.

Sementara itu, pembangunan infrastruktur juga sangat diperlukan mengingat Indonesia membutuhkan infrastruktur, baik dasar maupun yang menunjang proses produksi. Melalui MP3EI, sejumlah infrastruktur dipercepat pembangunannya untuk menopang daya saing nasional. Dari sisi fiskal, pembahasan RAPBN-P 2013 yang diajukan pemerintah ke DPR baru saja melalui proses pembahasan.

Kita perlu bersyukur telah terdapat kesepakatan antara pemerintah dan DPR tentang sejumlah hal strategis untuk membuat fiskal (APBN) menjadi elemen penting resiliensi dan sebagai salah satu motor penggerak pembangunan nasional. Dua komponen penting RAPBN-P 2013, yaitu revisi asumsi makro 2013 dan dana kompensasi terkait kenaikan BBM, telah mendapat persetujuan.

Selain itu, program penghematan belanja di kementerian/lembaga sebesar Rp24,6 triliun juga dibahas untuk terus meningkatkan ketahanan fiskal dan mengurangi defisit anggaran dari sisi pengeluaran APBN. Kebijakan menaikkan harga BBM memang tidak populis dan merupakan pilihan yang pahit. Namun demi kepentingan bangsa dan generasi mendatang, kebijakan ini perlu dilakukan.

Dari sisi permintaan, tren konsumsi BBM yang terus menunjukkan lonjakan dalam beberapa waktu terakhir merupakan ancaman tidak hanya terhadap fiskal, melainkan juga memberi tekanan kesinambungan energi. Dari sisi pasokan, penurunan produksi minyak dunia akibat menipisnya cadangan minyak dunia telah berdampak pada volatilitas harga minyak dunia serta diliputi serentetan aksi spekulasi di pasar global. Bagi pemerintah, kondisi ini dipandang akan semakin membebani fiskal dan berpotensi menghambat sejumlah agenda pembangunan yang sedang berjalan.

Tekanan lonjakan konsumsi BBM bersubsidi di tengah menurunnya produksi minyak nasional merupakan ancaman serius bagi kesehatan fiskal dan neraca perdagangan. Fenomena defisit ganda (twin-deficit) yang dialami beberapa waktu terakhir merupakan salah satu konsekuensi dari tidak terkendalinya BBM bersubsidi. Alokasi subsidi BBM dalam APBN 2013 ditargetkan sebesar 46 juta kiloliter (KL) dengan nilai mencapai Rp193,8 triliun.

Namun data Januari hingga Maret 2013 menunjukkan realisasi konsumsi BBM bersubsidi telah mencapai 10,74 juta KL atau 6% lebih tinggi dari target kuota yang telah ditentukan. Dengan tren konsumsi seperti ini, diperkirakan permintaan BBM bersubsidi akan melonjak mencapai 53 juta KL dengan nilai mencapai Rp297,7 triliun. Kondisi ini tentunya akan membebani kesehatan fiskal.

Defisit fiskal akan mencapai Rp353,6 triliun atau 3,8% produk domestik bruto (PDB), melebihi batas yang ditetapkan undang-undang. Lonjakan konsumsi BBM juga berdampak pada pelebaran defisit perdagangan sektor migas mengingat Indonesia merupakan net importer. Defisit perdagangan periode April 2013 mencapai USD1,62 miliar yang terdiri atas defisit migas USD1,21 miliar dan defisit nonmigas USD407,4 juta.

Dilema konsumsi BBM nasional yang memicu besaran impor minyak tidak hanya membebani fiskal dan neraca perdagangan, melainkan juga berdampak pada depresiasi nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah terus tertekan dan bergerak di rentang Rp9.700–9.800 per dolar Amerika Serikat. Memang tekanan pada rupiah juga dipengaruhi dinamika ekonomi global, misalnya sejumlah stimulus global yang belum cair, pemangkasan outlook China, dan sejumlah pengetatan likuiditas global.

Bank Indonesia sebagai penanggung jawab otoritas moneter telah melakukan sejumlah intervensi operasi moneter untuk menahan terperosoknya rupiah lebih dalam. Konsekuensinya cadangan rupiah tergerus menjadi USD105 miliar pada akhir Mei 2013 dibandingkan awal Mei yang sebesar USD107,2 miliar atau awal Januari 2013 USD112 miliar.

Kebijakan menaikkan harga BBM subsidi secara terbatas dan terukur serta penghematan anggaran di sejumlah kementerian/lembaga dilakukan untuk menyelamatkan fiskal dan proses pembangunan yang sedang berjalan di sejumlah wilayah di Indonesia. Sementara itu, untuk melindungi kelompok masyarakat miskin yang rentan terhadap perubahan harga BBM bersubsidi dibutuhkan sejumlah program perlindungan sosial demi menyelamatkan kelompok ini dan mempertahankan daya beli mereka.

Selain menaikkan harga BBM subsidi secara terbatas dan terukur serta melakukan penghematan anggaran, pemerintah juga telah menempuh sejumlah kebijakan stimulus fiskal dalam mengendalikan konsumsi BBM nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun telah menginstruksikan agar program konversi BBM ke gas menjadi prioritas dalam konteks ketahanan energi nasional. Konversi ini dilakukan untuk menghindari ketergantungan pada BBM dan mengoptimalkan sumber daya gas nasional.

Upaya konversi BBM ke gas akan terus dilakukan melalui sejumlah program semisal memperbanyak stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), pembangunan pipa gas untuk rumah tangga, serta konversi dari BBM ke bahan bakar gas untuk kendaraan dinas pemerintah, pemda, dan angkutan umum. Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2013 tentang Mobil Murah dan Ramah Lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC) juga diarahkan dalam menopang program konversi BBM ke gas.

Kebijakan mobil LCGC diharapkan dapat membantu menekan konsumsi bahan bakar fosil karena teknologinya lebih hemat energi. Untuk menstimulasi sisi produksi, pemerintah memberikan insentif pengurangan pajak impor produsen yang membuat mobil ramah lingkungan dengan emisi karbon rendah. PP ini juga mengatur dorongan produksi mobil listrik, hibrida, biodiesel,dan biofuel.

Di sektor riil lainnya, khususnya dalam rangka memberi stimulus sekaligus perlindungan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta usaha kaki lima, pemerintah telah menyiapkan PP pembebasan pajak bagi pedagang kaki lima dan pengenaan pajak penghasilan 1% bagi UMKM. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi pelaku usaha di sektor ini untuk tumbuh, berkembang, dan berdaya saing. PP ini juga membuka pintu formalisasi sektor yang selama ini sulit untuk akses ke permodalan, perbankan, dan asuransi karena belum punya izin usaha dan NPWP.

Pemerintah juga saat ini tengah membahas pemberian insentif berupa tax holiday untuk lima industri dasar, yakni logam dasar, kilang minyak, permesinan, industri sumber daya terbarukan, dan industri peralatan komunikasi. Kelima industri ini diharapkan dapat menjadi penopang proses industrialisasi dan pembangunan nasional sehingga ekonomi berbasis industri dengan nilai tambah tinggi dapat terus ditingkatkan.

Arah pembangunan industri juga terkait dengan program percepatan pembangunan infrastruktur yang tengah berjalan saat ini. Kita semua berharap, dua hal ini, yaitu hilirisasi-industrialisasi dan infrastruktur, akan membuat ekonomi Indonesia terhindar dari middle-income trap. Indonesia kita proyeksikan dapat menjadi negara dengan pendapatan tinggi dalam 20–25 tahun ke depan. Kita berharap dengan dukungan lembaga legislatif, yudikatif, danseluruhelemenbangsa (LSM, universitas, masyarakat, dunia usaha), semangat Indonesia Incorporateddapat terus dijaga dan ditingkatkan sehingga ekonomi nasional terus tumbuh dan resilien.

Sejumlah program percepatan pembangunan dan distribusi pertumbuhan terus didorong untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang merupakan amanat UUD 1945. Semangat kebersamaan dengan mengusung national interest menjadi semangat pembangunan dalam mewujudkan Indonesia sebagai bangsa besar, mandiri, dan terpandang di mata dunia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar