Rabu, 12 Juni 2013

Menghentikan Korupsi Sistemik

Menghentikan Korupsi Sistemik
J Danang Widoyoko ;   Koordinator Badan Pekerja ICW  
KORAN SINDO, 11 Juni 2013
 
 

Berbagai kasus korupsi terus terungkap meski KPK berhasil memenjarakan banyak koruptor. Sejumlah kasus yang berhasil dibongkar KPK melalui operasi tangkap tangan bukan kasus yang pertama, bahkan perulangan dari kasus serupa sebelumnya.

Koruptor seakan tidak jera ketika melihat banyak pegawai, pejabat, dan politisi kini meringkuk di penjara karena korupsi. Salah satu penjelasan yang bisa dikemukakan adalah korupsi sistemik yakni korupsi telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem sosial di Indonesia. Karena korupsi sistemik, begitu seseorang masuk ke dalam birokrasi atau menjadi politisi cepat atau lambat akan turut terlibat dalam praktik korupsi. Dari perspektif korupsi sistemik, bukan soal takut atau jera, melainkan sistem memaksa setiap individu untuk melakukan korupsi. Tulisan singkat ini hendak menjelaskan soal korupsi sistemik berdasarkan proses yang dinamis.

Korupsi Sistemik
Gagasan tentang sistem sosial yang cukup komprehensif dirumuskan oleh Talcott Parsons (1902-1979) dengan skema AGIL yakni adaptation atau adaptasi, goal attainment atau pencapaian tujuan, integration atau integrasi, dan latency atau pemeliharaan (Ritzer, 1996; Pramudya, 2011). Pertama, korupsi selalu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, termasuk beradaptasi dengan perubahan.

Karena itu, meskipun ada banyak UU dan regulasi antikorupsi dibuat, praktik korupsi tidak hilang karena korupsi mampu beradaptasi. Kedua, pencapaian tujuan yakni korupsi dilakukan untuk tujuan tertentu seperti akumulasi kekayaan atau membiayai ongkos pemenangan pemilu yang semakin mahal. Ketiga, sistem sosial memiliki aspek integrasi yakni bagaimana praktik korupsi mampu terintegrasi dengan birokrasi, kepentingan politik, atau hukum.

Ini yang menjelaskan mengapa korupsi tetap bisa dilakukan dengan memanfaatkan celah hukum dan bagaimana kepentingan di dalam partai politik atau birokrasi justru memberikan perlindungan terhadap praktik korupsi. Keempat, pemeliharaan. Sebagai sebuah sistem, korupsi mampu mempertahankan dirinya sehingga tetap bertahan. Salah satu bentuknya dengan menerima korupsi sebagai sebuah keniscayaan dan aturan tidak tertulis yang berlaku bila seseorang ingin menjadi pejabat tinggi atau politisi sukses.

Korupsi juga dipelihara ketika masyarakat justru permisif dan terlibat dalam praktik korupsi kecil-kecilan dalam pelayanan publik. Meskipun gagasan tentang sistem yang dirumuskan Parsons cukup komprehensif, gagasan tersebut melihat manusia sebagai robot yang tidak berdaya melawan sistem. Sistem sosial di atas juga seperti sesuatu terberi dan masyarakat tinggal mewarisi dan melanjutkannya.

Pandangan Parsons tentang sistem yang statis dan deterministis membuat korupsi harus diterima tanpa ada peluang untuk melakukan perubahan. Bila mengikuti jalan pikiran di atas, korupsi hanya bisa dihentikan setelah sistem membusuk atau gagal mempertahankan keberadaannya. Karena berbagai keterbatasan dari pemikiran Parsons, saya mencoba melihat gagasan lain tentang sistem sosial yang dirumuskan sosiolog Inggris terkemuka, Anthony Giddens.

Bila Parsons tidak membedakan antara sistem dan struktur, Giddens membedakan keduanya. Menurut Giddens, struktur yang menentukan tindakan manusia, tetapi struktur tidak tampak karena yang tampak di permukaan adalah sistem. Misalnya sistem politik yang korup. Yang tampak adalah bagaimana pemilu membutuhkan ongkos yang mahal. Kandidat yang belanja kampanyenya besar tentu memiliki kemungkinan paling besar untuk menang dalam pemilu.

Itu sistem, sedangkan struktur adalah bagaimana para politisi bertindak yakni mengumpulkan uang dari praktik korupsi, meminta sumbangan tanpa transparansi, termasuk mengumpulkan uang dari praktik korupsi dengan memungut fee dari proyek-proyek pemerintah. Berbeda dengan Parsons, Giddens justru melihat sistem sosial sebagai sebuah proses yang dinamis.

Struktur bagian dari sistem sosial yang memberikan panduan dan mengatur praktik sosial. Tetapi, struktur sosial juga dibentuk oleh perulangan praktik sosial di dalam masyarakat. Strukturlah yang memaksa seseorang untuk melakukan korupsi dan struktur ini terbentuk dari praktik korupsi yang secara rutin dilakukan. Struktur adalah medium bagi korupsi dan sekaligus hasil dari perulangan praktik korupsi.

Sistem sosial yang korup sesungguhnya adalah pelembagaan dari struktur dan praktik sosial yang korup. Dengan demikian, korupsi yang sistemik adalah praktik korupsi yang dilakukan dalam struktur sosial yang korup yang terbentuk melalui perulangan praktik korupsi. Korupsi sistemik sulit diberantas karena struktur terus memberikan panduan kepada setiap individu yang berada di dalamnya.

Situasi ini lambat laun menjadikan korupsi menjadi sesuatu yang normal dan wajar. Individu di dalam sistem tidak sadar lagi telah melakukan praktik korupsi karena praktik ini secara berulangulang telah dilakukan sebelumnya. Perulangan atau pembiasaan praktik korupsi ini yang kemudian membuat korupsi tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran, tetapi sebuah aturan tidak tertulis.

Memberantas Korupsi

Dengan memahami sistem sosial sebagai sebuah proses yang dinamis, pemberantasan korupsi menjadi mungkin untuk dilakukan. Pada dasarnya pemberantasan korupsi dilakukan dengan membentuk struktur baru yang tidak korup lagi. Struktur baru ini hanya bisa terbentuk jika praktik korupsi dihentikan.

Karena itu, agenda pemberantasan korupsi tidak cukup sekadar menangkap koruptor, melainkan juga bagaimana menghentikan korupsi dengan menghentikan struktur dan sistem sosial yang korup. Penegakan hukum dan pencegahan yang efektif dibutuhkan agar praktik korupsi tidak lagi dibiasakan dan lambat laun akan terbentuk sistem baru yang bersih dari korupsi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar