Selasa, 11 Juni 2013

MPR Pasca-Taufiq Kiemas

MPR Pasca-Taufiq Kiemas
Hajriyanto Y Thohari ;   Wakil Ketua MPR
SUARA KARYA, 10 Juni 2013
 
 


Doktor (HC) Haji Muhammad Taufiq Kiemas, Ketua MPR RI periode 2009-2014, telah kembali ke rahmatullah pada hari Sabtu, 8 Juni 2013. MPR sangat kehilangan tokoh besar yang humble (rendah hati) dan eksklusif ini. Pertanyaannya, bagaimana MPR pascakepergian Pak Taufiq Kiemas?

Saya akan menjawab pertanyaan ini dengan memulainya dari hal berikut. Akibat pertama dan utama dari meninggalnya Pak HM Taufiq Kiemas adalah MPR kehilangan seorang pemimpin senior dengan ketokohannya yang besar dan sangat berpengaruh. Jujur, saya tidak bisa membayangkan bagaimana MPR tanpa beliau. Pasalnya, MPR menjadi sangat berwibawa seperti sekarang ini karena ditopang oleh ketokohan Pak Taufiq Kiemas.

Mungkin pernyataan itu terasa berlebihan dan terlalu dramatis. Tetapi, orang harus ingat bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI), menurut UUD 1945 pascaamandemen, berbeda sama sekali dengan MPR sebelum amandemen konstitusi. Dalam kondisi seperti itu, Pak Taufiq Kiemas mampu menghela MPR sebagai lembaga negara yang tetap prestisius dan dihormati.

Ketokohannya yang menasional dan senioritasnya yang lintas golongan/partai politik berhasil menjadikan MPR tetap prestisius dan disegani. Saking senior dan berpengaruhnya di kalangan penyelenggara negara lainnya, Pak Taufiq Kiemas sempat didaulat menjadi semacam "ketua kelas" dalam forum Konsultasi Pimpinan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara yang diadakan secara periodik, empat kali setahun itu.

Sungguh, dalam hati kecil saya, ada semacam kekhawatiran, atau bahkan ketakutan, MPR akan kehilangan pamornya yang fenomenal setelah ditinggal Pak Taufiq Kiemas. MPR akan susah tanpa kehadiran beliau. Dalam konteks dan perspektif ini, pengganti Pak Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR sangatlah berat.
Dia dituntut menjadi seorang tokoh yang memiliki modal sosial (social capital) yang besar seperti Pak Taufiq Kiemas. Yakni, ketokohannya harus diakui secara lintas golongan, kelompok, partai politik, agama, dan latar belakang ideologi, serta disegani di antara pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara. MPR rasanya tidak mudah mendapatkan seorang figur ketua dengan bobot, kualifikasi, dan reputasi ketokohan seperti beliau atau setidaknya mendekatinya.

Meski kepemimpinan MPR bersifat kolektif kolegial, tetap saja sang ketua akan menjadi simbol lembaga. Meski fungsinya lebih banyak simbolik, keberadaan Ketua MPR tetap sangat penting dalam perpolitikan nasional. Apalagi, Pak Taufiq selama ini telah memainkan perannya secara sangat piawai sehingga sedikit banyak membuat perpolitikan nasional Indonesia dalam tiga setengah tahun terakhir ini terasa lebih lentur dan tidak terlalu gaduh. Pak Taufiq Kiemas menjadi semacam suspensi dalam guncangan-guncangan politik akhir-akhir ini.

Nah, dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah terjadi kekosongan jabatan, MPR harus sudah memilih ketua baru. Sebagai lembaga tinggi negara yang sudah cukup tua, MPR memiliki tata cara dan mekanisme pengisian kekosongan jabatan ketua. Ketentuan itu sudah baku. Rasanya masih terlalu dini soal kepemimpinan MPR ini dibahas. Jika saatnya nanti tiba, kita berharap semoga semuanya lancar dan baik-baik saja. Amin.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar