Rabu, 12 Juni 2013

Konvensi Setengah Hati Partai Demokrat

Konvensi Setengah Hati Partai Demokrat
Arya Budi ;   Manajer Riset Pol-Tracking Institute
TEMPO.CO, 11 Juni 2013
 
 



Tak bisa dimungkiri, wacana konvensi yang dibangun Partai Demokrat adalah sebuah strategi politik membangun atensi publik terhadap partai tersebut. Hal ini terjadi karena tiga slogan—bersih, cerdas, santun—yang dipromosikan SBY hampir tidak berlaku lagi bagi persepsi publik saat ini. Sulit bagi kita untuk percaya bahwa PD masih “tidak pada korupsi”, politik santun dan cerdas pun terasa kontradiktif bila melihat perseteruan dan komunikasi politik para politikus PD di media. Walhasil memang, konvensi adalah hal paling sederhana sekaligus solutif untuk memenuhi dua kebutuhan penting partai: simpati publik dan kandidat presiden penerus SBY.

Sayangnya, sekalipun politikus PD serempak mengatakan terbuka bagi siapa pun (Koran Tempo, 3 Juni 2013), mekanisme konvensi demokratis yang dibayangkan publik tetap berada di bawah kendali para oligarki yang terlembaga dalam Majelis Tinggi (MT). Pada dasarnya, keputusan capres Partai Demokrat sesuai dengan AD/ART (pasal 13, poin 5.a) hanya ditentukan oleh sembilan orang Majelis Tinggi partai.

Artinya, capres hasil konvensi—setelah melalui mekanisme penjaringan, pendaftaran, seleksi, kampanye, dan uji elektabilitas—tetap terletak pada preferensi elite melalui otoritas yang diberikan kepada 9 orang Majelis Tinggi partai. Kandidat yang lolos dalam konvensi PD akhirnya masuk dalam logika mandatoris elite partai. Konvensi PD menjadi semacam konvensi setengah hati.

Jika memang demikian, konvensi PD akhirnya serupa tapi tak sama dengan konvensi Golkar pada 2003 yang akhirnya memenangkan Wiranto. Golkar (kepemimpinan Akbar Tandjung), dalam menyongsong pemilu presiden 2004, merealisasi gagasan konvensi hanya dengan diikuti oleh elite partai politik di tingkat pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dengan proporsi bobot suara yang berbeda. Hasilnya jelas, Wiranto, yang menang konvensi, kalah dalam pemilu presiden. Sedangkan Jusuf Kalla, yang kalah dalam konvensi dan kemudian maju menjadi cawapres dengan SBY, akhirnya menang pada 2004. PD akan bernasib sama jika mekanisme “uji publik” via survei hanya menjadi pertimbangan minor dan sekadar penggaet atensi publik.
Sebab, capres pilihan partai hanya merefleksikan preferensi elite minus publik.

Apalagi jika kita melihat konstelasi PD post-Anas, maka konvensi adalah peranti paling strategis bagi SBY untuk menutup peluang kepentingan politik kelompok “non-SBY”, karena determinasi konvensi hanya terletak pada dua pendulum: publik dan MT di bawah kendali SBY. Di sisi lain, terjadi diaspora faksi pasca-Anas.

Namun, terlepas dari kritik mekanisme konvensi Partai Demokrat, kita harus jujur mengatakan bahwa konvensi dalam tataran ide adalah terobosan penting dalamroadmad konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dalam sejarah politik kepartaian di Indonesia, kelahiran partai dan dinamika kepartaian selanjutnya justru disebabkan oleh presiden terpilih. Presiden yang melahirkan dan menentukan gerak dinamika partai politik, bukan justru sebaliknya: Sukarno (PNI), Soeharto (Golkar), Gus Dur (PKB), Megawati (PDIP), dan SBY (PD). Padahal kelahiran partai adalah refleksi pembilahan sosial yang direpresentasikannya (Arendt Lijphart, 1969), sehingga jika mengikut gagasan konsosional demokrasi ala Lijphart tersebut, maka presiden yang mengikuti ideologi dan platform partai, bukan partai yang justru dibimbing presiden terpilih. Sejauh ini, tiket capres selalu otomatis dipegang oleh orang kuat (patron) partai sebagai investor terbesar partai, baik karena genetik, logistik, maupun taktik.

Artinya, gagasan konvensi akan mengembalikan ide dasar ini. Sebab, struktur kekuasaan partai tidak lagi menggunakan legitimasi penuh “restu bapak” atau “restu ibu”. Logika gagasan ini mirip PDIP yang mulai membuka wacana pengusungan kandidat capres alternatif dari kalangan muda seperti Jokowi (Koran Tempo, 29 Mei 2013). Hal itu mengubah logika kandidasi presiden selama ini: partai tak pernah melahirkan capres, melainkan capres-lah yang melahirkan dan merawat partai. Artinya, gagasan kandidasi non-patron menjadi mekanisme intra-party yang akan membalik pola kepemimpinan nasional dan logika politik kepartaian selama ini.

Selanjutnya, partai juga mempunyai kapasitas untuk melakukan injeksi ideologi, platform, dan program melalui penguasaan kursi eksekutif, karena terjadi fatsun politik terhadap presiden terpilih dengan partai pengusungnya. Bukan seperti yang selama ini terjadi: nalar politik partai, slogan organisasi, dan kerja organisasi ditentukan oleh presiden dari partai.

Jika melihat korelasi konvensi dengan elektabilitas partai, konvensi akan menciptakan dua spektrum kemungkinan elektabilitas. Pertama, elektabilitas PD akan naik tak terlalu tinggi ketika konvensi hanya mempromosikan partai melalui pencangkokan popularitas figur yang mengikuti konvensi. Kedua, elektabilitas PD akan naik signifikan jika konvensi adalah bentuk promosi program dan platform partai melalui pakta kesepakatan partai dengan calon peserta konvensi sebelumnya untuk membawa misi kepartaian.

Sebab, sejatinya secara teoretis berdasarkan pengalaman Amerika Serikat, konvensi berfungsi untuk tiga hal: 1) memilih kandidat presiden yang paling kompatibel dengan partai dan publik; 2) mempromosikan program dan agenda partai sebagai institutional branding dalam tatanan sistem presidensial; serta 3) menjaga kohesi politik di internal partai melalui mekanisme yang menjadi kesepakatan elite partai.

Akhirnya, ada dua saran penting bagi PD. Pertama, preferensi elite melalui MT cukup terletak di awal saat menyeleksi calon peserta konvensi, sehingga kandidat peserta konvensi adalah orang yang paling merefleksikan kepentingan PD. Artinya, secara kuantitas akan lebih baik tidak lebih dari tiga orang (dua atau tiga), baru setelahnya peserta terpilih melakukan kampanye konvensi dan berakhir dengan hasil pilihan publik tertinggi seperti 50+1 atau >30% tertinggi.

Kedua, jika tetap menggunakan mekanisme dengan MT diwakili tim independen partai berada di penjaringan awal dan MT di penentuan akhir, hasil survei harus dipublikasikan secara terbuka. Artinya, hasil survei atau polling publik akan berpotensi ditutup jika peraih tertinggi tidak sesuai dengan kepentingan elite partai (baca: SBY). Di titik ini, hasil preferensi publik harus dibuka kepada khalayak sehingga akan berfungsi ganda: 1) benar-benar menjadi bahan pertimbangan di MT; 2) menjadi bahan publik untuk mengukur tingkat kesesuaian hasil survei atau pengukuran hasil preferensi publik lainnya dengan keputusan MT.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar