Selasa, 11 Juni 2013

Taufiq Kiemas dan Empat Pilar Kebangsaan

Taufiq Kiemas dan Empat Pilar Kebangsaan
Ali Rif’an ;   Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Penerima Beasiswa, Program Sekolah Demokrasi dari Belanda
SUARA KARYA, 10 Juni 2013
 
 


Sabtu (8/6) malam hari, langit Indonesia tampak kelabu. Bangsa Indonesia baru saja kehilangan seorang putra terbaiknya, Taufiq Kiemas. Kepergian Taufiq, sapaan akrabnya, meninggalkan luka mendalam bagi keluarga, kolega, kader, dan sebagaian besar masyarakat di penjuru negeri. Taufiq menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di Singapura pada pukul 19.05 waktu Singapura atau pukul 18.05 WIB.

Taufiq menjalani perawatan di Singapura setelah mendampingi Wakil Presiden Boediono untuk meresmikan Monumen Bung Karno dan Situs Pengasingan Bung Karno di Ende, Nusa Tenggara Timur. Peresmian itu bertepatan dengan Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945. Namun selepas acara tersebut, beliau mengalami kelelahan berat.

Taufiq selama ini dikenal sebagai politikus yang ideal. Ia merupakan salah satu tokoh yang berkategori liminal. Seorang yang berasal dari keluarga santri pendukung Muhammadiyah-Masyumi "menyebrang" merintis pergerakan politiknya lewat Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Kiprahnya begitu banyak untuk bangsa ini, namun hanya sedikit yang diketahui publik. Kiprah Taufiq justru semakin tampak ketika ia menikah dengan putri pemikir besar Indonesia, Megawati Soekarnoputri.

Di situlah Taufiq kemudian menempatkan diri dalam posisi sebagai "juru kunci" (aktor belakang layar) rumah kaum nasionalis. Karier politik Taufiq semakin moncer saat Orde Baru tumbang. Taufiq berhasil menghantarkan isterinya Megawati menjadi Presiden Republik Indonesia ke-5. Ia juga pernah menjadi angggota DPR RI dua periode berturut-turut (1999-2004 dan 2004-2005) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Selain menjabat sebagai Dewan Kehormatan Pengurus Pusat Persatuan Alumni (PP PA) GMNI dan Ketua Dewan Pertimbangan DPP PDI-P, jabatan struktural kenegaraan terakhir yang diemban Taufiq ialah Ketua MPR RI tahun 2009-2014.

Seperti tertuang dalam buku biografinya berjudul Gelora Kebangsaan Tak Kunjung Padam (2012), kiprah penting Taufiq ketika menjabat Ketua MPR RI adalah ingin membumikan empat pilar kebangsaan. Taufiq sangat berharap Indonesia bisa rukun, tidak ada pertikaian dengan alasan golongan, ras, ataupun agama. Kemajemukan dan keberagaman ialah anugerah bangsa ini. Karena itu, dalam berbagai kesempatan, ia selalu menyatakan pentingnya penerapan empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, dalam kehidupan berbangsa.

Bagi Taufiq, empat pilar kebangsaan tersebut penting disemaikan terhadap para anak bangsa dan generasi muda. Empat pilar itulah perekat bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Menurut Zuhairi Misrawi, Staf Ahli MPR RI, Taufiq ialah tokoh yang selalu gelisah terhadap kondisi bangsa, khususnya tentang masalah intoleransi beragama. Dengan membumikan empat pilar tersebut, Taufiq berharap kerukunan di Indonesia bisa semakin terjaga. Taufiq yakin bahwa masalah intoleransi ini bisa diatasi jika segenap anak bangsa benar-benar memahami intisari kebinekaan.

Selain itu, Taufiq juga sangat merindukan gaya politik yang santun dalam proses berdemokrasi di Indonesia. Menurut Taufiq Kiemas, demokrasi Indonesia harus mengerami Pancasila terlebih dahulu. Demokrasi Indonesia berbeda dengan demokrasi Barat. Demokrasi Indonesia bernafaskan keguyuban dan gotong royong, bukan saling menikam dan menegasikan. Sebab, gotong royong itulah intisati Pancasila.

Itulah kenapa dalam arena politik, Taufiq kerap menjadi katalisator juru damai bagi para politisi yang berseberangan. Ia menjadi politikus lintas partai yang selalu menebar kesejukan. Meski menjadi dewan pembina partai opisisi terbesar, tapi oposisi yang dilakukan Taufiq tidak membabi buta. Baginya, oposisi merupakan kontrol pemerintah jika ada kebijakan pemerintah yang melenceng dari garis kepentingan nasional (rakyat). Oposisi bukanlah mengkritik semua kebijakan pemerintah yang ada. Opisisi harus berlandaskan spirit kebangsaan. Dari situlah tidak heran jika Universitas Trisakti Jakarta pernah memberinya gelar Doktor Honoris causa dalam bidang Kebangsaan dan Bernegara pada 10 Maret 2013.

Taufiq lahir di Jakarta, 31 Desember 1942. Ia juga bergelar Datuk Basa Batuah karena merupakan seorang keturunan Palembang-Minangkabau. Ayahnya adalah seorang guru yang pergi merantau ke Palembang. Sedangkan ibunya, Hamzathoen Roesyda, berasal dari Kanagarian Sabu, Batipuah Ateh, Tanah Datar, Sumatera Barat. Taufiq pernah menyelesaikan pendidikan sarjana muda di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang tahun 1966.

Ketika menjadi mahasiswa itulah, pergolakan intelektualnya mulai tumbuh. Ia kemudian menjadi aktivis pergerakan dan berinteraksi dengan berbagai tokoh nasional. Seperti hanya mendiang Gus Dur, pola pikir Taufiq Kiemas sangat pelangi. Ia kemudian tumbuh menjadi politikus yang pernah mengalami manis-getirnya penjara politik, ketertindasan keluarga, dan pengerdilan peran parpol semasa Orde Baru. Ia tumbuh menjadi politukus kawakan yang telah banyak makan "asam-garam". Ia melewati bentangan kekuasaan, dari Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Laiknya politikus genuine, ia memiliki manuver politik yang sulit ditebak. Sebagai contoh, di awal kepemimpinan SBY misalnya, ia mencoba memimpin barisan oposisi pemerintah. Dalam buku Jurus dan Manuver Politik Taufiq Kiemas (2009) disebutkan, Taufiq bahkan berani menyamakan SBY sebagai jenderal yang berperilaku anak kecil. Ia tak jarang menggaungkan gertakan. Namun belakangan, di kepemimpinan SBY jilid II, ia justru merapat ke lingkaran kekuasaan dengan menjadi Ketua MPR RI periode 2009-2014. Itulah Taufiq, politikus kontroversial namun selalu dirindukan.

Kini tokoh bangsa yang blak-blakan itu sudah meninggalkan kita untuk selamanya. Beliaun menminggalkan warisan, yang harus diteruskan, yakni empat pilar kebangsaan. Selamat jalan Bung Taufiq! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar