Sabtu, 08 Juni 2013

Islam Melihat Lingkungan

Islam Melihat Lingkungan
Rokhmin Dahuri ;    Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
REPUBLIKA, 07 Juni 2013
 
 
 
Telah tampak kerusakan di darat dan laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum:41)". Lima belas abad lalu, melalui Firman-Nya dalam Alquran, Allah telah mengingatkan manusia tentang bahaya kerusakan lingkungan. Padahal, saat itu belum terbayangkan oleh manusia, apa yang dimaksud kerusakan lingkungan tersebut.

Peringatan surah ar-Rum ini --pinjam kata-kata Robert N Bella-- menunjukkan bukti bahwa apa yang tercantum dalam Kitab Suci itu melampaui zamannya. Peringatan akan datangnya kerusakan lingkungan itu baru terasakan sejak Revolusi Industri di Eropa, 11 abad setelah Alquran menyebutkannya. Dan anehnya, sampai hari ini, masih banyak manusia yang terus merusak lingkungan.

Saat ini, jumlah penduduk dunia mencapai tujuh miliar jiwa, dan pada 2050 diperkirakan mencapai sembilan miliar orang. Dengan jumlah sebesar itu, berapa kebutuhan sandang pangan, energi, air, dan sumber daya alam (SDA) lain yang harus tersedia? Kita tahu, satu-satunya tempat di jagad raya yang bisa mendukung dan cocok bagi kehidupan manusia adalah bumi. Namun, aktivitas manusia telah mengurangi kemampuan planet kecil ini untuk menyuplai kebutuhan hidup manusia.

Robert Allen dalam buku klasiknya (1982), How to Save The World, mengungkapkan bahwa 1/4 populasi manusia di planet bumi mengonsumsi 3/4 SDA. Sedangkan separuh dari jumlah populasi tinggal di rumah yang tidak layak, kurang sanitasi, dan air bersih. Ini semua menggambarkan bahwa sebagian besar manusia hidup sangat menderita.

Allen menggambarkan betapa dahsyatnya bumi kehilangan tanah yang subur. Dalam 20 tahun terakhir, 1/3 dari luas tanah yang subur di permukaan bumi telah lenyap. Tiap tahun, misalnya, di Kolombia 400 juta ton tanah subur lenyap akibat deforestasi dan manajemen pembangunan wilayah yang keliru. Sedangkan di India, dengan penyebab yang sama, tiap tahun 600 juta ton tanah subur hilang. Bahkan, di Amerika Serikat (AS) 10-15 persen tanah yang subur rusak tiap tahun. Bagaimana di Indonesia? Walhi mencatat sejak era reformasi, 1,5 juta hektare hutan --yang notabene merupakan tanah yang subur dan mendukung kelangsungan lahan pertanian dan fungsi hidro-orologis wilayah di sekitarnya-- hancur.

Deforestasi itu demikian massif, sehingga menimbulkan longsor dan banjir besar tiap tahun di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua dengan korban ribuan jiwa. Gambaran tersebut belum termasuk deforestasi di pulau-pulau kecil yang sulit terpantau pemerintah, pengamat, dan pemerhati lingkungan. Di Maluku, sudah puluhan pulau kecil rusak akibat deforestasi. Sementara itu, padang pasir terus bertambah luas dengan kecepatan enam juta ha per tahun, atau dua kali luas Belgia. Saat ini, catat Allen, ada 20 juta kilometer persegi areal tanah --hampir sama dengan dua kali luas Kanada-- sedang berada dalam kondisi `ambang' menjadi padang pasir. Artinya, tak lama lagi, wilayah seluas dua kali Indonesia akan menjadi padang pasir.

Sementara itu, pemanasan suhu bumi, membuat salju abadi di kutub dan puncak gunung Himalaya, mulai mencair. Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC, 2007) melaporkan bahwa dampak pemanasan global ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan. Kantor berita AFP 10 Desember 2012 memberitakan bahwa dampak pemanasan global ternyata sangat luas, meliputi kekacauan iklim, peningkatan paras laut, banjir, pemusnahan biodiversitas, dan munculnya badai-badai raksasa yang mematikan.


Di satu belahan dunia, misalnya, iklim panas makin menyengat, sementara di bagian dunia yang lain, iklim dingin sangat dahsyat, sampai 40 derajat Celsius di bawah nol. Ini pengalaman luar biasa. Di Cina dan Eropa, misalnya, iklim dingin yang ekstrem telah membunuh ribuan orang. Sementara itu, badai dahsyat telah menerjang wilayah Amerika, Cina, Filipina, dan Jepang yang menimbulkan korban ribuan jiwa.

Pada Mei 2013 ini saja, AS diterjang badai dahsyat dua kali di Oklahoma. Puluhan jiwa melayang dan ribuan rumah, perkantoran, industri, fasilitas umum hancur. Sampai hari ini badai-badai dahsyat masih terus mengancam wilayah pantai Pasifik seperti Jepang, Filipina, dan Cina.

Melihat fakta dahsyatnya bencana alam akibat kerusakan lingkungan tersebut, kini manusia saatnya berpikir secara mendalam disertai renungan nurani:  mengapa semua ini terjadi? Mungkin ada orang yang berpikir: sejauh ini bumi masih bisa menyediakan kebutuhan sandang dan pangan untuk manusia. Tapi, faktanya?

Kelaparan masih terjadi di mana-mana. Kemiskinan, tulis Allen, masih mendera 75 persen umat manusia. Apa artinya? Ada ketidakadilan dalam distribusi pangan dan sumber daya. Seperempat orang-orang kaya telah menyerobot tiga per empat dari kekayaan bumi. Mengapa semua ini terjadi? Jawabnya: keserakahan. Mahatma Gandhi menyatakan, sumber daya bumi mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan nya. Dan pemenuhan keserakahan itu ironisnya dibungkus dengan istilah "pembangunan".

Lima belas abad lalu, Alquran telah mengungkapkan ironi kehidupan manusia yang merusak lingkungan tersebut. "Dan bila dikatakan kepada mereka, janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab, sesungguhnya kami orang yang mengadakan perbaikan. Mereka sesungguhnya sedang membuat kerusakan, tapi mereka tidak sadar (Al-Baqarah 11-12)".

Dari perspektif inilah, kita melihat pentingnya revitalisasi iman untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Revitalisasi iman ini amat urgen, karena --mengutip EF Schumacher dalam bukunya `Small is Beautiful'-- manusia dalam hidupnya tidak hanya butuh roti (nasi), tapi juga butuh sabda Ilahi. Alquran 15 abad lalu telah mengingatkan kita semua untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup agar kontinuitas kehidupan tetap berlangsung dengan indah dan nyaman. "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memper- baikinya (QS al-A'raf 85)".***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar