Senin, 10 Juni 2013

Menjadi Aktor Berdaya

Menjadi Aktor Berdaya
Sosiawan Leak ;   Teaterawan dan Penyair, Tinggal di Solo
KOMPAS, 09 Juni 2013
 
 



”Apakah kami sebagai aktor harus pasrah untuk berakting? Pastinya kami harus berpikir dengan baik. Kami harus tahu kenapa kami bermain, apa yang kami mainkan, dan siapa yang kami serang dalam permainan kami. Dan untuk itu kami harus tahu sisi psikologis permainan kami secara signifikan. Untuk memastikan apakah karakter itu positif atau negatif. Untuk memahami masyarakat, atau bagian mana dari masyarakat yang ingin dilawan oleh penulis naskah kami.”
(Surat Meyerhold, murid sekaligus aktor Stanislavsky untuk istrinya yang ditulis tahun 1901)

Dalam teater, aktor adalah kekuatan utama untuk menyampaikan pesan pertunjukan kepada penonton, baik pesan yang diusung teks (naskah) maupun pesan sutradara dan kelompok pertunjukan yang menafsir teks itu.

Artinya, ada kekuatan lain di atas panggung yang harus dicermati oleh aktor. Kekuatan itu mesti dipahami latar belakangnya, potensinya hingga relasi keberadaannya dengan diri aktor. Syukur-syukur kekuatan itu mampu menjadi teman seperjuangan aktor mencapai tujuan (menyampaikan pesan) pertunjukan.

Pesan yang disampaikan pertunjukan biasanya terdiri dari dua hal, yakni pesan tematik (pokok permasalahan yang menjadi sandaran alur cerita) dan pesan estetik (keindahan berikut takarannya) yang menyentuh hati penonton hingga memberi kesan kuat untuk lebih peduli (terlibat) terhadap permasalahan yang dipentaskan (saat melihat maupun seusainya).

Itu sejalan dengan Richard Boleslavsky (dalam The First Six Lessons) bahwa teater adalah keagungan penciptaan, kemurnian, keindahan, sesuatu yang lebih besar dari kehidupan. Ia menganggap teater adalah misteri besar di mana ada penggabungan antara dua gejala abadi, yaitu keinginan pada kesempurnaan dan keinginan pada keabadian. Ia juga meyakini bahwa dalam sebuah teater kreatif, sasaran seorang aktor adalah sukma manusia.

Artinya, ada beberapa pesan (dari luar dirinya) yang menjadi tanggung jawab aktor untuk menyampaikannya dengan utuh. Padahal sudah barang tentu (sebagai manusia) aktor mempunyai keinginan untuk menyelipkan pesan pribadinya yang mempresentasikan aktualisasi dirinya. Sementara sebagai manusia, ia memiliki potensi yang terbatas. Dia hanya punya tubuh dan beberapa hal ”di dalam” tubuh yang mendorong aktivitasnya, seperti kekuatan pikir dan rasa.

Stanislavsky sudah menyadari soal itu saat mengolah teori-teorinya bersama Moscow Art Theater (1921-1928). Di antara hal yang dia bangun dalam pola keaktoran masa itu adalah soal intelegensi. Stanislavsky juga sadar betul bahwa permainan terbaik seorang aktor akan ditampilkan oleh penjiwaan yang baik.

Di antara berbagai kekuatan dan kepentingan berikut aneka relasinya itulah aktor dengan keterbatasannya melaksanakan kewajiban. Satu-satunya hal yang memberi alasan bagus agar aktor tidak gentar melakukan kewajibannya adalah, keberadaan waktu untuk melakoni proses latihan dengan segala kemungkinan bertumbuhnya pemahaman hingga mencapai kematangan sikap saat pertunjukan.

Keterbatasannya sebagai manusia, kala dipadukan dengan konsep pertumbuhan pemahaman yang hanya bisa dicapai lewat proses, pada gilirannya akan menjelma keleluasaan dan keberdayaan di luar dugaan. Apa yang semula tak terbayangkan (terselip) dalam teks bakal mengemuka di pertunjukan. Apa yang semula tak terungkap lewat tafsir sutradara dan kelompok pertunjukan bakal terpapar saat peran yang dilakukan si aktor mampu tepat membongkarnya.

Suyatna Anirun mengatakan bahwa tubuh aktor bak tanah liat. Bisa dibentuk apa saja. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan peningkatan kualitas dari perangkat ”luar dan dalam” aktor demi terciptanya peristiwa teater yang utuh.

Keaktoran
Banyak definisi keaktoran yang hanya merujuk sebatas sebagai pelaku. Aktor hanyalah sekadar memainkan tokoh yang diperankan. Aktor yang baik adalah yang mampu memerankan tokoh di luar dirinya dengan tepat dan tuntas sehingga fisik dan karakter si aktor hilang sama sekali, berganti dengan fisik dan karakter tokoh secara total. Relasi yang terjadi antara aktor dan tokoh diformat sedemikian rupa hanya sebagai yang memerankan dan yang diperankan. Bahwa antara si aktor dan sang tokoh yang diperankan terpisah, tidak padu dan bukan sebagai satu kesatuan.

Hal tersebut agak rancu utamanya menyoal ”jarak” antara aktor dan tokoh pada saat proses pemeranan berlangsung. Sebab, senyatanya dalam proses pemeranan, semua hal yang dipakai sang tokoh untuk beraktivitas adalah empunya si aktor. Tubuh yang bergerak adalah tubuh si aktor, suara yang terdengar adalah suara si aktor, pikiran dan rasa yang menstimulus semua kejadian yang dilakukan oleh sang tokoh adalah milik si aktor. Senyatanya aktor dan tokoh adalah satu kesatuan yang saling melekat dan tidak terpisahkan.

Dengan demikian, jika merujuk pada definisi di atas, tokoh adalah sesuatu yang tiba-tiba menitis ke tubuh aktor untuk melakukan aktivitas tertentu dengan memanfaatkan semua perangkat dan fasilitas yang dimiliki si aktor. Lantaran tugas aktor adalah memerankan tokoh yang menitis tersebut dengan sebaik-baiknya, aktor pun membunuh semua potensi aktivitas yang menandai dirinya, berganti dengan potensi aktivitas yang merepresentasikan sang tokoh.

Maka, seapik apa pun permainan si aktor, ia tetap cuma diposisikan sebagai pelaku yang tak punya daya kritis dan (akhirnya) tak mempunyai kekuatan untuk melakukan penolakan, pergolakan hingga konflik batin saat pemeranan terjadi. Tak ada daya tawar bagi si aktor yang hanya sekadar mesti menerima dan menyerap semua informasi soal sang tokoh, lantas menyiapkan semua potensinya untuk mendukung keberadaan sang tokoh di pertunjukan. Padahal, Grotowski membuktikan bahwa penyatuan kekuatan psikis dan tubuh aktor adalah alat bagi aktor untuk melakukan kontak dan berada lebih dekat dengan sisi dalam batinnya.

Tidaklah elok jika keaktoran dipahami sebagai sekadar kemampuan untuk merepresentasikan segala aktivitas tokoh, bukan sebagai pergulatan di antara dua pihak (aktor dan tokoh) yang berlangsung terus-menerus selama proses pemeranan itu berlangsung. Padahal, pergulatan (konflik batin dan ketegangan fisik) di dalam satu tubuh yang berlangsung terus-menerus itulah yang seharusnya dijadikan fakta; bahwa selalu ada yang tumbuh dan melakukan proses pemahaman dalam setiap laku pemeranan. Pergulatan itulah yang menunjukkan keberdayaan si aktor kala berhadapan dengan sang tokoh. Keberdayaan yang juga pasti memperkuat posisi tawar sang tokoh kala dihadap- hadapkan dengan teks serta tafsir (sutradara, kelompok, dan penonton).

Konflik dan ketegangan yang tak pernah usai itu ibarat bara dalam setiap peristiwa kebakaran. Selama ada bara, akan selalu ada kemungkinan terjadinya api, kebakaran, di samping abu dan hawa panas. Dalam setiap proses pemeranan, bara semacam itu harus selalu dijaga!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar