Selasa, 11 Juni 2013

“The Godfather” Telah Pergi

“The Godfather” Telah Pergi
Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat 
Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 10 Juni 2013
 
 

Pak Taufiq Kiemas sudah pergi dan tak akan pernah kembali lagi. Kita tak akan bisa menemuinya seperti dulu. Berarti ini sebuah kehilangan. Terutama—dengan sendirinya—bagi keluarga tercinta dan yang mencintainya.

Ada keluarga inti: Mbak Mega dan Mbak Puan. Ada keluarga besar, para politikus dan pejuang asli di PDIP. Juga politisi “tiban”—orang-orang luar— yang menjatuhkan diri dan pasrah “bongkokan” kepada PDIP mengenai lapangan kerja dan rezeki di hari depan mereka. Untuk golongan itu, dulu ada istilah intern yang bernada keluhan, mungkin juga rasa kesal, tapi juga ejekan: “orang kos-kosan”.

Bila mereka kelihatan over-acting dan sampai menimbulkan masalah, kata “orang kos-kosan” akan diperdengarkan untuk mengingatkan posisi mereka di dalam partai. Pendeknya, mungkin, agar mereka tahu diri dan hal lain semacam itu. Bagi begitu banyak kalangan “dalam”, Pak Taufiq itu orang yang lembut dan hatinya mudah disentuh oleh derita orang lain. Ibarat kata, sebelum persoalan selesai dikemukakan, Pak Taufiq sudah siap membantu.

Menurut Indah, seorang kader perempuan, Pak Taufiq itu bukan sekadar orang besar, bukan sekadar negarawan. Beliau itu bapak yang mengayomi, sahabat yang hangat, dan guru ideologi yang mengasyikkan. Pihak lain menilai beliau tak pernah dendam kepada orang. Dalam acara tujuh puluh tahunnya beberapa saat lalu, ketika buku beliau di-launching, di bangku belakang—bukan di dalam forum secara terbuka—Romo Magnis menyebut Pak Taufiq itu politisi tulen.

Apa yang dimaui di dalam politik bisa dicapai. Bagi begitu banyak orang di lingkungan partai, yang meminta perhatian, minta bantuan, minta dukungan politik—minta di-DPR-kan, minta di-dubeskan, minta di-bupati-kan, di-gubernur- kan, atau yang meminta ini dan itu mengenai nasib politiknya, Pak Taufiq yang tak tegaan— lebih bagus murah hati dan penuh belas kasihan—bisa bertindak cepat dengan kemurahan hati seperti kemurahan “The Godfather” yang kita kenal di dalam Novel Mario Puzo, yang dibikin menjadi film dengan judul yang sama.

Berhubung The Godfather itu seorang ketua gangster, di sini harus cepat-cepat diproklamasikan bahwa sebutan The Godfather untuk Pak Taufiq hanya menyangkut kemurahan hatinya dan kesigapannya menangani persoalan orang lain, dengan rasa persahabatan yang hangat. Hampir semua orang—yang dekat secara istimewa tadi—memanggilnya Mas Taufiq. Tapi saya tak memiliki “kemewahan” memanggil beliau “Mas”.

Mungkin karena saya sekadar dekat—bukan dekat sekali— dengan beliau. Lagi pula saya bukan orang partai, baik yang pejuang asli PDIP, yang nasionalis maupun yang Soekarnois. Saya pun jelas bukan orang “kos-kosan” tadi. Adapun mengenai Pak Taufiq pribadi, saya kira beliau seorang nasionalis tulen. Mungkin bahkan Soekarnois sejati.

Tentu saja tak mengherankan bila begitu besar cinta beliau kepada orang-orang di sekitarnya, yang siap selalu membela partai dan loyal kepada partai. Pak Taufiq sadar sekali, di antara pendukung partainya ada kelompok yang disebut “Pangunci”, Paguyuban Ngunjuk Ciu. Artinya, orang-orang yang bersatu padu dalam kegemaran minum-minuman keras. Ini suka diejek orang-orang dari partai lain yang merasa dirinya lebih elite. Tapi Pak Taufiq tak peduli.

Pernah suatu hari, di Solo, ketika sedang “obrol-obrolan” mengenai kemenangan PDIP di bergabai tempat, baik dalam pilgub maupun pilbup, Pak Taufiq dengan santai mengomentari: “Padahal kita ini dianggap partai pemabuk.” Ungkapan itu penuh permaafan bagi para anak buah yang ada di dalam Pangunci tadi.

Beliau seolah mengatakan: apa boleh buat, baru pada tahap itu tingkat mereka, mau diapakan? Maka, sebagai The Godfather, semua diterima, semua diakomodasi, semua disayangi. Kepada kaum aktivis, yang tak langsung bicara perkara PDIP, pun selama pemikirannya mengandung tanda-tanda nasionalis, Pak Taufiq bisa gegap gempita mengulurkan tangan— maksudnya duit—untukmembantunya jika diadalam kesulitan.

Sikap dan komitmen untuk sigap menolong mereka yang terjepit macam ini merupakan terjemahan dari ideologi partainya yang memihak kaum lemah dan tertindas. Beliau sudah mengamalkan apa yang ideal itu di dalam tindakan nyata. Pak Taufiq tak banyak bicara. Sebagai politisi, beliau pun tak tampak gegap gempita seperti politisi lain yang merasa harus tampak di televisi. Beliau tak begitu artikulatif.

Dan memang bukan propagandis yang baik untuk dirinya maupun untuk partainya. Banyak tokoh yang pandai menjual diri. Pak Taufiq seperti sengaja menjauhi media. Tapi apa yang lebih tulen bagi seorang tokoh partai, selain punya hati, punya kehangatan dan kesiapsiagaan membantu pihak lain? Apa yang lebih penting di dalam PDIP, partainya wong cilik selain kesediaan mengakomodasi dan memberi tempat kepada mereka yang terbuang dan membuat mereka merasa ada harganya? Jawabannya, mungkin, tidak ada.

Selalu punya hati dan punya waktu untuk orang lain dan menjadi pemurah, seperti kemurahan hati The Godfather, sudah lebih dari segalanya. Tapi The Godfather telah pergi. Buat Mbak Mega, saya sampaikan, saya juga kehilangan. Tapi The Godfather pergi bukan hanya derita keluarga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar