Rabu, 12 Juni 2013

Manuver dan Kemunafikan PKS

Manuver dan Kemunafikan PKS
Ferry Ferdiansyah ;   Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mercubuana Jakarta, Program Studi Magister Komunikasi
OKEZONE, 11 Juni 2013

Sekretariat Gabungan (Setgab) minus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), akhirnya menyepakati kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan pemberian kompensasi. Menyikapi rencana ini, PKS tetap pada pendiriannya, bersikukuh menolak kenaikan harga BBM. Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengiginkan agar rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM dapat terealisasi dan berjalan dengan baik. Untuk itu SBY minta para Parpol koalisi mengawalnya.

Rencana kenaikan ini didasari beban subsidi yang menjulang tinggi. Asumsi ini didasari harga bensin premium yang dijual Rp4.500/liter, padahal biaya memproduksi bensin premium sekira Rp9.000/liter. Untuk menutupi kekurangannya pemerintah menanggung kisaran Rp4.500/liter. Efeknya, negara terus menerus menanggung beban setiap tahun hingga Rp370 triliun.

Merujuk data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), hampir 50 persen orang kaya di Indonesia yang sebenarnya menikmati 90 persen subsidi BBM. Sedangkan orang miskin yang menikmatinya hanya sekira 4 persen saja. Penilaian ini didasari kehadiran mobil pribadi yang mencapai 10,5 juta unit, dan tiap tahun bertambah 1 juta unit.

Fakta ini sekaligus, menunjukkan telah terjadi kesalahan dalam penyaluran subsidi, serta mengorbankan program produktif untuk masyarakat tak mampu, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan juga dana sosial ke masyarakat miskin. Bisa dibayangkan setiap jebol satu juta kiloliter, pemerintah harus menambah biaya hingga Rp5 triliun.

Terhitung 2013, tercatat alokasi anggaran untuk subsidi BBM mencapai Rp274,7 triliun. Jumlah BBM yang diimpor Indonesia cukup besar. Pada Februari lalu saja, tercatat Indonesia telah mengimpor BBM senilai USD2,57 miliar atau sekira Rp24,4 triliun, angka ini telah memicu neraca perdagangan menjadi defisit.

Kekhawatiran kenaikan ini akan membebani rakyat, sebelumnya telah terjawab dengan adanya kesepakatan memberikan kompensasi kenaikan harga BBM dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp150 ribu per bulan selama lima bulan. Penulis meyakini, bantuan ini akan berguna untuk melindungi masyarakat tak mampu dari imbas kenaikan BBM. Rencananya bantuan ini dibagikan kepada 18,5 juta masyarakat atau sekitar 30 persen warga miskin di Indonesia. Selain itu pemerintah telah menggodok program bantuan lainnya. Seperti penambahan kuantitas pemberian beras miskin (raskin) dari 13 kali menjadi 14 kali kepada 18,5 juta masyarakat, lalu batuan siswa miskin hingga Rp34 triliun dan subsidi di bidang transportasi sebesar Rp5 triliun.

Menyikapi pandangan PKS, penilaian penulis, partai ini telah melakukan manuver politik untuk mendapatkan keuntungan politik menuju 2014. Sepatutnya, sebagai partai pendukung pemerintah, Partai di bawah kepemimpinan Anis Matta ini mampu menggiring opini publik memberikan penjelasan kepada masyarakat alasan kenaikan BBM, serta memberikan dukungan, bukan sebaliknya, menyerang balik pemerintah dengan membentangkan spanduk di berbagai sudut wilayah. Sangat jelas, sikap ini bukan hanya menyudutkan pemerintah tetapi telah mencerdai kesepakatan koalisi.

Pada hal, sebelum adanya kesepakatan untuk bergabung dalam koalisi, semua partai anggota koalisi pemerintahan, yakni PD, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB telah menandatangani code of conduct atau kode etik koalisi. Melawan keputusan Setgab koalisi berarti otomatis keluar koalisi. Kesepakatan ini merupakan penyempurnaan tentang Tata Etika Pemerintahan RI 2009-2014 yang ditandatangani pada 15 Oktober 2009. Dalam kesepakatan tersebut, tertera pada nomor urut 1, ditegaskan semua koalisi wajib sejalan dan tulus dalam berkoalisi. Nomor dua mengatur keputusan Presiden menyangkut kebijakan politik strategis dan penting wajib didukung dan diimplementasikan di pemerintahan maupun di DPR.

Faktanya, PKS selama ini terlihat belum sepenuh hati bersikap mendukung pemerintah. Dalam arti sesungguhnya, PKS masih setengah hati dalam berkoalisi dengan pemerintah. Alasan penolakan dan tidak sejalan dengan pemerintah menunjukkan partai ini lebih mengutamakan pencitraan partainya dalam menarik simpatik dibandingkan harus mematuhi kesepakatan koalisi. Terkesan PKS hanya mencari kepentingan sesaat dengan melakukan pencitraan di setiap kebijakan pemerintah, tanpa memperdulikan kesepakatan yang ada di dalam koalisi itu sendiri. Upaya PKS menjadikan isu penolakan kenaikan BBM menunjukkan kegalauan PKS menyikapi permasalahan yang mendera internal partainya.

Sikap galau ini dilandasi kepanikan PKS yang mulai ditinggalkan oleh kelompok swing voters dan para simpatisannya, akibat kekecewaan pasca terungkapnya kasus korupsi daging sapi yang melibatkan mantan presidennya, Lutfhi Hasan Ishaaq. Pada perkembangan kasus ini, merembet ke Hilmi dan Anis, serta diperkeruh munculnya nama-nama sejumlah wanita yang dikaitkan dengan petinggi dan orang dekat PKS. Menyikapi permasalahan ini PKS tak tinggal diam. Partai yang menjadikan ikon putih dan bersih terus berkoar melakukan perlawanan dan menilai adanya konspirasi di balik permasalahan ini. Namun, hingga saat ini apa yang dilakukan PKS, malah membuat partai ini semakin tersudut.

Pertentangan sikap yang dilakukan PKS ini sangat jelas bukan sebatas BBM semata, sikap PKS pada saat pemilihan ketua KPK pun, memiliki pandangan tersendiri. Dalam kasus Century pun PKS justru menyerang balik pemerintah.

Perbedaan sikap yang dilakukan PKS dalam mengusulkan hak angket pajak yang akhirnya dibatalkan pada rapat paripurna di DPR RI sangat jelas memperlihatkan bagaimana keberadaan partai tersebut di barisan koalisi. Perbedaan sikap yang ditunjukkan PKS selama ini terhadap pemerintah, merupakan bentuk perlawanan terhadap komitmen koalisi yang sudah disepakati bersama.

Meski, pada akhirnya PKS menyetujui kenaikan harga BBM, seperti yang disampaikan anggota Majelis Syuro PKS, Tifatul Sembiring mengatakan, Ketua Majelis Syuro Hilmi Aminuddin sudah sepakat mendukung Yudhoyono, terkait kenaikan harga BBM. Namun, sikap itu berbeda dengan pernyataan politisi PKS yang diungkapkan ke publik.

Sangat jelas manuver PKS, tindakan tidak etis dan telah melahirkan persepsi kurang baik bagi pemerintahan SBY. Ditambah PKS yang seakan tidak pernah searah dengan pemerintah. Terlihat bagaimana PKS melakukan pencitraan agar terkesan peduli terhadap keadaan rakyat. Sepatutnya PKS intorspeksi dan menyadari langkah yang selama ini dilakukan. Keberadaan PKS di dalam kubu pemerintahan, seakan-akan sebagai partai oposisi bukan sebagai bagian dari koalisi. Nantinya, jika partai dakwah ini dikeluarkan dari koalisi, dapat dipastikan PKS akan mengklaim sebagai partai yang terdzalimi. Sikap ini sangat jelas menunjukan kemunafikan PKS***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar