Kamis, 13 Juni 2013

Menjinakkan Istanbul

Menjinakkan Istanbul
Dinna Wisnu ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 12 Juni 2013
 
 

Minggu ini kita dikejutkan oleh berita seputar keresahan politik di Turki akibat protes besar-besaran yang masih belum berakhir di Alun-alun Taksim Square, Istanbul.

Puluhan ribu demonstran dari berbagai kalangan berbulat tekad menginap di Taksim Square dan menolak menyerah kepada tekanan ratusan polisi yang memaksa mereka untuk membubarkan diri. Mediamemberitakan, protes itu muncul akibat rencana pemerintah menggusur area tersebut dan menggantikannya dengan replika bangunan bermodel barak zaman Ottoman dan pusat perbelanjaan yang disinyalir hanya akan menguntungkan kroni Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan.

Apakah keresahan tersebut perlu diwaspadai sebagai awal dari sesuatu yang mengguncang stabilitas pemerintahan Turki? Kejadian protes sebesar ini memang mengejutkan karena sejumlah hal. Pertama, selama ini Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dikenal luas sebagai pendukung demokrasi. Pendukungnya pun besar jumlahnya. Dalam Pemilu 2011 lalu Partai AKP (Justice and Development Party) yang dipimpin Erdogan menang telak, merebut 326 kursi dari total 550 kursi di parlemen.

Sebanyak 87% penduduk di Turki ikut serta dalam pemilu tersebut dan ini kali ketiga Erdogan memenangi pemilu dan terpilih sebagai perdana menteri Turki. Kedua, popularitas Erdogan disinyalir masih sangat kuat. Dengan kericuhan di Taksim Square pun, jajak pendapat menunjukkan 53% pemilih masih berniat mempercayakan pemilihan presiden pada Partai AKP pada 2014.

Partai AKP yang berakar pada nilai-nilai islami selama ini dianggap berhasil membawa pertumbuhan ekonomi yang kuat di Turki dan sukses mengawal negara itu dalam lautan ketidakpastian politik luar negeri di Timur Tengah. Ketiga, Turki selama ini “diandalkan” negara-negara Barat sebagai wilayah buffer (penyangga) di Timur Tengah menyusul rangkaian revolusi di sejumlah negara di kawasan tersebut.

Artinya seharusnya tidak ada tekanan eksternal yang menginginkan revolusi yang mengganggu stabilitas politik di Turki. Perdana Menteri Erdogan pun begitu percaya diri, kepemimpinannya kali ini akan menguntungkan negara-negara Timur Tengah di sekeliling Turki seperti Lebanon, Suriah, Palestina, dan bahkan Bosnia. Keempat, di antara negaranegara TimurTengahdannegara yang dipimpin partai beraliran Islam, Turki dikenal luas sebagai negara yang patut dijadikan model relasi harmonis antarkelompok yang berbeda kepentingan di Turki.

Karena alasan tersebut, tak heran jika Erdogan tersinggung jika negaranya diramalkan akan mengalami revolusi politik sebagaimana dialami negaranegara Timur Tengah lainnya. Ia merasa masih di atas angin. Desau angin panas dari protes besar di Taksim Square, yang kabarnya sudah menyebar ke puluhan kota lain di Turki, dianggap Erdogan sebagai semata kontes popularitas dan uji coba atas kemampuan pemerintah untuk tegas pada demonstran.

Sejumlah analis menyimpulkan, kondisi di Turki belum mengarah pada upaya konkret untuk melakukan penyingkiran Erdogan dari tampuk kekuasaan. Demonstrasi besar itu dianggap sebagai protes saja; suatu upaya mengingatkan perdana menteri agar tidak besar kepala dan lebih peduli pada suara rakyat. Tak ada gerakan politik dari oposisi ataupun kelompok militer yang mengarah pada penyingkiran Erdogan.

Di sisi lain, saya melihat, catatan tadi belum lengkap. Seseorang yang terpilih berulangulang dan tidak punya lawan politik yang menyaingi popularitasnya, meskipun hidup dalam sistem demokrasi, berisiko untuk menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan diri sendiri atau kepentingan partisan. Sejumlah media massa di Turki mencatat kecenderungan Erdogan untuk bersikap otoriter.

Indikatornya adalah pilihan-pilihan diksi kalimat yang terkesan arogan dan tanpa kompromi. Dalam menghadapi demonstran di Taksim Square, Erdogan menuding para demonstran sebagai looters (penjarah). Dia pun sesumbar bahwa kesabaran ada batasnya, bahkan Erdogan menantang para pendukungnya untuk melakukan kontrademonstrasi. Cara-cara yang disuarakan Erdogan sungguh jauh dari kesan seorang negarawan yang cinta damai dan demokrasi.

Kita tahu persis, demonstran punya perilaku psikologis sebagai suatu kerumunan; jika ditantang dengan kalimatkalimat pembakar semangat, gelora euforianya pun makin menggelegak. Bukankah itu sama halnya dengan menuangkan bensin ke tengah api yang membara? Tambahan lagi, saya melihat, Turki tidak bisa dikatakan sepenuhnya imun dari kemungkinan gejolak revolusi seperti di negara-negara lain di Timur Tengah.

Gejolak revolusi Arab (dikenal dengan istilah Arab Spring) punya benang merah yang sama yakni kemarahan rakyat yang memuncak kepada pemimpinnegara masing-masing yang dianggap menangguk untung demi diri dan kelompok sendiri, sambil mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Di sini bukan fakta yang penting untuk diwaspadai, tetapi persepsi yang berkembang dalam masyarakat.

Solidaritas dari orang-orang yang merasa terzalimi sangatlah patut diwaspadai karena ini bisa berkembang pada keinginan untuk merusak tatanan sosial politik yang selama ini dianggap melanggengkan tekanan tadi. Ada baiknya kita memutar ulang kejadian protes besar di Alun-alun Tahrir di Mesir. Selama berpuluh-puluh tahun Mesir dianggap sebagai pusat peradaban yang dibanggakan banyak suku bangsa; serupa dengan Turki. Kekuasaan Presiden Hosni Mubarak bagai tak tergoyahkan.

Dia berhasil menekan pengaruh sejumlah kelompok-kelompok oposisi dengan cara memberikan sejumlah peluang politik (sekadar agar mereka senang), tetapi membatasi gerak-gerik mereka agar jangan mengancam legitimasi kepemimpinannya. Tetapi, pada satu titik muncul momentum yang membuat segala lini di Mesir bersepakat untuk muak terhadap Hosni Mubarak dan memintanya lengser.

Setelah 18 hari berdemonstrasi, akhirnya kerumunan masyarakat di Alun-alun Tahrir meneriakkah “Irhal, Irhal, Ya Mubarak!” (Pergi, Pergi, Wahai Mubarak!) dan kurang dari 24 jam kemudian Hosni Mubarak mengeluarkan pernyataan yang dibacakan Wakil Presiden Omar Sulaiman bahwa ia mundur. Apakah para demonstran mengantisipasi setelah itu kekuasaan Mesir diserahkan pada dewan militer yang tidak demokratis? Tidak.

Apakah kemudian mereka berpikir akan konsekuensi lanjutan dari pemilu yang memenangkan Mohamad Mursi sebagai presiden? Tidak. Masyarakat yangberkerumun karena alasan ketidakadilan tidak bisa dianggap angin lalu. Euforiarevolu sidiTimurTengah terbukti mudah menular ke negara-negara tetangga karena model pengelolaan ekonomi dan politik di negara-negara itu mirip-mirip, sementara modal sosialyangberkembangdiantara masyarakatnya pun mirip.

Dari segi ekonomi, sumber-sumber devisa negara dikuasai oleh segelintir kecil pengusaha yang biasanya dekat dengan pucuk kekuasaan. Artinya ada potensi kecemburuan sosial pada yang merasa terpinggirkan. Dalam era globalisasi negara-negara ini sama-sama membuka diri terhadap datangnya investasi asing untuk masuk secara relatif bebas.

Akibatnya yang bisa memanfaatkan kesempatan ekonomi tersebut akan semakin kaya, tetapi yang tak sanggup (termasuk karena masuk dalam kategori miskin atau tersingkirkan secara politik) akan semakin termarginalkan. Selain itu, meskipun pusatpusat penelitian dan pendidikan berkembang pesat di negaranegara Timur Tengah, kebebasan pers dan kebebasan berorganisasi atau mengemukakan pendapat juga sangatlah terbatas.

Kelompok-kelompok masyarakat sipil tidak bebas berkembang. Padahal sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan meluasnya penggunaan teknologi informasi, kelompok masyarakat terdidik punya kebutuhan untuk menyuarakan aspirasinya. Tidak hanya lewat pemilu, tetapi juga lewat unjuk rasa dan kegiatan kemasyarakatan yang dianggap “halal” oleh pemerintahnya.

Artinya kalaupun Perdana Menteri Erdogan tidak tersingkir karena protes di Taksim Square, pemerintahan Erdogan dan Partai AKP tidak bisa menganggap perkembangan di Turki sebagai “business as usual”. Keberhasilan masyarakat untuk melakukan demonstrasi sedemikian lama di pusat kota adalah bekal pengalaman untuk menekan pemerintah yang dianggap tidak peduli pada suara rakyat.

Karena kondisi politik secara umum di Timur Tengah masih sangat rentan gejolak, menyusul pembentukan banyak faksi-faksi politik di seantero Timur Tengah yang rela bergerilya demi memenangkan kekuasaan, Istanbul perlu segera dijinakkan. Pertemuan yang kabarnya dijadwalkan Erdogan dengan sejumlah demonstran pada hari ini semoga mengingat betul betapa tipisnya batas antara kepercayaan masyarakat dan rasa muak.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar