Kamis, 13 Juni 2013

PRTA: Memanusiakan atau Eksploitasi ?


 
PRTA Memanusiakan atau Eksploitasi ?
  M Ghufran ;   Sekretaris Lembaga Perlindungan Abak (LPA) Sulsel
Tribun Timur, 12 Juni 2013
 
 
 

 
Dari awal tahun hingga bulan Mei 2013, tiga kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga anak (PRTA) dilaporkan ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan. Tiga kasus ini memiliki kesamaan karakteristik, yaitu : (1) korban berumur antara 13-15 tahun dan berjenis kelamin perempuan; (2) korban tidak tamat SD, bahkan ada yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal meskipun menetap di salah satu Kabupaten yang menerapkan pendidikan gratis 12 tahun atau sampai tamat SMA; (3) mengalami kekerasan (fisik dan nonfisik) oleh majikan; (4) memiliki jam kerja yang sangat panjang; (5) diberi upah sangat rendah, dan seorang di antara mereka tidak pernah menerima upah sama sekali.

Sedikit menggali ketiga pengaduan eksploitasi PRTA ini, satu orang ternyata bekerja pada majikan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan orang tuanya. Namun demikian, ternyata PRTA ini tidak mendapatkan perlakuan manusiawi meskipun ketika ditanya, sang majikan berkeras bahwa PRTA tersebut dianggap anak angkat karena dibawa ke rumah sejak belum berumur 5 tahun. Anak tersebut tidak pernah disekolahkan dan praktis mengerjakan hampir seluruh pekerjaan dalam rumah majikannya ini. Majikan menolak disebut mengeksploitasi dengan dalih memberikan tempat untuk tinggal, berikut makanan dan pakaian. Akses anak pada pendidikan dihambat secara sengaja karena sang majikan merasa praktik sedemikian juga dilakukan oleh kerabat dan kenalan lainnya di masyarakat. Anak tanpa disadari telah beralihperan menjadi pekerja rumah tangga (PRT), dengan beban kerja jauh melampaui usianya, dan menerima kekerasan verbal dalam bentuk teguran keras atau kata-kata kasar apabila majikan tidak puas dengan hasil kerjanya.

Saat ini, dua dari tiga kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap PRTA tersebut sedang dalam proses peradilan. Sang majikan melanggar sejumlah instrumen hukum di antaranya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU No. 23/2004), Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002), dan Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003). Dari sudut pandang isu pekerja anak, kasus ini juga merupakan pelanggaran dari UU No 20 tahun 1999 yang mengesahkan Konvensi ILO 138 tentang Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja dan UU No. 1 tahun 2000 yang merupakan pengesahan Konvensi ILO nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Di daerah lain, dan boleh jadi juga terjadi di Sulawesi Selatan, dilaporkan tindak perundungan seksual terhadap PRTA, baik oleh majikan atau anggota keluarga di rumah tinggal majikan. Banyak kasus yang tidak ditangani secara baik dan tidak jarang juga korban menarik pengaduan karena bersedia berdamai dengan majikan. Ada indikasi intimidasi ketika para korban tidak mendapatkan perlindungan pasca pengaduan tindak kekerasan yang mereka alami.

PRTA berakar cukup kuat dalam praktik kebiasaan masyarakat Indonesia atas nama hubungan kekerabatan, cara praktis mengangkat dari kemiskinan dengan memenuhi kebutuhan pangan dan sandang saat anak menjadi penghuni rumah majikan, serta acap kali menjadi pilihan terbaik karena umumnya PRTA tidak menuntut upah layak, gampang diatur, dan penurut. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian diberi beban ganda menjadi pengasuh anak sementara mereka berjarak umur tidak terlalu jauh dari batita (anak berusia di bawah tiga tahun) yang mereka asuh. Menyerahkan pengasuhan anak kepada seorang PRTA adalah keputusan tidak rasional, mengingat si PRTA sendiri masih membutuhkan pengasuhan dan perlindungan. Pada rumah-rumah keluarga urban kelas menengah, para PRT juga diminta untuk melayani kebutuhan anggota keluarga yang sudah lanjut usia, tanpa pengetahuan sama sekali tentang perawatan bagi manula. Tidak mengherankan bila muncul anggapan bahwa PRT adalah penghuni rumah yang pertama kali terjaga di dini hari dan paling terakhir tidur pada malam hari. Ini dapat menggambarkan lama dan besarnya beban kerja mereka.

Dalam praktik masyarakat kita, tak ubahnya PRT dewasa, PRTA juga diberi label panggilan ‘pembantu’. Sebutan yang begitu akrab di pendengaran kita sehari-hari ini mengentalkan stigma bahwa para PRT berada pada posisi rendah, tak punya posisi tawar dan terpinggirkan. Banyak yang bersikukuh mempertahankan kata pembantu karena beranggapan para PRT memang berposisi sebagai tangan kanan ibu rumah tangga yang bantuannya diperlukan untuk mengurus beberapa kebutuhan sehari-hari. Faktanya, banyak dari mereka yang bekerja lebih dari rata-rata 8 jam sehari, tanpa upah atau diberi upah sekadarnya, tidak ada libur mingguan atau cuti, tidak memperoleh tunjangan hari raya, tanpa fasilitas layanan kesehatan ketika sakit, dan sewaktu-waktu dapat dipecat apabila majikan menghendakinya. Menyimak fakta ini, menyebut PRT sebagai pembantu tak ubahnya memosisikan mereka pada level yang lebih rendah. Kata pembantu dimaknai sekadar sebagai eufemisme atau penghalusan dari kata babu, jongos, atau kacung yang memang kedengaran sangat feodal dan tidak menghargai martabat dan harkat kemanusiaan.

Tak sedikit pandangan resisten terhadap upaya melindungi anak agar tidak dipekerjakan sebagai PRT. Salah satu argumen yang disampaikan adalah dengan membiasakan anak bekerja sejak usia dini maka akan membekali mereka dengan keterampilan untuk bekerja di usia dewasa. Ini didukung pula oleh kenyataan bahwa banyak anak di bawah umur yang memang ingin bekerja sebagai PRT karena desakan ekonomi. Pendek kata, ada demand dan supply. Sayangnya, alih-alih memberikan perlindungan dan benefit ekonomi terhadap anak, yang terjadi kemudian adalah tindakan eksploitatif. Banyak PRT dewasa menghadapi situasi kerja yang tidak manusiawi, tetapi tak berdaya untuk melepaskan diri karena tak memiliki peluang-peluang ekonomi lain dan pengetahuan tentang haknya sebagai pekerja, sehingga anak yang bekerja sebagai PRT berada pada posisi yang berkali-kali lipat lebih rentan terhadap eksploitasi.

Ketika ada anak yang bekerja sebagai PRT, begitu mudah orang menganggap sebagai bagian dari kelanjutan tradisi menitipkan anak pada keluarga atau kerabat. Padahal anak-anak tersebut bekerja di ranah domestik tanpa pengawasan dan perlindungan. Hubungan majikan dan PRTA adalah hubungan ekonomi yang eksploitatif, jauh dari setara, karena posisi anak yang sangat lemah dari sudut apa pun. Manakala terjadi tindakan tidak menyenangkan bagi PRT/PRTA, meskipun tidak dapat menerimanya, mereka terlalu jauh berjarak dengan akses untuk mengadu atau melaporkan tindakan yang diterima akibat pola kondisi kerja yang berada dalam lingkup rumah tangga. Tak tersentuh oleh pengawas tenaga kerja sebagaimana yang lazim terjadi pada jenis-jenis pekerjaan lain. Para majikan yang mengambil anak sebagai PRT, yang murni untuk bekerja, tentu bermaksud menekan biaya pengeluaran rumah tangga karena tak perlu membayar upah mereka sebesar upah kepada PRT dewasa, dengan beban kerja yang sama.

Menanti Regulasi
Dunia internasional telah menyepakati, bahwa PRT adalah pekerja, sehingga hubungan mereka dengan majikan adalah hubungan kerja dan PRT berhak menikmati hak-hak mereka seperti pekerja lainnya.Tidak jelas mengapa Pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT. Sampai saat ini pun, RUU tentang Perlindungan PRT belum disahkan, dan sejumlah kalangan masih mempersoalkan beberapa klausul yang dianggap masih sumir. Tampaknya belum terwujud kesepahaman nasional tentang mendesaknya instrumen perundang-undangan yang memberikan perlindungan pada para PRT, padahal Indonesia sempat dikenal sebagai negara pengirim tenaga PRT ke beberapa negara di Asia dan Timur Tengah. Pada banyak keluarga di negara ini, PRT termasuk PRTA melakukan pekerjaan dengan ketidakjelasan status sebagai pekerja, tanpa aturan, tanpa kontrak ataupun perjanjian kerja, tanpa pengawasan, tanpa perlindungan sosial ketenagakerjaan. Akibat absennya aturan dan campur tangan negara, hubungan PRT/PRTA dengan majikan menjadi hubungan kekuasaan, dan karena hubungan kekuasaan itulah, kerap terjadi penganiayaan terhadap PRT/PRTA.

Kalangan yang fobia terhadap regulasi perlindungan PRT mungkin perlu berpikir sejenak. Keluhan klasik selama ini ketika majikan bersikap keras terhadap PRT adalah karena mereka tidak terampil. Agen penyalur PRT pun tidak memberikan pelatihan pada para calon PRT untuk kesiapan mereka bekerja. Anak di bawah umur diterima dengan pintu terbuka untuk bekerja tanpa memerhatikan kondisi fisik, psikis, dan ketergantungan anak pada orang dewasa di sekitarnya, termasuk kebutuhan anak untuk mendapatkan perlindungan. Regulasi perlindungan PRT sejatinya bukan berdiri di atas kepentingan PRT lalu berseberangan dengan para majikan atau pengguna jasa. Regulasi ini memberikan kejelasan tentang hak dan kewajiban pekerja dan pengguna jasa, yang diikat dalam bentuk perjanjian kerja. Tidak mempekerjakan anak sebagai PRT adalah satu bagian yang diharapkan terakomodir dalam RUU, karena sekali lagi, sesuai undang-undang, anak tidak seharusnya bekerja di saat mereka berada dalam usia mengenyam pendidikan, disamping keterbatasan fisik dan psikis anak, serta kesenjangan besar antara keterampilan kerja yang diharapkan dengan kondisi anak.

Pekerjaan Terburuk

PRT, apalagi PRTA sangat rawan eksploitasi karena berada di ranah domestik dan tidak tersentuh oleh publik dan negara. Bahkan PRTA masuk dalam Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dalam UU No. 1 tahun 2000 dan Keppres No. 59/2002. Jam kerja yang panjang, dengan tuntutan bekerja ala orang dewasa tanpa cukup istirahat dan bahkan diabaikan haknya untuk bersekolah dan bertumbuhkembang secara alami, adalah situasi yang tak dapat ditolerir. Anak tak mungkin melindungi diri dan haknya sendiri tanpa peran orang dewasa.

Oleh karenanya, komitmen keberpihakan bagi para PRTA menjadi desakan dunia internasional pada momentum Hari Dunia Menentang Pekerja Anak tahun ini. Indonesia di tahun 2003 saja sudah memperkirakan ada sekitar 700 ribu PRTA, 90 persen diantaranya anak perempuan (ILO) dengan usia mulai 12 tahun dan umumnya berasal dari pedesaan. Angka ini tentu sudah berlipat ganda selang 10 tahun kemudian, dan belum ada perubahan signifikan terhadap upaya melindungi anak dari eksploitasi sebagai PRT.

Hari ini dunia internasional memeringati Hari Menentang Pekerja Anak. Sudah saatnya kita menyudahi salah kaprah bahwa memperkerjakan anak sebagai PRT adalah tindakan memanusiakan mereka atas nama taraf hidup yang lebih baik dengan ukuran mendapatkan tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Mempekerjakan mereka sebagai miniatur PRT dewasa adalah jauh dari memanusiakan, tetapi mengeksploitasi secara sistematis. Tak kalah penting dari itu, mari menjadi bagian dari komunitas yang tidak lagi menyebut kata pembantu dan mengkampanyekan penyebutan istilah Pekerja Rumah Tangga. Pekerjaan Rumah isu PRT masih menggunung untuk Indonesia, tetapi mulailah dengan menyebut profesi mereka dengan rasa respek.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar