Kamis, 13 Juni 2013

Antara Daging dan Berlian

Antara Daging dan Berlian
Maria M Bhoernomo ;   Budayawan di Kudus, Jateng
SUARA KARYA, 12 Juni 2013


Reformasi di Indonesia yag sudah berlangsung 15 tahun silam ternyata tidak dipandang sebagai semangkok berlian melainkan hanya dilihat seperti sepiring daging. Kini, buah manis reformasi seperti liberalisasi politik dan ekonomi selalu diperebutkan oleh elite politik untuk menggendutkan perut bersama keluarga dan pejabat-pejabat bawahannya serta kolega-koleganya saja. Akibatnya, perilaku serigala menjadi populer sehingga banyak rakyat ikut-ikutan berlomba-lomba memilih rebutan sepiring daging dan menyampakkan semangkok berlian.

Kini, bangku sekolah pun dipandang bukan sebagai semangkok berlian melainkan sebagai sepiring daging yang diperebutkan oleh anak-anak bangsa. Konkretnya, banyak anak ingin sekolah bukan karena supaya berilmu tinggi melainkan supaya memperoleh ijazah untuk meraih pangkat tinggi. Sebab, berilmu tinggi tidak menjamin seseorang bisa gendut, sedangkan pangkat tinggi akan membuat seseorang menjadi gendut.

Sementara itu, makin banyak gelar sarjana mangkrak seperti semangkok berlian di depan serigala. Konkretnya, banyak sarjana Indonesia yang benar-benar berilmu tinggi kemudian mencari pekerjaan sampai ke luar negeri. Sedangkan sumber daya alam Indonesia dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing karena yang berkuasa lebih memilih sepiring daging daripada semangkok berlian.

Layak dicemaskan, jika liberalisasi kita telanjur dianggap seperti sepiring daging, sehingga banyak orang pintar yang lebih suka bekerja dan tinggal di luar negeri, kalau di negeri sendiri tidak bisa ikut mengeruk banyak kekayaan dengan halal karena korupsi dan suap menyuap makin menjadi-jadi.

Jika tidak ada perubahan, bisa jadi ke depan akan semakin banyak warga negara yang merasa pintar dan tidak ikut-ikutan berperilaku seperti serigala tapi lebih memilih untuk meninggalkan Indonesia, karena di negara-negara lain mereka lebih dihargai dan juga bisa hidup aman dan nyaman serta terhormat.
Jika ada yang tetap berharap reformasi di Indonesia bagaikan semangkok berlian, bisa jadi akan selalu kecewa, karena semakin banyak warga negara yang berperilaku seperti serigala.

Di mata mereka yang sudah berperilaku seperti serigala, semangkok berlian tidak akan dipedulikan karena tidak bisa dimakan langsung untuk menggendutkan diri dan keluarganya meskipun mereka mungkin mengerti bahwa semangkok berlian itu bisa menjadi aset besar untuk membangun masa depan bangsa.

Dengan kata lain, mereka yang kini berkuasa dan berperilaku seperti serigala mungkin merasa rugi jika tidak memilih sepiring berlian yang bisa langsung dimakan, karena masa berkuasanya dibatasi hanya 10 tahun saja. Dalam hal ini, mereka merasa percuma untuk memikirkan masa depan bangsa yang bisa dibangun dengan modal semangkok berlian.

Contohnya, pilkada diselenggarakan dengan menghabiskan banyak dana sehingga akibatnya banyak daerah tidak mampu memperbanyak sekolah, bahkan banyak gedung sekolah dibiarkan roboh. Dalam hal ini, demokrasi yang seharusnya menjadi modal pembangunan (terutama di daerah) malah justru memiskinkan daerah.

Lebih gamblangnya, jika elite politik di daerah-daerah berhasil menjadi kepala daerah, nyatanya tidak begitu peduli berapa anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Mereka hanya sibuk memperkaya diri agar mampu memperpanjang kekuasaan atau bahkan mewariskan kekuasaan kepada anggota keluarganya.

Serba Impor

Kini, karena perilaku pemimpin kita sudah meniru serigala maka kemudian lebih suka impor daging, beras, gula dan bahan kebutuhan hidup lainnya daripada serius mengembangkan usaha peternakan dan pertanian. Dalam hal ini, lahan yang luas yang seharusnya menjadi seperti semangkok berlian semakin terabaikan. Keperluan sandang juga harus diimpor, karena menanam kapas dan mengolahnya menjadi kain tak lagi menjadi bagian kebudayaan bangsa, gara-gara tidak didukung penuh oleh kebijakan pemerintah. Bahkan, harga bawang yang sempat melambung tampak sengaja direkayasa untuk memaksa semua pihak agar bersedia mengamini program serba impor yang hanya menguntungkan kalangan tertentu yang sudah berperilaku seperti serigala.

Ke depan, serba impor bisa jadi bakal lebih dipilih oleh jajaran pemimpin bangsa ini karena mereka ikut-ikutan berperilaku seperti serigala. Dengan kata lain, semua hanya akan dihitung untung ruginya secara langsung saja, meskipun sudah nyata-nyata akan semakin memperlemah bangsa dan negara.

Gara-gara jajaran pemimpin berperilaku seperti serigala yang lebih suka memilih sepiring daging daripada semangkok berlian, makin banyak investor asing berdatangan menawarkan fee yang menggiurkan untuk semakin leluasa menjajah kita.

Kini, makin banyak invertor asing berdatangan mengincar semangkok berlian dalam bentuk proyek-proyek pembangunan jalan tol, turisme, migas, waralaba, sampai dengan menguasai perdagangan air minum kemasan dan berbagai keperluan dapur dan sumur semua keluarga.

Konkretnya, makin lama bangsa dan negara kita merdeka bukan malah tambah kaya melainkan justru tambah miskin, terbelit utang, dan semakin tidak mampu mandiri dalam banyak hal. Sementara itu, hanya mereka yang berkuasa yang tambah gendut perut dan kantongnya karena memang selalu berperilaku seperti serigala.

Tentu akan lebih memprihatinkan, jika semangkok berlian dalam bentuk anggaran pendidikan dan kebudayaan yang cukup besar juga akan dianggap seperti sepiring daging, yakni hanya dipandang sebagai sesuatu yang bisa langsung dinikmati untuk menggendutkan perut dan kantong pribadi kalangan pejabat yang berperilaku seperti serigala-serigala yang rakus.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar