Rabu, 12 Juni 2013

Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN

Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN
Makmur Keliat   Peneliti ASEAN Study Center, 
Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
KOMPAS, 11 Juni 2013
 
 



Tulisan ini bertujuan mengidentifikasi tantangan dan peluang bagi pekerja terampil Indonesia dengan adanya liberalisasi sektor jasa ASEAN. Seperti diketahui, liberalisasi sektor jasa terkait dengan gagasan Komunitas Ekonomi ASEAN.

Sebagai bagian integral dari KEA, yang dicanangkan tercapai pada 2015, liberalisasi sektor jasa akan mengakibatkan mobilitas tenaga kerja terampil intra-ASEAN menjadi tidak terhambat.

Prinsip, mekanisme, dan capaian
Secara konseptual, ada dua prinsip terminologi dari perpindahan tenaga kerja terampil ini.
Pertama, istilah itu sealur dengan prinsip movement of natural persons (MNP) dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurut Chia Siow Yue (2011), yang berhak melakukan mobilitas adalah individu terampil dan para profesional untuk kurun waktu tertentu, baik sebagai individu yang mempekerjakan dirinya sendiri maupun sebagai pekerja dari suatu perusahaan asing. Karena itu, yang termasuk dalam MNP adalah pengunjung bisnis, investor, dan pedagang yang melaksanakan kegiatan investasi dan perdagangan, pindahan tenaga kerja antarperusahaan (pekerja di perusahaan multinasional), dan kalangan profesional seperti dokter, perawat, pengacara, akuntan, insinyur teknik, dan pekerja profesional teknologi informasi.

Kedua, walau memiliki hak melakukan mobilitas, perpindahan ini tidak berarti mengacu pada prinsip absolute mobility atau totally free. Menurut Marry Grace L Riguer (2010), istilah yang lebih tepat adalah mobilitas yang terkelola atau facilitated entry.

Dalam kaitan ini tersua 12 kategori besar yang tercakup dalam sektor jasa ASEAN. Ke-12 sektor itu, sealur dengan cakupan dalam WTO, adalah (1) jasa bisnis, (2) jasa komunikasi, (3) jasa teknik konstruksi dan teknik terkait, (4) jasa distribusi, (5) jasa pendidikan, (6) jasa lingkungan hidup, (7) jasa keuangan, (8) jasa yang terkait dengan kesehatan dan sosial, (9) pariwisata dan jasa yang terkait dengan perjalanan, (10) jasa rekreasi, kebudayaan, dan olahraga, (11) jasa angkutan, dan (12) jasa lainnya yang tak tercantum di sektor lainnya. Dirinci lebih jauh, 12 kategori sektor ini dapat lagi terurai menjadi sekitar 160 klasifikasi

Identifikasi yang dilakukan menunjukkan pula mekanisme untuk perpindahan tenaga kerja terampil bebas dalam sektor jasa ini tak dapat dilakukan seketika. Pertama-tama dibutuhkan penciptaan mutual recognition arrangement (MRA).

Di bawah payung mekanisme MRA, negara tujuan atau negara penerima mengakui kualifikasi profesional dan muatan latihan yang diperoleh dari negara pengirim atau negara asal tenaga kerja terampil.
Itu berarti, negara asal memiliki otoritas untuk mengesahkan kualifikasi dan pelatihan dengan cara memberikan diploma atau sertifikat. Namun, harus pula dicatat bahwa pengakuan yang diberikan melalui MRA tidak otomatis. Ada proses dan konsensus untuk penentuan standar dan syarat lain yang diterapkan baik di negara penerima maupun di negara asal. Dengan kata lain, MRA tak langsung memberikan hak melaksanakan suatu profesi. Pengakuan tidak memberikan jaminan bahwa akan ada akses pasar.

Meski tak langsung memberikan jaminan akses pasar, MRA merupakan langkah awal penting mempromosikan perpindahan tenaga kerja terampil itu. Sejauh yang dicermati, capaian ASEAN dalam kaitan dengan MRA ini cukup baik. Setidaknya saat ini ASEAN telah menyepakati delapan MRA, antara lain mencakup profesi seperti jasa teknik, arsitek, jasa keperawatan, praktisi medis-dokter, praktisi dokter gigi, jasa akuntan, hingga profesi penyigian. Upaya lanjutan terus dilakukan untuk menciptakan puluhan MRA lainnya.

Tantangan
Tentu saja liberalisasi sektor jasa ini dapat dilihat sebagai ancaman. Kompetisi di pasar tenaga kerja pasti semakin meningkat. Namun, karena telah menyatakan komitmennya mewujudkan KEA pada 2015, tak ada lagi kemungkinan bagi Indonesia mundur. Karena itu, istilah yang lebih tepat barangkali bukanlah ancaman, melainkan tantangan. Identifikasi yang dilakukan menunjukkan ada empat tantangan utama.

Pertama, mengaitkan agenda mobilitas pekerja terampil dengan tidak terampil. Sebenarnya mobilitas tenaga kerja Indonesia di intra-ASEAN sangat tinggi, tetapi untuk yang tak berkeahlian. Indonesia adalah pengekspor tenaga kerja tidak terampil terbesar di antara negara ASEAN. Namun, gagasan KEA hingga kini belum (tidak) mengakomodasi kepentingan pekerja tidak berketerampilan khusus itu. Barangkali dalam dua tahun yang masih tersisa, pengaitan dua agenda ini cukup strategis untuk melindungi pekerja tidak terampil Indonesia di beberapa negara anggota ASEAN.

Kedua, isu tentang inflow dan outflow pekerja terampil tidak merupakan isu besar di Indonesia. Isu inflow tidak signifikan karena ekonomi nasional Indonesia masih didominasi, bersandar, dan digerakkan oleh sektor pertanian dan pertambangan. Isu outflow juga tidak terlalu penting karena sedikitnya jumlah angkatan kerja profesional dan keterbatasan dalam penggunaan bahasa Inggris.

Indonesia sangat berbeda dengan Singapura dan Filipina. Perdebatan brain drain versus brain gain dalam lalu lintas tenaga kerja terampil ini tidak tampak di Indonesia. Yang mengemuka di Indonesia adalah maraknya protes buruh pabrik. Akibatnya, tidak tampak kebijakan yang jelas dari pemerintah bagaimana mengembangkan daya saing dari pekerja terampil Indonesia. Fokus dan agenda prioritas kebijakan pemerintah masih terserap untuk menangani keresahan buruh pabrik dan bukan pada peningkatan daya saing pekerja terampil.

Ketiga, menyiasati regulasi-regulasi domestik di setiap negara ASEAN. Hal ini disebabkan watak MRA itu sendiri yang tak bersifat otomatis. MRA masih harus disertai adanya kebutuhan harmonisasi kebijakan antarnegara anggota ASEAN. Namun, harmonisasi kebijakan tidaklah mudah karena menyangkut isu politik domestik dan perubahan regulasi. Karena itu, asas reciprocity dalam agenda liberalisasi perlu tetap dipegang kuat. Tujuannya agar tenaga kerja terampil Indonesia dapat juga dengan mudah diberi akses bekerja di negara anggota ASEAN lain.

Keempat, kualitas pekerja terampil Indonesia. Menurut laporan Bank Dunia, terdapat kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia. Disebutkan bahwa kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa Inggris (44 persen), keterampilan penggunaan komputer (36 persen), keterampilan perilaku (30 persen), keterampilan berpikir kritis (33 persen), dan keterampilan dasar (13 persen).

Komposisi angkatan kerja di Indonesia juga sangat timpang. Hanya sekitar 7 persen yang mengecap pendidikan tinggi. Terlebih lagi dari sekitar 550 universitas yang ada di Indonesia (yang 90 persen adalah swasta), hanya beberapa universitas seperti UI, ITB, dan Gadjah Mada yang memiliki permintaan pasar tenaga kerja yang baik. Hubungan antara universitas dan industri juga disebutkan sangat lemah. Karena itu, tantangannya adalah bagaimana memperkecil kesenjangan ini.

Dalam kaitan ini, menarik pula menggarisbawahi laporan Center for International Trade Studies Thailand (2012). Kajian terhadap enam profesi yang telah memiliki MRA di ASEAN menunjukkan bahwa terdapat tiga kategori negara anggota untuk kualitas tenaga kerja terampil, yaitu sangat kompetitif, menengah, dan kurang kompetitif. Singapura selalu menempati urutan paling kompetitif.

Keunggulan Singapura tampaknya sangat terkait dengan reputasi dan prestasi lembaga pendidikan tinggi di negeri itu dan lembaga pelatihannya. Dari tiga kategori ini, potensi daya saing Indonesia untuk kategori kompetitif ada di profesi dokter gigi dan akuntan. Namun, dalam profesi ini pun, kompetitor Indonesia juga cukup banyak. Untuk dokter gigi, misalnya, Indonesia harus bersaing dengan Thailand, Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Untuk akuntan, Indonesia harus bersaing dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Untuk profesi praktisi medis (dokter), Indonesia berada pada pengelompokan menengah dan harus bersaing dengan Filipina dan Vietnam. Situasi yang sama juga dihadapi profesi perawat. Alasan yang disebutkan: keterbatasan dalam penggunaan bahasa Inggris dan dikelompokkan sejajar dengan Thailand.

Dalam kaitan ini, patut pula dicatat laporan OECD. Laporan ini menyebutkan bahwa kebutuhan dokter dan perawat di Indonesia masih sangat besar. Rasio antara jumlah dokter dan perawat di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Rasio dokter dengan jumlah penduduk berada pada angka 0,3 untuk setiap 1.000 penduduk. Jauh tertinggal dibandingkan dengan rasio Singapura (1,7), Malaysia (1,2), dan Filipina (1,1). Demikian juga untuk perawat, rasionya adalah 2,0, sementara Singapura (5,2), Malaysia (2,4), dan Filipina (4,3).

Peluang?
Komposisi angkatan kerja di Indonesia sangat timpang. Walau Indonesia penyumbang angkatan kerja terbesar di ASEAN (hampir sekitar 50 persen dari angkatan kerja usia 25-54 tahun), hanya sekitar 7 persen yang mengecap pendidikan tinggi.

Apa yang harus dilakukan? Pengembangan tenaga kerja terampil tak semudah membalik tangan. Kualitas yang baik dan kompetitif di pasar tenaga kerja adalah buah kerja keras dan investasi jangka panjang luar biasa yang membutuhkan konsistensi kebijakan. Sepanjang ketiga hal ini tak dapat dilakukan, liberalisasi sektor jasa tak akan memberikan manfaat banyak bagi tenaga kerja terampil Indonesia. Negeri ini akan lebih banyak menerima tenaga terampil dari negara anggota ASEAN dibandingkan sebaliknya.

Ada dua langkah praktis yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi masalah ini. Pertama, memperkuat kerja sama pendidikan dengan negara ASEAN yang lebih maju pendidikan tingginya, terutama Singapura. Mekanisme untuk ini sebenarnya telah ada melalui ASEAN University Network. Dengan menggunakan jaringan ini, kegiatan pertukaran pelajar dan pengajar antara lembaga pendidikan tinggi/universitas di Indonesia dan Singapura dapat diintensifkan.

Kedua, membuat aturan domestik yang memberikan prioritas bagi tenaga kerja terampil Indonesia untuk profesi yang telah dan akan diliberalkan. Misalnya, dengan menetapkan persentase tertentu dari besaran tenaga kerja terampil asing dalam suatu unit bisnis usaha yang dikategorikan sebagai jasa. Tujuannya agar kita tidak sekadar wilayah pasar saja. Karena itu, identifikasi yang sangat rinci dan mendalam tentang daya saing tenaga kerja terampil Indonesia sangatlah penting.

Regulasi restriktif seperti ini masih dimungkinkan karena, seperti yang telah disebutkan, MRA tak berlaku otomatis. Dengan kata lain, Indonesia sebaiknya hanya meliberalkan profesi jasa di mana ia memiliki daya saing yang sangat baik,***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar