Kamis, 13 Juni 2013

Pejabat Gaptek dan Etos Bangsa


Saratri Wilonoyudho ;   Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 12 Juni 2013 
 
 



“Pembudayaan manajemen modern mestinya secara inheren harus memacu mutu pelaku menjadi lebih profesional”

PEMUKULAN pramugari Sriwijaya Air oleh Kepala Dinas Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bangka Belitung (Babel) kini memasuki tahap penuntutan hukum. Pejabat itu memukul gara-gara ditegur awak pesawat itu supaya mematikan ponsel ketika pesawat akan tinggal landas. Dalam dunia penerbangan ada larangan mengaktifkan ponsel dan alat elektronik lain karena mengganggu komunikasi penerbangan. Artinya, pengabaian atas ketentuan itu membahayakan keselamatan penerbangan.

Kasus pejabat gagap teknologi (gaptek) dalam arti luas itu, termasuk di dalamnya ada unsur arogan, ha­nyalah puncak dari gunung es lain. Sering kita mangkel di angkutan umum misalnya, ada penumpang menggunakan ponsel dengan suara keras dan omongannya ''tidak bermutu''. Demikian pula dalam suasana yang butuh ketenangan, seperti seminar atau di tempat ibadah, tiba-tiba ada ponsel berdering, dan bunyinya pun ingar-bingar. Kita boleh menduga pemilik ponsel itu gaptek karena mestinya bunyi dering bisa disetel menjadi nada getar.

Deretan peristiwa itu menunjukkan kesenjangan budaya bangsa kita terhadap kehadiran teknologi mo­dern. Berbeda dari Barat yang mengalami proses evolutif untuk menuju budaya teknologi tinggi, sebaliknya kita mengalami proses revolusioner dengan kehadiran teknologi tinggi.

Etos Kerja
Tahun 1990-an ponsel masih jarang, apalagi laptop atau internet. Namun kini siapa pun hampir memiliki ponsel. Karenanya, mengherankan jika seseorang yang kelihatan perlente, termasuk pejabat, tak dapat memaksimalkan manfaat fitur dari peranti teknologi yang ia beli. Dengan bangga ia tunjukkan laptop paling canggih, namun ketika ditanya apa yang ia manfaatkan, ternyata hanya untuk mengetik dan browsing lagu atau gambar. Demikian pula kecanggihan ponsel dan alat elektronik lainnya hanya sebatas untuk chatting perkara remeh-temeh.

Ada beberapa peristiwa yang melatarbelakangi mengapa bicara soal etos (kerja) bangsa menjadi penting. Pertama; kita masih ingat etos kerja seorang anggota DPR yang kedapatan menonton video porno di ruang sidang paripurna. Alasannya, sebagaimana dilansir televisi swasta: sidang menjemukan. Alasan itu seperti menohok diri sekaligus mutu sidang DPR. Kedua; etos birokrasi Pemprov Jateng yang meng-copy paste laporan pertanggungjawaban yang membuat malu Gubernur Bibit Waluyo.

Dua kasus ini cukup menunjukkan betapa mereka yang digaji tinggi dan disumpah untuk bekerja baik demi negara dan bangsa, memiliki etos kerja sangat rendah. Tudingan ini dapat diperpanjang dengan kasus meledaknya kilang minyak di Cilacap atau kualitas pelayanan birokrasi terhadap rakyat, seperti jalan yang baik, angkutan umum yang nyaman, sampai soal kesejahteraan.

Fenomena gaptek terjadi karena budaya kerja industrial modern yang mestinya profesional, dihayati dalam etos kerja budaya feodal agraris. Penerapan teknologi modern butuh budaya kerja profesional, disiplin, kecermatan, perhitungan matematis, efisiensi dan efektivitas kerja, rasionalitas,dan kinerja individual yang cerdas.

Etos kerja (menurut Weber), etos kerja yang tinggi (need achievement menurut David McClelland), etos Bushido, etos zaman Renaisans, dan Restorasi Meiji, merupakan pendorong utama kelahiran asketisme intelektual yang menekankan kerja sama yang tinggi, etos kerja kuat, disiplin, tanggung jawab, loyalitas, rasionalitas, peningkatan kinerja individual, hemat, cermat, orientasi kepada kepuasan dan perasaan self-fulfillment.

Menurut Prof Dr Sartono Kartodirdjo (1988) etos bangsa adalah totalitas kebiasaan yang terwujud dalam segala sikap dan kelakuan manusia. Etos ini perlu diarahkan ke realisasi eksistensi bangsa agar tak hanya meningkat taraf hidup, namun juga mempertinggi kualitas hidup dan martabat.

Etos bangsa tampaknya juga terusik dengan makin sukanya masyarakat kita bertindak instan. Dalam bahasa ilmiah harus ada ìetos kerjaî yang mengacu kepada inner-worldly orientation (orientasi kepada dunia batin) dan this-worldly orientation (duniawi-material). Jika dua hal itu diseimbangkan maka akan muncul self-fulfillment dan self-realization, yakni kepuasan batin.

Dalam istilah Gordon Allport dan Da­vid Riesman, motivasi kuat untuk meraih cita-cita (inner-directed), membawanya kepada perasaan penuh optimisme. Ma­nusia adalah the center of human actio­n, pinjam istilah Megawangi (1995), yang mencurahkan segala energinya untuk mewujudkan mimpinya itu.

Berbagai kasus unjuk kerja bangsa ini apakah merupakan representasi etos kerja bangsa yang kini kian memudar? Penting untuk menjawab pertanyaan itu karena dalam segala bidang kehidupan, unjuk kerja bangsa kita terlihat kalah. Pada pemerintahan misalnya, sudah tidak ada unjuk kerja yang melayani rakyat sebagaimana tercermin dari tingginya angka korupsi dan kengototan wakil rakyat meraih keuntungan materi.

Pada bidang olahraga juga tak tampak prestasi membanggakan. Demikian pula dalam dunia pendidikan, amat sunyi karya tulis intelektual yang indikatornya ditunjukkan oleh keminiman buku yang diterbitkan. Dengan kata lain, pembudayaan manajemen modern mestinya secara inheren juga harus memacu mutu pelaku lebih profesional. Demikian pula jika berbicara soal manajemen dalam mengelola teknologi tinggi. Manajemen ini juga menyangkut mutu dan profesionalitas pelaku, sekaligus watak budayanya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar