Senin, 10 Juni 2013

Batu Ujian Karakter Bangsa

Batu Ujian Karakter Bangsa
Mudji Sutrisno ;    Budayawan
KORAN SINDO, 08 Juni 2013


Watak asli seseorang oleh peneliti psikologis dan dinamika relasi, akan muncul apa adanya dalam empat kondisi. Kondisi pertama, adalah saat olahraga atau sport bersama.

Watak seseorang yang gigih menyerang atau bertahan, tampak asli dalam sepak bola. Maka itu, para pamong pendidik yang tahu analisis ini akan melihat pertandingan-pertandingan olahraga, bahkan latihan- latihannya untuk mengenal anak didiknya dalam watak aslinya. Anak-anak Anda akan tampil seperti ia yang sejatinya, entah ego kuatnya menggiring bola untuk dimasukkan ke gawang tanpa kerja sama dengan teman sepermainan, ataukah ia memberikan umpan dan membagi bola di detik penentuan agar bola masuk ke gawang lawan karena wataknya rela kerja sama.

Oleh karena olahraga merupakan lapangan penguji watakwatak asli manusia, maka di sana nilai (baca: sebagai berharga dan yang baik, benar dan suci dalam hidup) fairness,yaitu kejujuran bermain tanpa curang- mencurangi menjadi batu ujian atau standarnya. Karena itu, dalam perkembangan sejarah sepak bola, akhirnya fairness menjadi nilai universal untuk mengukur tingkatan permainan resmi sepak bola dunia.

Apakah karyawan Anda, orangorang terdekat Anda tampil apa adanya sesuai watak aslinya? Silakan mengujinya dalam olahraga beregu, baik basket atau sepak bola, lantaran nilai fairness seseorang maupun wataknya yang mau kerja sama atau egois akan muncul dengan sendirinya tanpa digincu atau didramatisir dalam panggung kepura-puraan.

Situasi kedua yang menempatkan batu uji tampilnya watak asli seseorang adalah acara makan bersama. Dalam kultur Jawa tradisional, untuk menguji calon pekerja yang mau menjadi pelayan di rumah bangsawan, diujilah ia dengan disaji makan. Bila ia makan terlalu pelan dan lambat, kerjanya pun akan lambat pula, maka ia tidak lulus.

Apabila ia makan dengan rakusnya tanpa peduli kanan kiri, maka watak asli mau menghabiskan semua untuk dirinya sendiri akan menjadi petunjuk bagaimana egosentris wataknya harus digarap ketika ia diterima sebagai pelayan rumah tangga. Namun, bila ia makan cepat, santun, dan sambil makan tetap mengajak berbicara atau mau beperhatian ketika penguji mengajaknya bicara, ia akan lulus ujian watak pelayan karena ia tetap punya perhatian untuk yang lain dan makan cepat memberi petunjuk bekerja cepat pula.

Dalam acara-acara pesta perkawinan atau perhelatan santap bersama dengan cara ambil sendiri atau prasmanan, pastilah Anda akan mengiyakan betapa watak asli orang muncul di situ. Lihatlah betapa sering orang dalam penantian antre makan, ia tidak peduli baris di belakangnya yang menunggu. Ia ambil waktu memilih yang lama, lalu amat banyak di piringnya, dan alangkah tragis manakala tidak dihabiskan atau bahkan hanya dicomot sedikit.

Watak asli macam apakah? Tidak menghargai nasi dan para petan penanamnya? Ungkapan loba dan serakah dalam makan? Di sini edukasi norma santun waktu muda dari keluarga atau ranah sosial mengonstruksi nilai untuk sikap dan perilakunya saat makan. Contoh bagaimana kultur normatif membentuk perilaku santun adalah manakala orang Jawa tidak mau tergesa-gesa mengambil urutan nomor satu dalam acara makan malam perkawinan.

Menarik pula membandingkan mengapa orang masih bersantun-santun agar tidak divonis tak tahu adat dalam makan dengan fenomena di jalan raya ketika meminta jalan, tidak satu pun pengemudi yang memberikan kesempatan dengan “silakan mobil Anda masuk ke depanku!”, padahal dalam antre makan, kita saling menyilakan “monggo-monggo”, “silakan-silakan ambil dahulu”.

Yang satu, hukum santun lalu lintas belum tertanam di inti budaya santun dan hormat sesama. Adapun di perhelatan makan, kultur santun makan sudah mengakar dalam tradisi nilai normatif kesantunan (di Jawa generasi klasik). Saling berebut makanan ketika merasa akan tidak kebagian menandai pula watak survivaldemi kebutuhan dasar makanan untuk kelangsungan hidup. Apakah rasa tidak akan kebagian dalam basic need for eatingmenjadi hasrat hidup yang paling menampilkan watak asli manusia ketika kekurangan makan, tidak kebagian, lalu survival of the fittest dari Darwin mengatakan adanya naluri untuk bertahan hidup.

Dengan kata lain, kondisi kurang pangan adalah situasi gawat akan batas-batas kelangsungan hidup dengan kebutuhankebutuhan pokok manusia. Ketidaksanggupan menyediakan pangan, cukup menjadi batu ujian ada tidaknya tanggung jawab penyejahteraan untuk warga masyarakat.

Kondisi ketiga yang mampu menguji munculnya watak asli seseorang adalah situasi krisis atau gawat darurat. Dalam situasi gawat darurat, misalnya kapal penumpang bocor, padahal pelampung tidak tersedia cukup. Di situlah nakhoda yang wataknya bertanggung jawab akan paling terakhir keluar kapal. Penumpang-penumpang yang berebut pelampung pasti tidak akan mendahulukan perempuan atau anak-anak karena masing-masing berebut menyelamatkan nyawanya sendiri.

Adakah watak asli yang rela menolong yang lain dahulu untuk selamat dan baru kemudian dirinya sendiri? Dalam tradisi darurat, tingkatannya tidak menghadapkan orang pada pilihan hidup atau mati pun, watak asli orang akan muncul apa adanya. Di situ dalam darurat pesawat terlambat dan tidak ada informasi kapan berangkat. Apalagi setelah didahului rusaknya sistem komputerisasi sejak pukul 03.00 pada 23 Mei 2013 pesawat Garuda yang lalu dikerjakan secara manual sampai bandara seperti pasar antre dan Jakarta ke Yogyakarta seharusnya berangkat pukul 05.55 pagi, tetapi baru sampai Yogyakarta pukul 09.00 pagi. Maka, watak asli pejabat resmi Garuda akan muncul, apakah ia dengan rela memberi informasi? Pramugari dan kapten pilot begitu pula.

Dan, para penumpang? Ada yang mengamuk, ada yang memaki-maki, dan ada yang menyalah-nyalahkan petugas. Namun, juga banyak yang dengan sabar menunggu diam dan sopan meminta diumumkan informasi. Dan anehnya, serombongan orang yang akan menuntut ganti rugi menjadi lupa ketika gawat darurat disadari sebagai watak bangsa ini yang tidak pernah siap untuk menghadapinya.

Apalagi sampai hari ini tidak ada permintaan maaf dan pemberitahuan kejadian hari itu, mengapanya dan bagaimananya ketika teknologi stop? Inikah watak asli kita semua dalam kondisi darurat? Lalu di mana pertanggungjawaban dalam etos kerja? Di mana watak asli dalam slogan kita bisa? Bisa apa? “Bisa” juga bermakna racun, bukan?
Kondisi keempat, adalah kondisi menghayati situasi hidup di luar kenyamanan selama ini. Artinya, situasi yang menaruh seseorang di luar comfort zone, semisal hidup di tengah–tengah kondisi lereng gunung di perdusunan tanpa listrik untuk orang kota. Atau diikutkannya orang muda atau karyawan dalam outbound.

Kita dahulu merasa keaslian watak muncul ketika kita berkemah pramuka, bahkan latihan-latihannya serta uji-ujian kenaikan tingkat, mulai siaga, lalu penggalang. Dari tugas jaga di pintu gerbang kamar mati rumah sakit sampai ditutup mata berkeliling malam oleh kakak-kakak penggalang, dan ketika dibuka ternyata berada di tengah-tengah kuburan.

Watak asli takut, ngeri, dan menghindari yang susah serta yang berat-berat akan diuji untuk diberanikan dan diteguhkan menjadi watak pemberani yang penuh semangat maju. Namun, harus disadari dahulu dengan rendah hati, watak-watak asli pengecut mudah takut dan tidak berani pasang badan bertanggung jawab.

Latihan-latihan tempa diri dan uji watak sedari kecil ini menjadi petunjuk untuk menganalisis betapa pentingnya bina dan pembatinan watak berani pada generasi muda agar kelak saat jadi pemimpin berani bertanggung jawab dan tidak menghindar atau menyuruh orang lain bertanggung jawab.

Mengapa kita urai kondisi-kondisi di atas ranah ruang kemunculan keaslian karakter kita? Ada dua sebab. Pertama, dalam kondisi di mana yang nomor satu dalam hidup bersama, yaitu mempercayai sesama atau mempercayakan diri pada tanggung jawab di bahu sesama ketika naik pesawat kita mempercayakan diri pada pilot; naik bus malam atau kereta api kita percayakan diri pada sopir dan masinis; lalu bila kepercayaan itu kini banyak sekali diciderai?

Kondisi di mana lebih banyak distrust lantaran percaya memilih pemimpin untuk pembaruan politik melalui perwakilan rakyat banyak diciderai dan membayar pajak ternyata petugasnya korupsi. Di sinilah alasan kedua mengapa paparan renung watak-watak asli dalam kondisi-kondisi di atas ditempatkan.

Namun, konteks hidup berbangsa yang seharusnya berwatak untuk mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, serta punya watak kepribadian dalam kebudayaan yang sudah menjadi visi pendiri bangsa Bung Karno dan pendiri-pendiri lain, ternyata sedang mengalami krisis beratnya. Padahal, bila sebuah bangsa sedang krisis jati dirinya, maka sejarawan Arnold Toynbee mengingatkan lampu merah kehancurannya bila kelompok kreatif tidak segera siuman untuk sadari diri terhadap krisis ini.

Apalagi kohesivitasnya atau rajutan perekat bangsa mengurai dan meretak, di sanalah renung mendalam mengenai siapa kita sebagai bangsa dengan watak-watak asli harus menjadi refleksi mengaca diri justru dengan satu per satu menguji, siapakah kita dalam kondisi yang menguji keaslian kita.

Sebab, jalan politik yang memecah rebutan kursi dan kuasa, butuh jalan renung budaya untuk merekatkan kembali rajutan watak berbangsa yang mau saling hormat terhadap kemajemukan, hormat terhadap harkat manusia, dan berjanji saling menyejahterakan sesama warga negara.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar